Langit di atas Fort Vallaris gelap, tertutup oleh awan tebal yang menandakan badai akan segera datang. Namun, jauh di dalam benteng itu, ada api yang lebih besar, api kemarahan yang membakar hati setiap pasukan Kekaisaran. Mereka sudah cukup menderita—dari serangan yang tak terduga, dari kejatuhan Zarek, dan kini, mereka melihat kepala anak pemilik benteng mereka, tertancap di ujung tombak yang digenggam oleh Caelum.
Kepala itu mulai membusuk, darahnya sudah mengering, bau busuknya menyebar di sekitar medan perang. Pasukan Kekaisaran, yang sudah terbakar dengan amarah sejak kematian Zarek, kini dikuasai oleh kemarahan yang memuncak. Mereka melihat bahwa pemberontak tidak hanya menghancurkan pasukan mereka, tetapi juga menghina mereka dengan cara yang mengerikan. Kepala anak pemilik benteng mereka, yang seharusnya menjadi simbol kekuatan Kekaisaran, sekarang tergantung dan diperolok di depan gerbang benteng yang mereka anggap tak tertembus.
---
Di dalam Fort Vallaris, Lord Krenor, ayah dari Zarek, melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Kepala anaknya yang terjerat di tombak Caelum adalah tanda penghinaan yang tak bisa dimaafkan. Krenor, seorang komandan veteran yang terkenal dengan keteguhan dan kekuatannya, berteriak kepada pasukannya dengan penuh amarah, suaranya menggelegar melalui dinding-dinding benteng, penuh kebencian yang murni. "Jangan biarkan penghinaan ini berlalu begitu saja! Keluar! Bunuh mereka semua! Hancurkan semua anjing pemberontak itu!"
Serangan amarah yang tak terkendali ini justru menjadi kesalahan fatal dalam pertahanan benteng. Kekaisaran yang sebelumnya mengandalkan kekuatan tembok dan pertahanan yang kokoh, kini membuka gerbang benteng meledak keluar dalam kebutaannya. Tak ada taktik, tak ada perhitungan—hanya amarah murni yang menggerakkan langkah mereka.
Melihat pergerakan pasukan Kekaisaran yang tergesa-gesa, Caelum tidak bisa menahan tawa. Dia tertawa terbahak-bahak, suara tawanya menggema di medan perang yang kacau. Kegelisahan di medan perang terasa seiring suara tawanya yang bergema. "Mereka... mudah sekali terpancing," bisiknya, suara yang hanya terdengar oleh Vera yang berdiri di sampingnya, mematung. "Kemarahan mereka bukan hanya karena kekalahan. Ini adalah penghinaan yang lebih dalam. Mereka tak hanya kehilangan seorang pemimpin. Mereka telah kehilangan panutan mereka."
Vera, yang mengamati Caelum, merasa ngeri sekaligus kagum. Taktik yang digunakan Caelum bukan hanya brutal, tetapi juga sangat cerdas.
"Bagaimana bisa mereka begitu mudah terpancing?" kata Vera, dengan kekaguman yang tidak bisa disembunyikan. "Dia... dia benar-benar tahu bagaimana memainkan emosi musuh, di usianya yang semuda ini?"
Caelum menatap Vera dengan senyuman licik. "Mereka tidak hanya marah. Mereka malu. Dan mereka akan membuat kesalahan besar. Biarkan mereka keluar dari benteng mereka. Kita akan menunjukkan siapa yang benar-benar mengendalikan peperangan ini."
---
Pasukan Kekaisaran yang marah itu keluar dengan kekuatan penuh, berpencar dan tidak terkendali. Mereka berteriak dan melolong, mengorbankan taktik formasi demi balas dendam atas penghinaan yang mereka rasakan. Namun, itulah yang Caelum tunggu. Dia memanfaatkan kelemahan musuh ini dengan sangat cerdas.
"Serang!" perintah Caelum dengan suara yang tegas. "Ratakan benteng pertahanan mereka. Jangan beri mereka waktu untuk berpikir!"
Dengan komando tersebut, seluruh pasukan segera bergerak. Vera memimpin Blades of Narthal, bergerak seperti bayangan di tengah medan perang, menyerang pasukan Kekaisaran dari sisi yang tidak mereka duga. Elira dan Carl menembakkan panah berapi, yang menyebar ke seluruh pasukan musuh, membuat mereka semakin terpecah dan semakin mudah dijadikan sasaran.
Di depan, Caelum bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan. Tombak yang diujungnya masih terpasang kepala Zarek, menambah rasa ngeri yang menguasai pasukan musuh. Pedang Raedan di tangan Caelum berkilau saat dia menebas lawan demi lawan, menghabisi mereka dengan sekejap. Setiap kali tombak itu tertancap ke tubuh musuh, terasa seperti simbol kemenangan yang semakin nyata.
Namun, meskipun Caelum bergerak dengan sangat cepat dan memanfaatkan celah di barisan pasukan Kekaisaran, Jenderal Krenor yang penuh amarah memimpin pasukan elite Black Guard dan mengejar Caelum dengan brutal. Dengan kapak besar di tangan, Krenor berteriak, "Aku akan membunuhmu, Caelum! Kalian semua akan membayar harga atas penghinaan ini!"
Tapi Caelum tidak gentar. Dia menatap Krenor yang mendekat, dan dengan senyuman dingin, dia tahu bahwa pemenang pertempuran ini adalah mereka yang bisa mengendalikan permainan.
"Jangan terlalu terburu-buru, Krenor," ejek Caelum, sambil berputar dan menebas satu lawan setelah lainnya. "Ini baru permulaan."
---
Ketika Caelum dan Krenor akhirnya berhadapan, tombak Zarek menjadi saksi pertarungan yang penuh kekejaman dan kekuatan. Krenor, dengan kapaknya yang berat, menghujamkan senjatanya ke arah Caelum dengan kekuatan yang luar biasa. Caelum melompat ke samping, menghindari serangan tersebut, dan dengan gerakan cepat, dia menusukkan pedang Raedan ke perut Krenor. Namun, Krenor dengan kekuatan luar biasa mendorong Caelum kembali, dan kapaknya kembali menghujam.
"Anakku Zarek mungkin mati, tetapi aku akan membunuhmu dengan tangan ini!" Krenor berteriak, darah bercucuran dari luka di perutnya.
Caelum mengangkat tombak, dengan kepala Zarek di ujungnya, dan menyerang dengan teknik yang mematikan. Krenor melawan, namun serangan Caelum lebih cepat dan lebih tepat. Dengan satu ayunan tajam, Caelum menghancurkan kapak besar Krenor, dan pedangnya yang cepat langsung menebas ke arah dada Jenderal Kekaisaran tersebut.
Krenor jatuh ke tanah dengan tubuh penuh luka. Namun sebelum Caelum bisa merayakan kemenangan itu, dia mendengar suara yang membuatnya berhenti sejenak.
"Caelum!" teriak Vera, "Awas!"
Dari sisi lain, pasukan Kekaisaran yang masih utuh berusaha mengepung The Crimson Blades. Caelum, yang tahu ini adalah waktu yang tepat untuk meluncurkan serangan balasan, berteriak, "Maju! Jangan gentar, Jangan biarkan mereka mundur kedalam benteng!"
---
Pertempuran itu berakhir setelah beberapa jam perang yang penuh darah dan amarah. Pasukan Kekaisaran yang kehilangan pemimpin mereka, Zarek dan Krenor, serta struktur pertahanan yang hancur, mulai mundur dengan cepat.
Caelum, yang berdiri di atas tubuh Krenor, menatap medan perang yang penuh dengan mayat. Vera berdiri di sampingnya, masih tercengang dengan taktik yang diterapkan Caelum.
"Apa yang kamu pikirkan, Caelum?" tanya Vera, tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. "Kamu bukan hanya pejuang yang kuat, tapi juga sangat cerdik. Membawa kepala Zarek di tombak itu—itu hanya provokasi. Itu permainan mental. Bagaimana kamu tahu Krenor dan pasukannya akan terpancing?"
Caelum tertawa pelan, darah masih menetes dari pedangnya. "Krenor dan Zarek, ayah dan anak. Mereka adalah sosok yang diidolakan para prajurit, terlebih lagi orang tua mana yang tahan melihat kepala anaknya terombang-ambing diatas tombak? Nah sekarang, mengalahkan Kekaisaran bukan hanya tentang kekuatan. Itu tentang menghancurkan semangat mereka. Mereka tidak hanya kehilangan pemimpin, mereka sekarang juga kehilangan kepercayaan pada diri mereka sendiri." Jelas Caelum dengan senyum tipisnya, menunduk untuk memungut gelang dari tangan Krenor.