Di medan perang yang dipenuhi darah, Caelum berdiri seperti setan yang bermandikan darah dari neraka.
Fort Vallaris, yang sebelumnya dipenuhi pasukan Kekaisaran yang berjumlah ribuan, kini menjadi kuburan bagi ambisi mereka. Dinding-dinding benteng yang kokoh, yang selama ini menahan serangan musuh-musuhnya, kini retak dan hancur. Dihadapannya, tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak berserakan, sebagian sudah terbenam dalam tanah, sebagian lagi tetap tergeletak, darah mereka berceceran di mana-mana. Kemenangan yang diraih dengan harga darah. Tapi apakah ini kemenangan?
Caelum menatap medan perang dengan tatapan kosong, tak ada rasa kemenangan di matanya. Hanya kesunyian yang menggelayuti, sebuah keheningan yang membungkus seluruh dunia. Keheningan yang terasa lebih keras dari suara pedang yang menebas.
Di depan Caelum, 1.200 tahanan perang dari Kekaisaran kini diperlakukan seperti barang buangan. Mereka diikat dan dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa mereka telah kalah—bukan hanya dalam pertempuran, tapi dalam semua hal yang mereka perjuangkan. Sekarang, mereka adalah sampah yang harus dibuang.
Caelum berjalan di antara mereka, langkahnya berat, penuh makna yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar melihat. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Kemenangan, tentu saja, tetapi ada sesuatu yang lebih daripada sekadar kemenangan. Sesuatu yang menggerogoti dirinya, lebih dalam dari luka fisik yang ditinggalkan medan perang ini.
Di tangannya, tombak itu—tombak yang sudah dipenuhi darah—terangkat, dengan kepala Zarek yang membusuk menggantung di ujungnya, di sisi lainnya, kepala Krenor yang terpisah menggelantung seperti simbol dari segala penghinaan yang tak akan termaafkan. Ada makna dalam setiap tetes darah yang menetes dari kepala-kepala itu, dan Caelum tahu, lebih dari siapa pun, bahwa ini bukan hanya tentang membunuh. Ini tentang pesan. Pesan yang lebih daripada apapun yang bisa diucapkan.
Tanpa sepatah kata pun, Caelum berhenti di depan sekelompok tahanan. Matanya yang tajam menyapu mereka satu per satu. Mereka tak bisa bergerak. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi mereka bisa merasakannya—bahwa hidup mereka, seperti halnya mereka yang telah mati, tak lagi memiliki nilai apapun.
Caelum mengangkat tombaknya lebih tinggi, dengan dua kepala yang tertusuk tergantung di ujungnya. Lalu, dalam keheningan yang hanya sesekali terpecah oleh suara langkahnya, Caelum menarik pedang Raedan. Sekali gerakan. Pedang itu melesat, dan dalam sekejap, darah memercik. Tubuh seorang tahanan terkulai tanpa nyawa, jatuh ke tanah dengan kesunyian yang mencekam.
Tidak ada perintah. Tidak ada suara. Caelum, dengan langkah tenang, melanjutkan eksekusinya. Mereka yang telah menyerah, mereka yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi—mereka yang baginya tak memiliki hak untuk hidup.
Satu per satu, suara pedang yang memenggal kepala terdengar—setiap tebasan seperti musik yang diiringi dengan darah yang memercik ke udara. Caelum tidak berhenti. Eksekusi berlangsung dengan pemandangan yang mengerikan, tak ada ampun.
Suasana di medan perang terasa mencekam, sebuah kesunyian yang aneh mengisi udara. Bahkan para prajurit yang masih hidup hanya bisa terdiam, menyaksikan tindakan Caelum yang tak bisa dipahami. Mereka melihat apa yang terjadi, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Lalu, suara lain terdengar. Suara langkah kaki yang mantap—Vera, dengan ekspresi yang lebih bingung daripada marah, mengikuti langkah Caelum. Satu eksekusi lagi. Kepala terpenggal, dan tubuh seorang tahanan yang tak berdaya jatuh dengan tubuh yang kejang gemetar. Vera melanjutkan, tanpa ragu, meskipun wajahnya menunjukkan bahwa dia mulai meragukan semuanya. Ini bukan lagi tentang perang, bukan hanya tentang membunuh musuh. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, lebih tidak manusiawi.
Tidak ada kata-kata. Tidak ada perasaan. Eksekusi berlangsung terus, suara tebasan pedang menghiasi udara, dan hanya ada satu pemimpin yang berdiri di tengah-tengah semuanya—Caelum. Dia yang telah memilih jalan ini, yang telah memilih menjadi simbol dari kematian itu sendiri.
Ketika eksekusi berakhir, Caelum berdiri di tengah lapangan yang kini dipenuhi dengan darah dan tubuh yang tak bernyawa. Tidak ada rasa puas, tidak ada rasa kemenangan. Hanya keheningan yang mengelilinginya. Di sampingnya, Vera berdiri, tatapannya kosong. Dia bukan lagi hanya seorang pengikut, bukan hanya seorang sekutu. Dia menyaksikan sesuatu yang lebih gelap, lebih menakutkan daripada apapun yang pernah ia bayangkan. Caelum telah berubah.
Caelum mengangkat tombaknya lagi, kini dengan dua kepala yang terpasang—kepala Zarek dan kepala Krenor. Mereka tergantung di ujung tombaknya seperti lambang dari semua yang telah dilalui, semua yang telah dia hancurkan. Dengan langkah mantap, ia menuju dinding benteng, tempat warga Fort Vallaris mulai berkumpul. Beberapa dari mereka merasa terperangkap, beberapa merasa takut, dan ada juga yang merasakan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih besar daripada rasa takut: kebebasan. Kebebasan yang telah lama dinantikan, telah lama didambakan.
Caelum berdiri di atas dinding benteng, dengan Tombak Zarek di tangan, dan meneriakkan suara kemenangannya, sebuah pernyataan yang lebih dari sekedar kemenangan. "Inilah jadinya jika melawan kami!" Suaranya bergema, menembus ke seluruh pemukiman. "Kalian, anjing-anjing Kekaisaran, akan kuberikan pilihan! Pergi dari sini, menetap dan menerima bahwa kalian bukan lagi rakyat Kekaisaran, atau mati bersama keluarga kalian yang telah jatuh dalam perang!"
Kata-kata itu menggema, mengguncang semua yang mendengarnya. Warga mulai berpikir, merasa terperangkap dalam pilihan yang diberikan oleh Caelum. Mereka merasa bahwa ini adalah takdir—takdir yang tak bisa ditolak. Beberapa mulai meronta, beberapa berteriak, beberapa melarikan diri, dan beberapa merasa bahwa ini adalah kesempatan mereka untuk bebas.
Namun, amarah Caelum yang membara melampaui batas. Ketika warga mulai melawan, ia menyerang dengan brutal. Tombaknya menghujam, dan mereka yang menantangnya, yang melawan, dihabisi. Keberanian yang muncul kini menjadi ancaman—dan ancaman itu harus dihancurkan.
Azrin dan Vera bergerak untuk menghentikan, tapi sudah terlambat. Sudah terlalu banyak nyawa tak bersalah yang melayang. Azrin berteriak, "Caelum, cukup! Ini kegilaan!" kata-katanya menghentikan langkah Caelum. Tak ada ruang untuk keraguan dalam dirinya. Caelum harus dihentikan.
Caelum menghentikan serangannya, pandangannya menyapu sekitar, dia melihat semua orang menatapnya dengan ekspresi ketakutan. Akhirnya berhenti dengan ekspresi enggan bercampur renungan.
Vera berdiri di sampingnya, matanya terbuka lebar, menyaksikan orang yang sebelumnya ia percayai sebagai anak yang polos. Caelum yang dulu hanya pemimpin muda dari Crimson Blades kini telah berubah, menjadi makhluk yang lebih tak berperasaan, lebih mengerikan, simbol dari terror yang tak terbendung.
"Caelum," gumam Vera pada dirinya sendiri, "Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
Caelum tidak menjawab. Dia hanya melangkah ke depan, membawa rombak Zarek sebagai simbol kekuatannya—sebuah simbol yang tak akan pernah bisa dihapuskan.