Chereads / Hero : The Born of Villain / Chapter 5 - Ikatan yang Tumbuh

Chapter 5 - Ikatan yang Tumbuh

Saat mereka duduk bersama, Lyra memulai pembicaraan tentang kepala akademi. "Kau tahu kan, kepala akademi ini salah satu dari 12 Pahlawan di Negeri ini?" katanya sambil mengaduk makanannya. "Dia dikenal dengan julukan Leo, salah satu dari rasi bintang, dan memang pantas dengan namanya."

Finn mengernyitkan dahi. "Leo? Apa maksudnya itu?"

Lyra melanjutkan, "Julukan itu berasal dari kekuatannya. Kepala akademi ini adalah penyihir dengan Circle ke-7, yang berarti dia punya kemampuan luar biasa. Setiap level Circle-nya dihubungkan dengan makhluk mitologi yang sangat kuat. Circle ke-6 miliknya adalah burung legendaris Phoenix, makhluk yang mampu bangkit dari api. Dan Circle ke-7-nya adalah Manticore, makhluk yang sangat ditakuti karena kekuatannya yang luar biasa."

Arthur terkejut mendengarnya. "Manticore? Jadi, kepala akademi benar-benar mengendalikan makhluk-makhluk itu?"

Lyra mengangguk. "Ya, setiap makhluk itu memberinya kekuatan yang luar biasa. Circle-nya semakin kuat seiring bertambahnya level, dan dia sudah mencapai level tertinggi—Circle ke-7."

Finn tersenyum. "Maklumlah kalau dia terlihat sangat hebat. Tidak banyak orang yang bisa menandingi dia."

Arthur masih tercengang. "Aku penasaran, kenapa dia memilih untuk mengajar di akademi ini, bukannya memimpin atau bertarung di medan perang?"

Lyra tampak merenung sejenak. "Itulah yang menjadi misteri. Banyak orang penasaran kenapa dia lebih memilih berada di akademi dan melatih penyihir muda, daripada menggunakan kekuatannya untuk tujuan lain. Tapi entah, dia punya alasan sendiri."

Finn mengangguk, terkesan. "Tentu saja, akan menarik melihat lebih banyak tentang dia."

Pembicaraan mereka berakhir saat pengundian dimulai, namun dalam pikiran mereka, kepala akademi tetap menjadi sosok yang penuh rahasia, dengan kekuatan yang mengagumkan dan tujuan yang tidak sepenuhnya jelas.

Kepala Akademi berdiri di podium, aura wibawanya memenuhi aula besar yang dipenuhi murid-murid. Dengan gerakan sederhana, dia mengangkat tangannya, dan seluruh aula menjadi hening.

"Saya tidak akan berbicara panjang lebar," ujarnya, suaranya tenang namun menggema hingga sudut-sudut aula. "Kalian telah memilih jalan kalian untuk menjadi bagian dari Akademi Lumina Arcanum. Hari ini, kelompok kalian akan ditentukan. Kalian mungkin tidak menyadari pentingnya kelompok ini sekarang, tetapi ingatlah—rekan-rekan kalian akan menjadi bagian penting dari perjalanan kalian ke depan."

Setelah mengakhiri sambutannya, Kepala Akademi mengayunkan tangannya ke udara. Sebuah lingkaran sihir besar terbentuk di atas aula, memancarkan cahaya biru keemasan. Dari lingkaran itu, ratusan origami hewan mulai bermunculan, berwarna-warni dan melayang-layang dengan anggun di udara. Setiap origami bergerak seakan memiliki kehidupan sendiri, terbang mendekati murid-murid yang sudah terpesona dengan pemandangan itu.

Arthur, yang menatap kagum, hampir tidak menyadari ketika seekor origami berbentuk ikan kecil mendarat di tangannya. Lyra menerima origami berbentuk burung, sedangkan Finn mendapatkan origami berbentuk kura-kura. Semua murid menatap origami masing-masing dengan penuh rasa ingin tahu.

"Buka origami kalian," perintah Kepala Akademi dengan suara yang tetap tenang namun tegas.

Arthur perlahan membuka lipatan kertas origaminya. Di dalamnya, terukir angka 7 dengan tinta emas yang bersinar lembut. Ia menatap angka itu sebentar, bingung namun juga penasaran. Di sampingnya, Lyra membuka origaminya dan menemukan angka 21, sementara Finn yang membuka dengan sedikit terburu-buru mendapati angka 90.

"Nomor di origami kalian menentukan kelompok kalian," jelas Kepala Akademi. "Setelah ini, kalian akan diarahkan ke tempat pertemuan kelompok masing-masing untuk mengenal rekan-rekan baru kalian. Ingat, ini bukan sekadar kelompok untuk belajar. Ini adalah awal dari hubungan yang akan menempa kalian menjadi individu yang lebih kuat."

Arthur menggenggam origaminya dengan perasaan campur aduk. Angka 7 tampak sederhana, tetapi di baliknya ia merasakan beban tanggung jawab baru. Di satu sisi, ia penasaran siapa saja yang akan menjadi rekan satu kelompoknya, di sisi lain, ia merasa sedikit cemas. Tanpa disadari, ia menatap ke arah Lyra dan Finn.

Finn menyeringai. "Kelompok 90? Ini pasti kelompok paling keren."

Lyra, yang lebih tenang, hanya mengangkat bahu. "Entahlah. Kita lihat saja nanti."

Arthur menghela napas, siap menghadapi langkah selanjutnya dalam perjalanan yang semakin penuh misteri.

Begitu Kepala Akademi menyelesaikan instruksinya, Wakil Kepala Akademi melangkah maju. Dengan tongkat sihir panjang yang tampak seperti terbuat dari kristal biru gelap, ia mengayunkannya ke udara. Cahaya magis memancar, membentuk pola-pola rumit di atas aula. Empat wali kelas dari masing-masing kelas—Draco, Griffon, Aquila, dan Canis—bergerak maju, berdiri di empat sisi aula.

Wali kelas Draco, seorang pria gagah dengan rambut hitam berkilau seperti obsidian, mengangkat tangannya, menciptakan pancaran energi berwarna merah tua. Wali kelas Griffon, seorang wanita berambut pirang dengan aura kebijaksanaan, memunculkan energi berwarna emas yang bersinar terang. Wali kelas Aquila, seorang pria bertubuh ramping dengan mata tajam seperti elang, memanggil energi biru lembut. Dan wali kelas Canis, Mr.Alfon dengan janggut pendeknya dan senyumannya misterius, menghasilkan cahaya perak berkilau.

Keempat energi itu bergerak ke arah Wakil Kepala Akademi, berputar dan menyatu dengan sihirnya. Lingkaran sihir besar tiba-tiba muncul di lantai aula, memenuhi seluruh ruangan dengan pola-pola runik yang bercahaya. Para murid yang berdiri di atasnya mulai merasa ada tarikan aneh di bawah kaki mereka, seperti gravitasi yang berubah.

"Kelompok kalian akan segera bertemu di lokasi masing-masing," Wakil Kepala Akademi berbicara dengan suara tenang namun tegas. "Tempat-tempat ini dipilih sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang akan membentuk kalian menjadi lebih kuat."

Dengan sekali hentakan tongkatnya ke lantai, lingkaran sihir itu aktif. Cahaya terang memenuhi aula, membuat semua orang harus memejamkan mata sejenak.

Lingkaran sihir besar bercahaya semakin terang, dan dalam sekejap, ruangan aula menghilang dari pandangan Arthur. Ia merasa tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat, melayang tanpa arah dalam ruang hampa. Saat cahaya meredup, ia merasakan kakinya menapak di tanah yang lembut.

Ketika Arthur membuka matanya, ia mendapati dirinya berdiri di tepi sungai kecil yang sudah sangat ia kenali. Sungai ini adalah tempat ia sering mengambil air untuk menyiram kebun di belakang asramanya. Pepohonan rindang di sekitar sungai itu bergoyang lembut diterpa angin, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan kejadian sebelumnya.

Namun, ia tidak sendirian. Tepat di depannya, ada tiga orang lain yang tampak baru saja mengalami hal yang sama. Mereka berdiri dengan wajah penuh kekaguman sekaligus kebingungan.

"Di mana kita?" tanya salah satu dari mereka, seorang pemuda tinggi dengan rambut hitam acak-acakan. Ia tampak berusaha memahami situasi.

Seorang gadis dengan rambut cokelat panjang yang diikat setengah, mengenakan jubah rapi, menatap sungai dengan mata berbinar. "Tempat ini... indah sekali. Tapi bagaimana kita bisa sampai di sini?"

Sementara itu, seorang pria pendek dengan kacamata tebal tampak memeriksa lingkaran kecil yang masih bercahaya samar di bawah kakinya, seolah mencoba menemukan jejak sihir yang digunakan. "Ini teleportasi ruang yang sangat kompleks... Aku belum pernah melihat mantra sebesar itu sebelumnya."

Arthur memperhatikan mereka satu per satu, berusaha mengingat wajah-wajah ini. Ia tahu, mereka adalah anggota kelompoknya. Meski belum ada percakapan, ia bisa merasakan bahwa perjalanan mereka bersama baru saja dimulai.

"Sepertinya ini tempat kita untuk memulai," Arthur berkata pelan, sambil melangkah ke tepi sungai, menyentuh air dingin yang mengalir. "Entah apa yang akan kita lakukan di sini, tapi aku yakin semuanya sudah direncanakan."

Arthur berdiri di tepi sungai, memandang tiga orang yang kini menjadi bagian dari kelompoknya. Mereka saling bertukar pandang, tampak sama bingungnya dengan Arthur tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Pemuda dengan rambut hitam acak-acakan yang berasal dari Kelas Draco melangkah maju terlebih dahulu. Wajahnya tampak santai, meskipun ada sedikit rasa penasaran di balik matanya yang tajam. "Yah, sepertinya kita harus mulai dengan saling mengenal," katanya dengan nada ringan. "Namaku Kael. Dari Kelas Draco. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi... mari kita coba bekerja sama."

Arthur mengangguk pelan, meresapi nada percaya diri dalam suara Kael. Kemudian, gadis dengan rambut cokelat panjang yang diikat setengah maju selangkah. Ia tersenyum tipis, matanya masih terpaku pada sungai yang mengalir dengan tenang. "Namaku Celestia," katanya dengan nada suara lembut namun tegas. "Dari Kelas Griffon. Tempat ini benar-benar indah... seperti surga kecil di dunia." Ia menoleh ke arah yang lain. "Aku harap kita bisa saling mendukung."

Arthur merasa ada kehangatan dalam cara Celestia berbicara, meskipun ia terlihat sangat menjaga sikapnya. Akhirnya, pria pendek dengan kacamata tebal yang berasal dari Kelas Aquila melirik lingkaran sihir di bawah kakinya sekali lagi sebelum berdiri tegak. Ia mendorong kacamatanya sedikit ke atas dan berkata dengan cepat, "Aku Veyron. Kelas Aquila. Aku rasa... kita semua ada di sini karena sihir yang sangat canggih. Ini luar biasa, bukan?"

Arthur tersenyum kecil mendengar nada antusias Veyron. Ia menghela napas, menyadari bahwa kini giliran dirinya. "Namaku Arthur. Dari Kelas Canis." Ia berhenti sejenak, memandang mereka satu per satu. "Aku juga nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku akan melakukan yang terbaik."

Keempatnya berdiri dalam keheningan sejenak, memandang satu sama lain. Meskipun mereka berasal dari kelas yang berbeda dan memiliki latar belakang yang mungkin tak saling berhubungan, mereka tahu bahwa keberhasilan kelompok ini akan bergantung pada kemampuan mereka untuk bekerja sama.

"Baiklah," kata Kael, memecah keheningan. "Bagaimana jika kita saling memperlihatkan kemampuan kita?"

Arthur mengangguk, merasa ini adalah cara yang baik untuk mengenal lebih jauh tentang anggota kelompoknya. Ia sudah cukup familiar dengan tempat ini—sungai yang mengalir tenang dan pepohonan rindang di sekitarnya. Tempat ini adalah salah satu lokasi di Akademi Lumina Arcanum yang sering ia kunjungi untuk mengambil air saat ia menyiram kebun. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sini.

Celestia mengangguk dengan tenang, melangkah sedikit ke depan. "Baik, aku akan mulai," katanya sambil mengatur posisi berdirinya. Ia menyentuh bros kecil berbentuk kepompong yang tersemat di kerah jubahnya. "Circle pertamaku adalah 'Silkenveil.' Ulat sutra yang dapat menciptakan benang ajaib. Aku biasa menggunakannya untuk perlindungan atau memperbaiki sesuatu."

Dengan lembut, Celestia menggerakkan tangannya, dan benang-benang halus berkilau seperti sutra muncul dari bros itu. Benang-benang tersebut terbang melayang di udara, membentuk pola jaring yang rapat dan kuat. "Aku bisa menggunakan benang ini untuk melindungi kalian atau memperbaiki barang yang rusak," ujarnya dengan penuh keyakinan.

Kael mengernyit, lalu tertawa kecil. "Ulat sutra, huh? Benang? Haha, setidaknya kita bisa melindungi diri dari serangan, ya? Tapi kayaknya kamu lebih cocok jadi penjahit daripada pejuang." Ia masih tertawa, meskipun ada rasa kagum yang tersirat.

Veyron ikut tertawa, menambahkan, "Iya, setidaknya kita nggak akan kekurangan jaring laba-laba di medan perang." Tapi meskipun bercanda, mereka berdua tampaknya cukup terkesan dengan kemampuan Celestia.

Kael, tidak ingin kalah, segera melangkah maju. "Tunggu dulu," katanya dengan nada percaya diri. "Kalian akan lihat, aku punya sesuatu yang lebih 'keren'." Ia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap muncul naga kecil berbadan hitam dengan cakar dan gigi tajam yang bersinar. "Circle pertamaku adalah 'Obsidian Fang.' Naga kecil yang kuat, dengan cakar dan taring yang tajam," ujar Kael sambil tertawa ringan, menunjukkan naga kecil itu menggeram, memperlihatkan kekuatan yang ada pada tubuhnya.

"Naga?" Veyron mengangkat alis, sedikit terkejut. "Keren, sih. Cuma agak... berisik ya?"

Kael menepuk bahu naga itu. "Dia lebih suka bergerak di garis depan. Kalau ada yang menghalangi, biar dia yang menyelesaikan masalahnya."

Veyron tersenyum, sedikit bingung, tapi ia mengangguk. "Aku rasa, kita semua punya kekuatan masing-masing."

Kemudian, giliran Veyron. Ia menyentuh kacamatanya dengan sedikit canggung, kemudian mengangkat tangannya. "Circle pertamaku adalah 'Quillfox,' sebuah rubah kecil yang bisa menghasilkan duri energi dari bulu-bulunya." Ia memanggil Quillfox, dan seketika muncul rubah kecil berbulu putih dengan semburat biru di ujung ekornya. Setiap gerakan rubah itu disertai dengan duri-duri energi yang tajam, bersinar biru terang.

"Dia lebih cocok untuk membuat jebakan atau menyerang jarak jauh," Veyron menjelaskan dengan nada cepat. "Bukan kekuatan fisik seperti Kael, tapi lebih ke strategi dan kontrol."

Arthur mengamati ketiganya dengan seksama. Mereka memang berbeda, namun satu hal yang jelas: mereka semua memiliki potensi besar untuk bekerja sama.

"Aku sendiri," kata Arthur akhirnya, merasa perlu memperkenalkan kemampuannya juga, "memiliki Circle pertama berupa elemen air. Aku bisa menggunakan air untuk mendukung kalian."

Kael mengangguk. "Bagus. Jadi kita semua punya peran, ya?"

Veyron menatap Arthur dengan rasa ingin tahu. "Tapi... bukannya elemen air itu agak lemah, ya?" tanyanya, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, saat ia melihat bagaimana Viktor dan Putri Selina mempermalukan Arthur karena Circle air-nya.

Arthur sedikit menarik napas, tapi ia hanya tersenyum tipis. "Bukan masalah besar," jawabnya. "Setiap Circle punya cara kerjanya sendiri. Aku hanya perlu lebih banyak latihan."

Kael mengangguk sambil tersenyum lebar. "Heh, kita semua punya kekuatan masing-masing. Kita bisa bantu satu sama lain. Yang penting, kita tahu caranya."

Celestia tersenyum kecil, melangkah lebih dekat ke tepi sungai. "Aku yakin kita akan menemukan sesuatu yang bisa kita pelajari di sini. Tempat ini... terasa seperti tempat yang menyimpan rahasia."

Arthur merasa sedikit lebih tenang. Ini adalah tempat yang dia kenal, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mereka bisa bekerja sama sebagai tim. Mereka akan menghadapi apa pun yang ada di depan bersama-sama.

Setelah memperlihatkan kemampuan masing-masing, suasana menjadi sedikit lebih santai. Kael menyandarkan punggungnya pada batang pohon terdekat, sementara Veyron masih memandangi Quillfox yang kini duduk tenang di sampingnya.

Baiklah, kita sudah melihat apa yang bisa kita lakukan," kata Kael, menyeringai lebar. "Tapi kalau kita benar-benar ingin bekerja sebagai tim, kita harus berlatih bersama, kan? Setidaknya dua kali seminggu. Apa pendapat kalian?"

Veyron, yang sebelumnya terdiam, mengangguk. "Setuju. Kita butuh koordinasi. Kekuatan kita jelas bervariasi, jadi kita harus tahu bagaimana saling melengkapi. Kalau kita nggak tahu bagaimana cara bekerjasama, kita bisa saja saling menghalangi."

Celestia menatap mereka dengan penuh perhatian, kemudian mengangguk pelan. "Aku setuju. Aku juga bisa membantu dengan pertahanan dan perbaikan saat diperlukan. Tapi aku butuh waktu untuk mengenal cara kalian bertarung."

Arthur mendengarkan percakapan itu, merasa lega. "Baiklah," kata Arthur, tersenyum. "Kalau begitu, untuk hari ini, bagaimana kalau kita pergi ke kebun? Aku ingin menunjukkan kalian tempatku biasanya merawat tanaman. Sambil santai, kita bisa menyantap beberapa tanaman segar yang aku tanam di sana. Aku tahu proporsi yang tepat untuk menyajikan makanan segar."

Kael terlihat tertarik, mengangkat alisnya. "Makanan segar? Hmm, kedengarannya enak. Tapi, apa yang bisa kita makan dari kebunmu, Arthur?"

Arthur mengangguk. "Aku menanam beberapa jenis sayuran dan buah yang bisa dimakan langsung, seperti tomat kecil, daun selada, dan beberapa rempah-rempah. Rasanya cukup segar dan enak, cocok buat santai."

Veyron menatap Arthur dengan cermat. "Hmm, aku selalu tertarik dengan cara orang menanam makanan. Aku pernah membaca tentang bagaimana tanaman bisa memiliki manfaat luar biasa, selain hanya menjadi makanan. Aku ingin melihat lebih dekat."

Celestia, yang sejak tadi lebih tenang, mengangguk perlahan. "Aku suka ide itu. Menyantap makanan segar di alam terbuka bisa memberikan ketenangan, bukan hanya fisik tetapi juga pikiran."

Arthur tersenyum mendengar mereka tertarik. "Ayo, mari kita ke sana. Tempat itu cukup tenang, dan aku yakin kalian akan suka suasananya. Aku sering menyiram tanaman sambil merenung, jadi mungkin kalian bisa merasa lebih rileks di sana."

Mereka pun setuju dan mulai berjalan menuju kebun milik Arthur, yang tak jauh dari lokasi mereka berada. Kebun itu terletak di sisi kampus yang agak sepi, dikelilingi oleh pagar tanaman rambat yang rimbun, memberikan suasana yang tenang dan damai. Sesampainya di sana, Arthur menunjukkan tanaman-tanaman segar yang ia rawat dengan penuh perhatian.

"Lihat, ini tomat kecil yang baru saja matang," kata Arthur sambil memetik beberapa buah tomat merah cerah dari tanaman. "Dan ini selada segar, bisa langsung dimakan begitu saja."

Kael mencoba mencicipi tomat tersebut, tersenyum puas. "Tidak buruk! Lebih enak dari yang aku kira!"

Veyron terlihat lebih cermat, memeriksa selada yang baru dipetik. "Ini... luar biasa segar. Rasanya begitu berbeda dengan yang aku makan di kantin."

Celestia mengamati tanaman-tanaman itu dengan penuh perhatian, menyentuh beberapa daun dengan lembut. "Benar, ini memberi rasa ketenangan. Aku bisa merasakannya."

Arthur memetik beberapa jenis tanaman lainnya dan menyarankan mereka untuk mencoba rempah-rempah segar yang bisa ditambah ke dalam makanan. Mereka duduk bersama di atas rumput, menikmati makanan segar sambil berbincang santai. Tak terasa, waktu berlalu dengan cepat.

Sambil mereka menikmati kebersamaan di kebun itu, Arthur merasa sedikit lega. Meskipun tantangan di depan masih banyak, setidaknya mereka mulai saling mengenal dengan cara yang lebih santai dan alami. Ini adalah awal yang baik—menyusun dasar kebersamaan yang mereka perlukan sebelum tantangan nyata dimulai minggu depan.

Di tengah percakapan yang ringan itu, Arthur mulai berpikir bahwa, meskipun perjalanannya di akademi penuh ketidakpastian, dia tidak sendirian. Ada orang-orang yang bisa diandalkan di sekitarnya—dan itu membuat semuanya terasa sedikit lebih mudah.