Chereads / Hero : The Born of Villain / Chapter 4 - Jejak Kegelapan

Chapter 4 - Jejak Kegelapan

Pintu rahasia yang baru mereka buka membawa mereka ke dalam lorong panjang yang sunyi. Suara langkah mereka bergema di dinding batu yang tampak sudah usang, seolah-olah ruang ini belum pernah disentuh selama berabad-abad. Cahaya dari bola sihir Lyra memecah kegelapan, menerangi dinding yang penuh dengan ukiran misterius—simbol-simbol yang tak mereka kenal dan jejak-jejak zaman yang telah lama berlalu.

"Tempat ini... terasa berbeda," Finn berbisik, matanya melirik ke segala arah. "Seperti ada yang mengawasi kita."

Lyra mengangguk pelan, namun wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. "Ini ruang yang terlupakan. Bahkan banyak yang tidak tahu tentangnya. Tempat ini adalah jejak sejarah akademi yang sudah lama hilang."

Arthur memandang Lyra, merasa ada sesuatu yang janggal dalam cara dia berbicara. "Kamu tahu banyak tentang tempat ini, ya? Apa yang sebenarnya kamu cari?"

Lyra hanya tersenyum tipis, tanpa menjawab langsung. "Ada banyak hal yang tersembunyi di sini, Arthur. Lebih dari yang kita bayangkan." Suaranya mengandung nada yang hampir terasa seperti peringatan.

Mereka terus berjalan lebih dalam, menyusuri lorong yang semakin sempit. Tiba-tiba, di tengah kegelapan, Lyra berhenti dan menunjuk ke dinding di depan mereka. Di sana, sebuah gambar ukiran baru muncul—sebuah simbol besar berbentuk mata yang tampak mengawasi mereka.

"Ini... Apa itu?" Finn bertanya, terdengar bingung dan sedikit cemas.

Lyra mendekat, matanya memperhatikan simbol itu dengan seksama. "Mata ini adalah simbol pengamatan," ujarnya dengan suara datar. "Peringatan bagi siapa saja yang mencoba menyelami sejarah yang terlupakan. Mereka yang cukup berani akan dihadapkan pada kenyataan yang lebih gelap."

Arthur merasa cemas. "Sejarah yang terlupakan? Kenapa kamu terdengar begitu... tahu tentang semua ini?"

Lyra menatapnya sebentar, kemudian menunduk. "Karena... aku sudah mempelajarinya. Tempat ini menyimpan banyak rahasia, dan kita hanya bisa maju lebih jauh jika kita memahami simbol-simbol ini dengan benar."

Suaranya terdengar seperti peringatan, namun ada sesuatu yang membuat Arthur merasa bahwa Lyra tidak sepenuhnya mengungkapkan apa yang dia ketahui. Tetapi, dia tidak mengungkapkan rasa curiganya. Mungkin itu hanya perasaan buruknya saja.

Tiba-tiba, dinding di depan mereka bergeser dengan suara keras, membuka jalan menuju ruangan yang lebih luas. Ruangan ini gelap, hanya diterangi oleh cahaya bola sihir yang mereka bawa. Dinding-dinding ruangan itu tertutup dengan batu hitam yang berkilau samar, menciptakan atmosfer yang aneh dan mencekam. Di tengah ruangan, ada sebuah meja batu besar dengan beberapa gulungan dan buku-buku yang tampak sudah sangat tua.

"Ada apa di sini?" Finn bertanya, matanya melirik ke arah Lyra.

"Tempat ini adalah pusat dari pengetahuan yang tersembunyi," jawab Lyra, dengan nada yang sulit dibaca. "Ini adalah ruang di mana sejarah akademi ini disembunyikan dari dunia luar. Ada sesuatu di sini yang bisa mengubah segalanya."

Lyra bergerak mendekat ke meja, mengambil salah satu gulungan yang tampak sangat tua, dan membukanya perlahan. Sebuah peta yang sangat detail terbuka di hadapannya, menunjukkan lokasi-lokasi yang tidak dikenal, dengan tanda-tanda aneh yang tidak bisa mereka pahami.

"Ini... Apa ini?" Arthur bertanya, penasaran.

Lyra tampak ragu sejenak, matanya masih terpaku pada peta. "Peta ini... ini adalah peta dari dunia yang lebih luas. Dunia yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Dan dunia itu—terhubung dengan Hutan Mirin."

Finn tampak terkejut. "Hutan Mirin? Apa hubungannya dengan semuanya?"

Lyra menutup gulungan itu dengan hati-hati, menyembunyikan peta dari pandangan mereka. "Itu sesuatu yang harus kita pelajari lebih lanjut, Finn. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya."

Arthur, Lyra, dan Finn masih memeriksa sekitar ruangan yang penuh dengan buku-buku kuno sejarah akademi yang tersembunyi. Namun, sesuatu menarik perhatian Arthur. Di dinding sebelah kiri mereka, ada sebuah lukisan besar yang menggambarkan sekelompok orang berdiri di depan sebuah bangunan yang tampak seperti Asrama lama Akademi Lumina Arcanum. Lukisan itu sangat detail, dengan warna-warna gelap yang memberi kesan misterius dan kuno.

Pada awalnya, Arthur tidak terlalu memperhatikannya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Sesuatu di dalam lukisan itu terasa... familiar. Ia memandang lebih dekat, mencoba memahami apa yang menarik perhatian dirinya. Dan tiba-tiba, matanya terfokus pada sosok seorang wanita di tengah lukisan, berdiri dengan sikap penuh kewibawaan, mengenakan pakaian yang tampaknya berasal dari zaman yang jauh lebih tua.

Pandangannya terhenti, dan tubuhnya terasa kaku. Wanita itu—dengan rambut panjang yang diikat rapi dan mata yang tajam—sangat mirip dengan ibunya. Arthur merasakan sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya, seolah-olah ada koneksi antara wanita itu dan kenangan yang telah lama terkubur dalam pikirannya.

"Lyra... Finn," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Lihat ini. Bukankah itu... ibuku?"

Lyra dan Finn menghampiri Arthur, dan mengikuti arah pandangnya. Ketika mereka melihat sosok wanita dalam lukisan itu, ekspresi mereka berubah sedikit. Lyra mengernyitkan alisnya, matanya menyelidiki lebih dalam, sementara Finn tampak bingung.

"Apa yang kamu maksud, Arthur?" Finn bertanya, mencoba memeriksa dengan seksama.

"Ini... sangat mirip dengan ibuku," kata Arthur, suaranya terdengar penuh kebingungan. "Apakah ini mungkin kebetulan?"

Lyra mendekat lebih jauh dan memeriksa lukisan itu, lalu melihat ke arah Arthur. "Tidak ada yang bisa dikatakan dengan pasti, tapi mungkin ada hubungannya dengan sejarah akademi ini. Lukisan-lukisan semacam ini biasanya tidak ada tanpa alasan."

Arthur tetap terpaku pada gambar itu. "Tapi kenapa... kenapa ibuku ada di sini? Bukankah dia hanya seorang tabib yang biasa? Mengapa dia ada di sebuah lukisan di tempat seperti ini?"

Lyra tampaknya berpikir sejenak, lalu berkata dengan suara rendah, "Ada banyak bagian dari sejarah akademi ini yang tidak diketahui. Mungkin ibumu memiliki hubungan lebih dalam dengan akademi dari yang kamu kira."

Finn menambahkan, "Ini bisa saja hanya kebetulan. Banyak orang di akademi ini yang memiliki koneksi dengan sejarah lama. Tapi... tetap saja, ini agak aneh."

Arthur merasa bingung, tetapi juga ada rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya. Kenapa ibunya bisa ada dalam lukisan yang begitu misterius? Ada apa dengan sejarah Akademi Lumina Arcanum yang tidak pernah diceritakan kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin bingung dan curiga.

Lyra menyentuh bahu Arthur, menariknya sedikit dari lamunannya. "Kita tidak bisa terlalu lama di sini, Arthur. Tempat ini penuh dengan rahasia yang lebih gelap dari yang kita bayangkan. Terlalu banyak hal yang kita tidak ketahui."

Namun, Arthur tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Tunggu, Lyra. Aku harus tahu lebih banyak tentang ini."

Lyra menatapnya dengan tatapan tajam, seperti mencoba membaca pikirannya. "Kita akan tahu lebih banyak saat saatnya tiba. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyelidiki ini lebih jauh."

Arthur merasa ada sesuatu yang tak beres. Kenapa Lyra begitu berhati-hati? Apa yang dia sembunyikan? Apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dipertaruhkan di balik lukisan ini dan rahasia akademi ini?

Dengan perasaan yang bercampur antara rasa penasaran dan ketidakpastian, Arthur memutuskan untuk mengikuti Lyra dan Finn lebih dalam ke dalam ruangan itu. Namun, dalam benaknya, satu hal jelas—lukisan itu bukan hanya kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dia temukan, dan ia merasa bahwa itu mungkin berhubungan dengan ibunya.

Lorong itu semakin lembab, dan bau air menggenang mulai tercium di udara. Arthur, Lyra, dan Finn terus melangkah menyusuri jalur sempit yang berkelok, ditemani suara tetesan air dari atas langit-langit. Cahaya kristal sihir di tangan Lyra menari di permukaan dinding yang ditumbuhi lumut hijau tua, memberikan suasana yang semakin suram.

"Sepertinya kita sudah berada di bawah permukaan tanah... atau bahkan di bawah danau," gumam Lyra sambil mengamati langit-langit yang basah.

Mereka tiba di ujung lorong, tempat sebuah patung kepala ular raksasa berdiri megah. Kepala ular itu begitu detail, dengan sisik-sisik yang tampak seolah hidup. Matanya, yang terbuat dari batu biru berkilauan, tampak memandang mereka dengan tatapan menusuk.

"Patung ini terlihat seperti penjaga," kata Lyra, mencoba menyentuh sisiknya. Tidak ada yang terjadi.

Finn mengetuk-ngetuk dinding di sekitarnya, berharap menemukan mekanisme tersembunyi, tetapi usahanya sia-sia. "Tidak ada tombol, tidak ada tuas. Apa ini hanya dekorasi?"

Arthur memandang patung itu dengan saksama, perasaan aneh merayap di benaknya. Ia mendekat, matanya terpaku pada mata biru patung itu. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangan dan menyentuh kepala ular tersebut.

Tiba-tiba, dunia di sekitarnya menjadi hening.

 

Semua membeku. Lyra dan Finn berdiri diam seperti patung, sementara udara di sekitar Arthur terasa lebih dingin. Ruangan berubah. Langit-langit lorong menghilang, digantikan oleh pemandangan seperti lautan yang terbalik di atas kepalanya.

Arthur melangkah mundur, bingung, tetapi sebelum ia sempat berbicara, seekor ular kecil berwarna biru perak muncul entah dari mana. Ular itu melayang di udara, sisik-sisiknya berkilauan seperti air di bawah sinar bulan.

"Oh..." desis ular itu sambil menatap Arthur. "Ternyata ada keturunan Aelvia di sini. Sudah lama sekali aku tidak melihat darahnya."

Arthur menatap ular itu dengan bingung. "Aelvia? Siapa dia? Apa maksudmu dengan keturunan?"

Ular itu mendekat, ekornya bergetar ringan seperti gelombang air. "Ah, kau akan mengetahuinya... setelah waktunya tiba. Tapi aku akan memberimu petunjuk kecil, anak manusia. Masuklah ke ruangan itu saat kau cukup kuat. Semua jawaban yang kau cari ada di sana."

"Apa maksudmu? Ruangan apa?" Arthur mencoba bertanya lagi, tetapi ular itu hanya menyeringai kecil, memutar tubuhnya, lalu perlahan menghilang seperti buih di udara.

Waktu kembali berjalan. Lyra dan Finn bergerak lagi, sama sekali tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.

"Arthur, kau baik-baik saja?" tanya Finn, melihat wajah Arthur yang pucat.

Arthur mengangguk pelan, meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. "Ya, aku baik-baik saja... hanya merasa tempat ini agak aneh."

Dalam perjalanan kembali, mereka menyadari bahwa tangga yang mereka gunakan sebelumnya sudah menghilang. Dinding tempat tangga itu berada kini hanya tertutup permukaan batu licin.

"Hebat," gerutu Finn. "Tangga itu rupanya hanya mekanisme sekali pakai. Kita terjebak di sini."

Mereka mencoba mencari jalan lain, tetapi tidak menemukan apapun. Saat suasana mulai mencekam, hantu misterius yang mereka temui sebelumnya muncul kembali. Sosok itu melayang perlahan di depan mereka, tubuhnya samar seperti kabut, tetapi tatapannya penuh dengan arti.

"Jalur keluar ada di sana," kata hantu itu sambil menunjuk ke arah lorong sempit di sisi kiri ruangan.

Mereka mengikuti arahan tersebut, meskipun rasa curiga tidak pernah lepas dari pikiran Lyra. Lorong itu membawa mereka ke sebuah jalur pembuangan, sebuah saluran air kotor yang langsung menuju luar akademi.

"Ini menjijikkan," kata Lyra dengan nada kesal saat mereka merangkak keluar melalui tumpukan lumpur dan kotoran. Rambutnya penuh dengan noda, dan pakaiannya berantakan.

Setelah mereka akhirnya berhasil keluar, Lyra berdiri dan mengibaskan sisa-sisa lumpur dari roknya. Wajahnya terlihat marah. "Aku tidak akan pernah mau kembali ke tempat itu lagi! Apa yang aku dapatkan? Hanya kotoran dan rasa frustasi."

Finn hanya tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan, tetapi Arthur tetap diam. Dalam benaknya, nama Aelvia terus terngiang-ngiang. Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar di balik apa yang baru saja mereka alami, sesuatu yang harus ia temukan sendiri.

Saat mereka berjalan kembali ke asrama, malam mulai menyelimuti langit. Arthur hanya bisa bertanya-tanya—apa yang sebenarnya menunggunya di balik rahasia ini?

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya ketika mereka akhirnya tiba di dekat asrama. Akademi Lumina Arcanum berdiri megah di kejauhan, dikelilingi oleh bayangan gelap hutan dan danau di sekitarnya. Angin malam berhembus dingin, membawa serta aroma tanah basah yang masih melekat di pakaian mereka.

Lyra berjalan lebih dulu, tampak masih kesal. Finn mengikutinya sambil menguap, tampaknya lelah setelah perjalanan panjang mereka. Arthur berjalan paling belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang apa yang baru saja terjadi.

Setibanya di asrama, mereka berpisah tanpa banyak bicara. Lyra langsung menuju kamarnya dengan ekspresi masam, sedangkan Finn hanya mengangkat bahu sebelum pergi ke ruangannya sendiri. Arthur, yang biasanya ikut bercanda dengan Finn atau mencoba menenangkan Lyra, kali ini memilih diam dan kembali ke kamarnya tanpa sepatah kata pun.

Ketukan keras menggema di pintu kamar Arthur, membuatnya terbangun dengan terkejut. Ia mengucek matanya dan melirik jendela—matahari sudah tinggi.

"Arthur! Cepat bangun! Kita terlambat!" suara Finn terdengar dari balik pintu, panik.

Arthur melompat dari ranjang, rambutnya acak-acakan. Ia membuka pintu dan mendapati Finn berdiri di sana, wajahnya tampak stres.

"Apa yang terjadi?" Arthur bertanya dengan suara serak, masih setengah sadar.

"Pengundian kelompok di aula besar dimulai sebentar lagi, dan kita bahkan belum ke dapur untuk mempersiapkan makanannya! Kita juga melewatkan kelas pagi!" Finn menjelaskan cepat sambil menarik lengan Arthur.

Arthur langsung sadar sepenuhnya. Ia meraih seragamnya yang tergantung di kursi, mengenakannya secepat mungkin, lalu mengikuti Finn yang sudah melesat menuju dapur.

 

Sesampainya di dapur, mereka terengah-engah. Namun, saat masuk, pemandangan yang tidak mereka duga menyambut mereka—semua pekerjaan sudah selesai. Meja-meja penuh dengan hidangan yang rapi, siap untuk disajikan di aula besar.

Lyra berdiri di tengah dapur, mengenakan celemek, kantung matanya terlihat jelas seperti tanda bahwa ia tidak tidur semalaman. Ia menyeka keringat di dahinya sambil memeriksa satu per satu hidangan, memastikan semuanya sempurna.

Arthur dan Finn saling pandang, merasa bersalah sekaligus terkejut.

"Lyra… kau—" Arthur mulai bicara, tetapi Lyra langsung menoleh ke arah mereka dengan ekspresi datar.

"Kalian akhirnya bangun juga," katanya dingin. Suaranya tidak bernada marah, tetapi jelas menyiratkan kelelahan. "Aku tidak punya pilihan selain menyelesaikan ini sendiri. Jika tidak, kita semua akan kena masalah."

Finn menggaruk belakang kepalanya, tertunduk malu. "Maafkan aku, Lyra. Seharusnya aku membangunkanmu lebih awal, Arthur. Dan… seharusnya aku juga lebih cepat bangun."

Arthur mengangguk setuju. "Kami benar-benar minta maaf, Lyra. Ini tidak adil untukmu."

Namun, sebelum Lyra bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari arah pintu dapur. Sosok seorang perempuan muncul—ketua kelas Logistik, Cassandra Miraval, dengan tatapan tegas yang langsung membuat mereka bertiga kaku di tempat.

"Arthur! Finn! Kalian pikir ini waktu yang tepat untuk bermalas-malasan?" suara Cassandra menggema di dapur.

Arthur dan Finn langsung berdiri tegak. "Kami—kami tidak bermaksud…" Arthur mencoba menjelaskan, tetapi Cassandra memotongnya.

"Kalian menambah beban pekerjaan teman-teman kalian! Apa kalian tidak sadar bahwa waktu mereka juga berharga?" Cassandra memandang Lyra dengan sedikit simpati. "Lihat Lyra. Dia harus bekerja sendirian karena kalian berdua bangun kesiangan. Apakah itu adil?"

Arthur menunduk dalam-dalam. Finn tampak ingin membela diri, tetapi akhirnya memilih diam.

"Sebagai hukuman, kalian berdua akan membersihkan dapur setelah pengundian kelompok selesai. Aku tidak mau mendengar alasan apa pun," lanjut Cassandra dengan nada final.

Arthur dan Finn mengangguk patuh, tidak berani membantah.

"Dan Lyra," Cassandra melanjutkan, suaranya melunak sedikit. "Terima kasih atas usahamu. Pastikan kau beristirahat setelah ini."

Lyra hanya mengangguk tanpa banyak bicara, tetapi sorot matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam.

Tak lama setelah itu, ketiganya bergegas menuju aula besar. Aula itu sudah penuh dengan siswa dari berbagai kelas, suara riuh rendah memenuhi ruangan. Di depan, kepala sekolah berdiri di atas panggung, bersiap memulai pengundian kelompok.

Arthur dan Finn mencoba menyelinap ke barisan belakang, tetapi tatapan Cassandra yang tajam dari sisi ruangan memastikan mereka tidak bisa lolos begitu saja.

Lyra, yang sudah terlihat lebih tenang, berdiri di sebelah mereka. Meskipun wajahnya masih pucat karena kurang tidur, ia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membahas kejadian tadi.

Arthur melirik ke arah Lyra, merasa bersalah sekaligus kagum. Ia tahu bahwa Lyra adalah orang yang kuat, tetapi melihatnya bekerja sekeras itu sendirian membuatnya sadar betapa pentingnya kerja sama mereka sebagai tim.

"Lyra," bisik Arthur pelan.

"Hm?" Lyra menoleh sedikit, suaranya terdengar datar.

"Terima kasih… dan aku janji, aku tidak akan mengecewakanmu lagi."

Lyra hanya mengangguk singkat, tanpa berkata apa-apa. Namun, ada sedikit kelembutan di matanya yang memberi Arthur harapan bahwa ia mungkin sudah memaafkannya.