Malam itu, Arthur melangkah menuju perpustakaan, rasa penasaran bercampur keraguan memenuhi pikirannya. Perpustakaan Akademi Sihir Lumina Arcanum adalah bangunan megah dengan arsitektur gotik yang menjulang tinggi. Rak-rak kayu tua dipenuhi buku-buku tebal dengan kulit berdebu, sebagian besar ditulis dalam bahasa kuno. Lampu sihir melayang rendah, memberikan pencahayaan lembut yang menambah suasana misterius.
Lyra sudah menunggu di sana, duduk di salah satu meja panjang dengan tumpukan buku di depannya. Finn duduk di sebelahnya, mengunyah sesuatu yang terlihat seperti apel, meskipun tatapannya lebih tertuju pada buku di tangannya daripada makanannya.
"Kau lambat, Arthur," ujar Lyra sambil tersenyum tipis, mengisyaratkan agar dia duduk.
"Aku pikir kita langsung pergi mencari ruang rahasia," balas Arthur, menatap tumpukan buku dengan sedikit bingung.
"Ya, tapi kita butuh petunjuk dulu," jelas Lyra, menyodorkan sebuah buku dengan sampul yang hampir terkelupas. Judulnya tertulis dalam huruf emas yang memudar: Rahasia dan Intrik Akademi Sihir. "Aku menemukan ini tadi. Buku ini membahas tentang bagian-bagian tersembunyi di akademi. Menurut cerita lama, ada ruang rahasia yang hanya bisa diakses oleh mereka yang tahu cara membukanya."
Finn, yang biasanya tampak santai, kali ini menunjukkan sedikit minat. "Menurut buku itu, apa yang ada di ruang rahasia itu?"
Lyra membuka halaman yang sudah dia tandai sebelumnya. "Dikatakan bahwa ruang rahasia ini berisi peninggalan-peninggalan kuno dari masa para pendiri Akademi. Ada artefak, buku mantra langka, bahkan peta yang menunjukkan lokasi-lokasi penting di luar akademi."
"Dan bagaimana kita menemukannya?" tanya Arthur, bersandar di kursinya.
"Itu bagian yang sulit," Lyra mengaku. "Buku ini hanya menyebutkan petunjuk samar-samar. Tapi aku yakin kunci pertama ada di lorong bawah tanah di belakang perpustakaan. Tempat itu biasanya ditutup untuk siswa."
Arthur mengangkat alis. "Dan bagaimana kau tahu tentang itu?"
Lyra tersenyum penuh percaya diri. "Aku punya mata dan telinga di banyak tempat, Arthur."
Finn mendesah. "Jadi, kita akan masuk ke area terlarang dan mencari lorong bawah tanah berdasarkan tebakan? Kedengarannya seperti ide buruk."
"Tidak buruk kalau berhasil," jawab Lyra ringan. "Dan aku yakin ini akan berhasil."
Arthur berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, kapan kita mulai?"
Lyra berdiri, memasukkan buku itu ke dalam tasnya. "Sekarang. Kalau kita menunggu lebih lama, kita mungkin kehilangan kesempatan."
Arthur, Lyra, dan Finn keluar perlahan dari perpustakaan. Suasana malam semakin mencekam dengan lorong-lorong yang sepi, hanya diterangi oleh cahaya redup dari bola lampu sihir yang terpasang di sepanjang dinding. Mereka tahu bahwa mereka harus cepat jika tidak ingin tertangkap. Namun, rasa ingin tahu mereka mendorong mereka terus berjalan lebih jauh, menjelajahi sisi akademi yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar di ujung lorong. Lyra mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Arthur menahan napas, sementara Finn menatapnya dengan gugup. Dari sudut pandang mereka, tampak dua penjaga dengan jubah hitam yang mengenakan gelang pengawas. Mereka bergerak dengan santai, tampak seperti mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka, hanya menjalankan tugas mereka sebagai penjaga akademi.
"Sepertinya cuma penjaga biasa," bisik Lyra, meskipun suaranya masih penuh ketegangan. "Mereka nggak terlalu pintar dalam sihir, tapi kita tetap harus hati-hati."
"Mereka Cuma penjaga biasa, kan?" tanya Finn dengan cemas. "Jangan-jangan mereka punya alat pengendali sihir atau semacamnya?"
Lyra mengangguk. "Ya, mereka pakai sihir dasar untuk mengawasi kawasan ini. Paling mereka cuma bisa mendeteksi kita kalau kita menggunakan sihir terlalu mencolok."
Arthur menatap penjaga itu, yang tampaknya tidak terlalu memperhatikan sekitar. Mereka berjalan santai, tampaknya lebih fokus pada kebiasaan mereka menjaga ketertiban daripada memeriksa setiap sudut dengan teliti.
Lyra tiba-tiba berbisik, "Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kalian berdua segera menuju ruang tersembunyi setelah aku memberi sinyal. Aku akan memastikan mereka pergi."
Dengan hati-hati, Lyra melangkah mundur sedikit, menyiapkan sihirnya. Dia tidak berniat membuat sesuatu yang terlalu besar atau mencolok. Sebagai gantinya, dia memilih sihir pengalihan sederhana. Dengan gerakan halus, dia mengucapkan mantra ringan yang menghasilkan suara dari arah lain—seperti suara benda terjatuh di ujung lorong.
Kedua penjaga menoleh cepat, matanya tertuju pada sumber suara yang aneh itu.
"Hei, kamu dengar itu?" salah satu penjaga berkata.
"Mungkin ada yang mencuri buku," jawab yang lain. Mereka berdua mulai mendekati suara tersebut, meninggalkan lorong yang sebelumnya mereka patroli.
Segera setelah itu, Lyra memberi isyarat kepada Arthur dan Finn. "Sekarang! Ayo!"
Mereka berlari cepat menuju pintu menuju ruang tersembunyi yang Lyra tahu ada di dekatnya. Begitu mereka memasuki ruangan gelap itu, Lyra dengan cepat menutup pintu dengan sihir, mengunci pintu dari dalam.
"Sukses," kata Arthur, berusaha tenang meskipun napasnya masih terengah-engah. "Itu... cukup berbahaya."
Lyra tersenyum tipis. "Itu hanya penjaga biasa. Tapi kita nggak bisa terus-terusan bertindak ceroboh."
Arthur mengangguk dan mengikuti langkah Lyra yang mulai berjalan lebih dalam ke lorong gelap. Finn berjalan di belakang mereka, sedikit khawatir, matanya terus mengawasi sekeliling, meskipun dia mencoba tetap tenang. Cahaya bola sihir Lyra memberi sedikit penerangan, cukup untuk melihat jejak langkah mereka di lantai batu yang licin dan berdebu.
Mereka terus berjalan, melewati rak-rak buku besar yang tertata rapi di sepanjang dinding. Setiap rak tampaknya dipenuhi dengan buku-buku kuno dan gulungan-gulungan pergamen. Udara terasa lebih berat di sini, dan meskipun tidak ada suara selain langkah kaki mereka, ada perasaan aneh yang merayap di sepanjang punggung Arthur.
"Kenapa tidak ada penjaga di sini?" Finn bertanya dengan suara rendah, mencoba memecah keheningan yang mencekam.
Lyra mengangkat bahu, masih fokus pada jalur yang mereka lalui. "Tempat ini sangat terlindungi. Penjaga jarang sekali memasuki area ini, hanya orang-orang tertentu yang tahu cara masuk ke sini."
Namun, tiba-tiba, langkah Finn terhenti. Dengan suara keras, dia berteriak, "Hei, tunggu!"
Arthur dan Lyra menoleh, hanya untuk melihat Finn menghilang dari pandangan mereka. Tanpa ada tanda-tanda atau suara, Finn seperti lenyap begitu saja.
"Finn?" Arthur memanggil dengan cemas.
Lyra segera melangkah mundur dan memperhatikan dengan seksama lantai tempat Finn tadi berdiri. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang tidak beres. Dengan cepat, Lyra mengeluarkan bola sihir kecil dari tangannya dan melemparkannya ke arah tempat Finn hilang. Cahaya bola itu mengungkapkan bahwa di sana ada semacam celah besar yang terbuka di lantai, yang sebelumnya tersembunyi dengan sempurna.
"Jadi ini adalah mekanisme pintu rahasia," kata Lyra, suara sedikit terkejut. "Finn pasti tersedot ke dalamnya."
Dengan hati-hati, Lyra meraih sebuah buku tua yang ada di rak sebelah celah itu dan menariknya. Seketika, lantai di depan mereka bergetar dan perlahan membuka, mengungkapkan sebuah tangga gelap yang menurun ke ruang bawah tanah. Suara berderak terdengar dari bawah, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di dalam kegelapan itu.
"Dia pasti jatuh ke bawah sana," Arthur berkata dengan cemas, matanya memandangi tangga yang baru saja terbuka.
Lyra melangkah maju, mengisyaratkan pada Arthur untuk mengikuti. "Kita tidak punya banyak waktu. Ayo, kita ikuti dia."
Mereka turun ke tangga sempit itu dengan hati-hati, suasana semakin gelap dan lebih mencekam. Cahaya bola sihir Lyra semakin redup seiring mereka bergerak lebih dalam. Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan yang sangat besar, temboknya dipenuhi dengan ukiran kuno dan simbol-simbol yang tak dikenal. Ada meja-meja yang dipenuhi dengan alat-alat alkemis dan gulungan-gulungan pergamen yang tersebar.
Namun, Finn tidak terlihat di mana pun.
"Finn?" Arthur memanggil, mencoba mendengar jawabannya.
"Di sini!" suara Finn terdengar dari salah satu sudut ruangan yang lebih gelap. Ketika mereka mendekat, mereka menemukan Finn berdiri di depan sebuah dinding besar dengan simbol yang tidak asing bagi mereka.
Lyra mengamati dinding itu dengan kerutan di dahinya. Terdapat empat lambang besar yang terukir: Naga, Griffon, Elang, dan... Ular.
Arthur menunjuk lambang terakhir. "Tunggu. Ini aneh. Bukankah lambang kelas Logistik adalah Serigala, bukan Ular? Kenapa di sini jadi Ular?"
Finn ikut memandangi lambang tersebut. "Mungkin ini kesalahan? Tapi… ukirannya terlihat sangat tua. Lebih tua dari akademi ini, mungkin."
Lyra mendekat, mengamati lambang Ular yang tampak berbeda dari lambang lainnya. Ukirannya lebih gelap dan kasar, seperti sudah lama rusak atau sengaja dihapus. "Tidak. Ini bukan kesalahan," katanya pelan. "Lambang ini... seperti bagian dari sejarah yang ingin disembunyikan."
Tiba-tiba, suara berat dan dingin menggema di ruangan. "Kalian benar... ini adalah bagian dari sejarah yang tersembunyi."
Ketiganya langsung berbalik, jantung mereka berdegup kencang. Dari bayangan, muncul sosok hantu berjubah hitam. Wajahnya kurus dan pucat, matanya kosong, tapi auranya penuh kewibawaan yang menakutkan.
"Si-siapa kau?" Arthur bertanya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Hantu itu melayang perlahan, mendekati dinding dengan lambang-lambang tersebut. "Aku adalah saksi dari masa lalu. Seorang yang pernah menjadi bagian dari sejarah kelam akademi ini. Namaku sudah lama terlupakan, tapi tugasku belum selesai. Aku ada di sini untuk menjaga kebenaran ini tetap terkubur... sampai saatnya tiba."
Finn mundur sedikit, merasa tidak nyaman. "Sejarah kelam? Apa maksudmu dengan itu? Dan kenapa lambang Logistik digantikan oleh Ular?"
Hantu itu berhenti di depan lambang Ular, mengulurkan tangannya yang transparan, seolah-olah menyentuh ukiran tersebut. "Dulu, belum ada perbedaan antar kelas seperti sekarang. Tidak ada Tempur, Support, Alkimia, atau Logistik. Semuanya setara. Kami semua belajar bersama, berbagi ilmu dan kekuatan untuk menjaga keseimbangan dunia. Tapi... semuanya berubah ketika sebuah kelas melangkah terlalu jauh."
Lyra menatap hantu itu dengan serius. "Kelas apa? Dan apa hubungannya dengan lambang Ular ini?"
"Kelas Serpentine," jawab hantu itu. "Kami adalah mereka yang membawa lambang Ular. Lambang kami mewakili kecerdikan, ambisi, dan kekuatan yang tersembunyi. Tapi kecerdikan itu berubah menjadi pengkhianatan. Ambisi menjadi keserakahan. Kami mempelajari sihir terlarang, kekuatan gelap yang seharusnya tidak disentuh oleh manusia. Dan pada akhirnya, kami memanggil sesuatu yang seharusnya tetap terkubur di dunia lain: Baphomet, demon penghancur."
Ruangan menjadi semakin sunyi, hanya suara napas Arthur, Lyra, dan Finn yang terdengar.
"Baphomet?" Arthur bertanya dengan suara kecil. "Jadi... itu bukan hanya legenda?"
Hantu itu tertawa kecil, suaranya seperti retakan kayu tua. "Bukan. Itu adalah kenyataan. Demon itu benar-benar muncul, dan hampir menghancurkan negeri ini. Banyak nyawa melayang, dan akademi ini hampir runtuh. Tapi pahlawan-pahlawan besar bangkit untuk melawan. Salah satunya adalah kepala sekolah kalian saat ini."
Finn tampak terkejut. "Jadi, kepala sekolah yang menyelamatkan negeri ini?"
Hantu itu mengangguk pelan. "Benar. Dengan bantuan para pahlawan lain, dia mengorbankan segalanya untuk mengusir Baphomet dan menghancurkan kelas Serpentine. Semua anggota kami dilenyapkan, lambang kami dihapus, dan nama kami dikutuk untuk selamanya."
Lyra menatap lambang Ular itu dengan tatapan tajam. "Tapi kenapa lambang ini masih ada di sini?"
"Karena lambang ini adalah bagian dari kebenaran," jawab hantu itu. "Meskipun sejarah kami dihapus, akademi ini tidak bisa benar-benar melupakan asal-usulnya. Pintu rahasia ini menyimpan rahasia yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memahami sejarah sebenarnya. Dan sekarang kalian berdiri di sini, di depan teka-teki ini, siap untuk mengungkapnya."
Arthur menelan ludah, lalu memandang ke arah lambang lainnya. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
Hantu itu tersenyum samar. "Untuk membuka pintu ini, kalian harus menyentuh lambang-lambang tersebut dalam urutan yang benar, sesuai dengan perjalanan sejarah akademi ini. Mulailah dengan lambang Naga, simbol kekuatan untuk melindungi dan memimpin. Lanjutkan ke Griffon, simbol keseimbangan dan dukungan. Kemudian ke Elang, simbol ilmu dan inovasi. Tapi jangan pernah menyentuh lambang Ular, kecuali kalian ingin mengaktifkan kutukan yang tertanam di dalamnya."
Lyra melangkah mendekat ke lambang Naga, tapi berhenti sejenak. "Kenapa kau membantu kami? Bukankah kau seharusnya menjaga rahasia ini?"
Hantu itu menatapnya dengan tatapan dingin. "Karena aku ingin kalian mengetahui kebenaran. Dunia ini perlu mengingat sejarahnya, supaya tidak mengulang kesalahan yang sama. Tapi ingat, setelah kalian membuka pintu ini, tidak ada jalan untuk kembali."
Mereka bertiga saling berpandangan, hati mereka berdebar kencang. Arthur mengangguk perlahan. "Baiklah. Kita tidak punya pilihan lain."
Lyra meletakkan tangannya di atas lambang Naga. "Naga adalah simbol kekuatan untuk melindungi." Lambang itu menyala merah menyala.
Finn melangkah ke lambang Griffon, menyentuhnya dengan hati-hati. "Griffon adalah simbol keseimbangan dan dukungan." Cahaya emas bersinar dari lambang itu.
Arthur maju ke lambang Elang, menaruh tangannya di atasnya. "Elang adalah simbol ilmu dan inovasi." Cahaya biru yang dingin memancar dari lambang itu.
Ketika ketiga lambang bersinar, suara gemuruh terdengar, dan lambang Ular perlahan memudar dari dinding, seolah-olah benar-benar lenyap dari keberadaannya. Sebuah pintu rahasia terbuka di depan mereka, memperlihatkan lorong gelap yang terlihat menantang.
Hantu itu melayang menjauh, suaranya bergema sekali lagi. "Berhati-hatilah. Di balik pintu ini, kalian akan menemukan lebih banyak daripada yang kalian cari."
Dengan rasa ingin tahu bercampur ketegangan, mereka melangkah ke lorong itu, meninggalkan ruangan dengan lambang-lambang yang kini bersinar redup, seolah-olah beristirahat setelah mengungkapkan rahasia kelamnya.