Kelas-kelas di Akademi Sihir Lumina Arcanum mulai dipenuhi oleh murid-murid yang berjalan menuju ruang masing-masing. Suara langkah kaki berirama memenuhi koridor marmer, bercampur dengan gumaman antusias dan kegelisahan. Arthur masuk ke ruang kelas Logistik, tempat ia dan murid-murid lain yang sering dianggap "kelas bawah" berkumpul.
Arthur duduk dengan tenang di kelas Logistik. Di depan kelas, seorang pria berjanggut pendek, dengan seragam rapi berwarna biru tua—Wali Kelas Logistik, Mr. Alfon—menatap para muridnya dengan tatapan tajam. Lambang serigala perak terpampang di dinding belakang, melambangkan ketekunan dan kecerdikan kelas ini.
"Selamat pagi," suara Mr. Alfon terdengar tegas namun tidak mengintimidasi, seperti komandan perang yang tahu cara mengatur pasukannya. "Hari ini, saya akan memberikan rincian lengkap tentang ujian yang sudah diumumkan kemarin—Perburuan di Hutan Mirin."
Mr. Alfon mengawali penjelasannya dengan nada serius. "Hutan Mirin bukan sekadar tempat ujian. Itu adalah medan pertempuran antara kehidupan dan kematian. Jika kalian ceroboh, kalian tidak hanya gagal—kalian bisa mati."
Seluruh ruangan langsung sunyi. Bahkan mereka yang biasanya mengobrol di sudut pun terlihat memasang wajah serius.
"Selama satu bulan penuh, kalian akan bertahan hidup di Hutan Mirin. Setiap kelompok akan diundi secara acak. Satu kelompok terdiri dari empat orang: satu dari kelas Tempur, satu dari kelas Support, satu dari kelas Alkimia, dan satu dari kelas Logistik. Namun, penilaian akan dilakukan secara individu. Mereka yang gagal kembali setelah satu bulan akan dinyatakan tidak lulus dan dikeluarkan dari akademi."
Arthur mendengarkan dengan saksama. Kata-kata "dikeluarkan" membuatnya merasa sedikit tegang, tetapi dia tidak menunjukkan hal itu di wajahnya.
Mr. Alfon melanjutkan, "Kalian akan dinilai berdasarkan rank Circle ke-2 yang kalian dapatkan selama ujian berlangsung. Bagi mereka yang berhasil meraih posisi 10 besar, hadiah besar menanti. Namun ingat, hadiah itu hanya akan diberikan kepada mereka yang pantas, bukan kepada kelompoknya. Jadi, jika anggota kelompok kalian gagal, kalian tidak terkena penalti—selama kalian bisa menyelesaikan misi pribadi kalian."
Para murid mulai saling melirik, beberapa terlihat bersemangat, beberapa lainnya tampak gugup. Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya, "Apa saja yang akan kami hadapi di dalam hutan, Pak?"
Mr. Alfon tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak memberikan rasa nyaman. "Semua yang ada di Hutan Mirin—termasuk makhluk-makhluk magis yang belum pernah kalian lihat. Tentu saja, jika kalian cerdas, kalian juga bisa menemukan banyak sumber daya untuk mendukung perjalanan kalian."
Setelah selesai menjelaskan semua detail tentang ujian di Hutan Mirin, Mr. Alfon menutup penjelasannya dengan sebuah pengumuman yang membuat semua murid menegakkan punggung mereka.
"Besok, setelah makan siang, semua kelas akan berkumpul di Aula Besar untuk pengundian kelompok. Kepala Akademi sendiri akan memimpin acara tersebut. Pastikan kalian hadir tepat waktu," kata Mr. Alfon dengan nada tegas. "Kalian boleh meninggalkan kelas untuk hari ini, tetapi gunakan waktu ini untuk mempersiapkan diri."
Dengan itu, Mr. Alfon melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan para murid dalam keheningan.
Arthur mendesah pelan dan mulai membereskan bukunya, tetapi sebelum dia sempat berdiri, Lyra sudah menyandarkan dagunya di meja sambil berkata, "Jadi, apa pendapatmu tentang ujian ini, Arthur? Menurutku, ini cuma alasan lain untuk membuat kita dari kelas Logistik terlihat buruk."
Finn menyandarkan tubuhnya di kursinya dengan santai, tangan terlipat di belakang kepala. "Ya, aku dengar kelas kita biasanya cuma main aman. Kabur ke pinggiran Hutan Mirin, cari beast lemah atau sesuatu yang gampang diambil, lalu kembali ke Akademi. Simpel, nggak ribet, dan kita nggak bakal dikeluarkan."
Arthur mengangkat alisnya. "Serius? Bukankah itu berarti kita hanya mengambil jalan pintas?"
Lyra mendengus. "Kamu belum tahu seperti apa dunia ini, Arthur. Kalau kamu memutuskan untuk benar-benar mengikuti ujian ini dengan serius, ada kemungkinan kamu bakal disiksa habis-habisan kalau kamu satu kelompok dengan orang seperti Viktor Draken."
Nama itu membuat Arthur berhenti sejenak. Dia adalah sesorang yang melemparkan makanan ke arahnya kemarin, seorang bangsawan dari kelas Tempur yang terkenal karena sifatnya yang arogan dan kejam, terutama kepada siswa dari kelas Alkimia dan Logistik.
Lyra melanjutkan, nada suaranya lebih serius. "Orang seperti Viktor tidak melihat kita sebagai rekan, tapi sebagai budak. Aku dengar kakaknya pernah memaksa seorang murid Logistik untuk memasak dan membawa barang-barangnya sepanjang ujian tanpa memberi kesempatan murid itu beristirahat. Ketika ujian selesai, murid itu terlalu kelelahan untuk kembali ke Akademi tepat waktu. Dan apa yang terjadi? Dia dikeluarkan."
Arthur mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi itu. "Kalau begitu, kenapa tidak ada yang melaporkan hal itu ke pengawas?"
Finn tertawa kecil, tapi nadanya penuh sarkasme. "Melapor? Siapa yang peduli? Keluarga Draken punya pengaruh besar, bahkan di kalangan guru. Kamu pikir siapa yang akan membela murid Logistik seperti kita?"
Arthur terdiam. Pikirannya mulai dipenuhi bayangan tentang kemungkinan buruk yang bisa terjadi di Hutan Mirin.
"Jadi, apa rencanamu, Lyra?" tanya Arthur akhirnya.
Lyra mengangkat bahu. "Kalau aku, seperti yang aku bilang. Kabur ke pinggiran hutan, cari beast lemah atau sesuatu yang berguna, lalu kembali ke Akademi. Bukan ide yang buruk, kan? Setidaknya aku masih punya Circle pertama yang utuh dan aku nggak bakal dikeluarkan."
Finn menyeringai. "Tapi aku penasaran, Arthur. Kamu bakal ikut kabur dengan kami atau mencoba jadi pahlawan dan masuk lebih dalam ke hutan?"
Arthur tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap keluar jendela, ke arah taman akademi yang luas. Pikirannya berputar-putar, mempertimbangkan semua yang baru saja dikatakan teman-temannya.
Arthur akhirnya berdiri, memasukkan buku catatannya ke dalam tas, dan menghela napas panjang. "Aku belum tahu. Mungkin aku akan lihat situasinya dulu."
Finn tertawa kecil sambil menepuk pundak Arthur. "Kamu terlalu serius, Arthur. Ingat, ini ujian, bukan medan perang. Nggak ada yang peduli kalau kita cuma mau selamat. Yang penting nggak kena coret dari daftar siswa."
"Dia benar," tambah Lyra. "Kadang, nggak apa-apa untuk main aman. Akademi ini nggak punya belas kasihan. Begitu kamu gagal, selesai sudah."
Arthur hanya mengangguk kecil, meskipun di dalam hatinya dia merasa ada yang tidak beres. Dia tidak ingin dianggap sebagai pengecut yang hanya kabur untuk bertahan hidup. Namun, dia juga tahu risikonya terlalu besar jika dia mengambil langkah gegabah.
Saat mereka bertiga berjalan keluar dari ruang kelas, Arthur tiba-tiba teringat sesuatu dan menoleh ke Lyra. "Ngomong-ngomong, kalau kamu punya burung angin itu—Zephyros, ya—kenapa kamu bilang sebelumnya kalau kamu punya Circle elemen?"
Lyra tersenyum nakal. "Itu hanya untuk mengerjaimu. Kamu kelihatan terlalu serius waktu aku bilang itu tadi, jadi aku nggak tahan untuk nggak bercanda."
Finn menambahkan dengan nada santai, "Dan aku juga, Arthur. Aku cuma punya Gaius, beast kecil yang bahkan mungkin lebih lemah dari Zephyros."
Arthur mengerutkan kening. "Jadi kalian berdua sepakat untuk menipuku, ya?"
Lyra tertawa, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Bukan menipu. Itu namanya… menguji ketenanganmu."
Arthur tidak bisa menahan senyum kecil di wajahnya. "Baiklah, kalau begitu, kalian sudah berhasil. Tapi ingat, aku akan membalasnya suatu saat nanti."
"Deal," jawab Lyra dengan nada menantang, sementara Finn hanya mengangkat bahu sambil tertawa.
Ketika mereka berpisah di koridor, Arthur berjalan sendiri ke asramanya. Saat melewati lorong panjang menuju kamarnya, dia merenung. Kata-kata Lyra dan Finn tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya, terutama soal Viktor Draken dan perlakuannya terhadap siswa dari kelas Logistik.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lain yang menggelitik pikirannya. Lyra dan Finn, meskipun sering bercanda, memiliki sikap realistis terhadap kehidupan di Akademi. Sementara dia… dia masih belum tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.
"Bertahan hidup atau mencoba membuktikan sesuatu…" gumam Arthur pelan sambil membuka pintu kamarnya.
Kamar itu seperti biasa, penuh dengan buku-buku herbal dan alat-alat yang berserakan di meja. Sebuah ember kecil di sudut ruangan masih terisi air dari latihan pagi tadi.
Arthur duduk di tepi tempat tidurnya, pandangannya terarah ke lantai. Ujian ini akan menjadi ujian besar, bukan hanya untuk kemampuannya, tetapi juga untuk keberaniannya
Arthur menghabiskan beberapa menit duduk di tempat tidurnya, menatap ruangan yang berantakan itu. Pikirannya dipenuhi dengan gambaran tentang Hutan Mirin, tentang apa yang menunggunya di sana. Namun, rasa penasarannya tentang undian kelompok membuatnya gelisah.
"Kalau aku satu tim dengan seseorang seperti Viktor Draken, mungkin aku nggak perlu khawatir soal beast. Aku bakal mati duluan gara-gara dia," gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
Untuk mengalihkan pikirannya, Arthur berdiri dan mulai merapikan meja. Dia menyusun buku-buku herbalnya dan mengelompokkan alat-alat penyembuhan yang tercecer. Tapi saat merapikan semuanya, dia menemukan sebuah gulungan kecil yang terjepit di antara dua buku. Gulungan itu adalah sketsa tanaman yang dia gambar beberapa hari lalu—tanaman langka yang kabarnya tumbuh di Hutan Mirin.
"Mungkin aku bisa mencari tanaman ini," pikirnya. Dia mengamati sketsa itu lebih dekat. "Kalau aku berhasil membawanya kembali, itu bisa jadi sesuatu yang berarti."
Saat dia tenggelam dalam pikirannya, sebuah ketukan keras terdengar di pintu.
Tok. Tok. Tok.
"Arthur, buka pintunya!" Suara Finn terdengar mendesak dari luar.
Arthur segera membuka pintu dan melihat Finn berdiri dengan napas terengah-engah. Ekspresi panik terlihat jelas di wajahnya.
"Ada apa, Finn?" tanya Arthur dengan nada khawatir.
"Ini soal Lyra," jawab Finn, suaranya sedikit gemetar. "Dia... dia ada masalah dengan Viktor Draken di luar asrama!"
Arthur langsung merasa dadanya berdebar keras. "Apa yang terjadi?!"
"Aku nggak tahu detailnya, tapi aku lihat mereka berdebat. Viktor dan antek-anteknya seperti sedang memojokkannya."
Arthur langsung mengambil jubahnya dan keluar dari kamar, diikuti oleh Finn.
Ketika mereka sampai di halaman belakang asrama, Arthur melihat Lyra berdiri di depan Viktor Draken, seorang siswa dari kelas Tempur yang dikenal karena sifatnya yang arogan dan kejam. Viktor terkenal sebagai anak bangsawan kelas atas dengan Circle pertamanya berupa Infernal Drake, seekor naga kecil yang mampu memanipulasi api dengan serangan yang mematikan. Di sebelahnya berdiri dua anteknya, salah satunya memiliki tubuh besar seperti raksasa, dan yang lain memegang tongkat dengan aura petir berkilat di ujungnya.
"Berhenti bersikap sok pahlawan, Lyra," Viktor berkata dengan nada mengejek sambil melangkah mendekat. "Kau dari kelas Logistik. Tempatmu di bawah, membantu kami, bukan melawan kami."
Lyra tidak mundur, meskipun keringat terlihat mengalir di pelipisnya. "Aku tidak peduli siapa kau, Viktor. Aku tidak akan membiarkanmu menghina kami terus-menerus."
"Apa? Mau mencoba melawanku? Apa kau sudah lupa siapa aku?" Viktor tertawa keras, dan para anteknya ikut tertawa.
Arthur maju ke depan sebelum Viktor bisa berkata lebih banyak. "Sudah cukup, Viktor. Lepaskan dia."
Viktor berbalik, tatapannya menyipit. "Oh, lihat siapa yang datang. Sang pahlawan kelas Logistik."
Finn berbisik panik ke Arthur, "Hati-hati, Arthur. Jangan terpancing."
"Lyra bukan orang yang bisa kau ganggu sesukamu," lanjut Arthur, mencoba menjaga suaranya tetap tegas.
Viktor melangkah mendekati Arthur, berdiri hanya beberapa inci darinya. "Kau tahu, Arthur, aku bisa menghancurkanmu dengan satu serangan." Dia tersenyum sinis. "Tapi kau terlalu menyedihkan untuk itu. Lagipula, elemen airmu bahkan tidak bisa membuatku berkeringat."
Arthur mengepalkan tangan, tapi sebelum dia bisa membalas, Lyra berbicara. "Cukup, Viktor. Aku tidak akan memberimu alasan untuk menyerang mereka. Kau hanya mencoba mencari alasan untuk pamer."
"Berani juga kau bicara seperti itu," gumam Viktor, tapi dia akhirnya mundur sedikit. "Ingat ini, Lyra. Saat ujian di Hutan Mirin nanti, kau akan menyesal karena menantangku. Aku akan memastikan kau mengingat tempatmu."
Dengan itu, Viktor berbalik dan pergi, diikuti oleh antek-anteknya.
Arthur segera berbalik ke arah Lyra. "Apa kau baik-baik saja?"
Lyra mengangguk, meskipun tangannya sedikit gemetar. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah datang, kalian berdua."
Finn menghela napas panjang. "Lyra, kau benar-benar harus berhenti menantang orang seperti dia. Itu berbahaya."
Lyra tersenyum tipis. "Aku tahu, tapi aku tidak bisa diam saja saat dia terus merendahkan kita."
Arthur menatap Lyra dengan kagum, meskipun dia juga merasa khawatir. "Kau benar, tapi kita harus berhati-hati. Viktor jelas tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau."
"Kalau begitu," Lyra berkata sambil melipat tangan, mencoba kembali ke sikap percaya dirinya, "kita harus memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan itu."
Finn menatap mereka berdua. "Jadi, apa rencanamu sekarang?"
Lyra tersenyum lebar. "Aku punya ide. Tapi ini akan membutuhkan kerja sama kalian."
Arthur mengangkat alis. "Apa lagi ini?"
Lyra menatap mereka dengan penuh semangat. "Kalian tahu tentang ruang rahasia di Akademi, kan? Kurasa di sana kita bisa menemukan sesuatu yang bisa membantu kita menghadapi Viktor nanti.
Arthur memandang Lyra dengan penuh perhatian. Setelah apa yang terjadi, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Saat mereka berjalan menjauh dari halaman belakang asrama, Arthur memecah keheningan.
"Lyra," Arthur memulai, nada suaranya tenang tapi tegas, "apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Viktor sampai memojokkanmu seperti itu?"
Lyra terdiam sejenak, tidak langsung menjawab. Pandangannya terfokus pada jalan berbatu di depan mereka. Finn, yang biasanya ceria, juga tidak mengatakan apa-apa, seolah menyadari bahwa ini adalah percakapan serius.
"Aku sudah bilang tadi," akhirnya Lyra berkata, suaranya datar. "Dia hanya mengolok-olokku. Itu saja."
"Tidak mungkin hanya itu," balas Arthur, menghentikan langkahnya dan menatap Lyra. "Aku tahu kau cukup tangguh untuk mengabaikan ejekan biasa. Tapi tadi kau terlihat benar-benar marah. Apa yang dia katakan?"
Lyra menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri tampak lelah, seperti dia memikul beban yang terlalu berat.
"Dia... Viktor tahu sesuatu tentangku," Lyra akhirnya mengaku. "Sesuatu yang tidak banyak orang tahu."
Arthur mengernyit. "Apa itu?"
Lyra menggigit bibirnya, lalu menatap Arthur dengan pandangan ragu-ragu, seperti sedang memutuskan apakah dia bisa mempercayai mereka. Setelah beberapa detik, dia akhirnya berbicara.
"Viktor tahu aku bukan anak kandung keluargaku," katanya pelan, suaranya nyaris berbisik. "Aku... aku diadopsi. Keluargaku tidak pernah menganggapku sebagai bagian dari mereka. Dan Viktor, dia selalu menggunakan itu untuk menghina dan merendahkanku."
Arthur tertegun mendengar pengakuan itu. Finn tampak sama terkejutnya, matanya membelalak.
"Itu sebabnya aku tidak pernah benar-benar cocok di keluargaku," lanjut Lyra, suaranya sedikit bergetar. "Aku selalu berusaha keras untuk membuktikan bahwa aku pantas berada di sana. Tapi Viktor... dia selalu membuatku merasa seperti aku tidak punya tempat di dunia ini."
Arthur merasakan kemarahan membakar di dadanya. "Itu kejam," katanya, suaranya penuh amarah yang tertahan. "Dia tidak punya hak untuk memperlakukanmu seperti itu."
Lyra tersenyum kecil, meskipun terlihat pahit. "Itulah Viktor. Dia selalu mencari kelemahan orang lain untuk dimanfaatkan."
Finn akhirnya angkat bicara, suaranya penuh rasa simpati. "Lyra, kami tidak peduli tentang masa lalu atau keluargamu. Yang kami tahu, kau adalah bagian dari kelompok kami, dan kami akan selalu ada untukmu."
Lyra tersenyum lebih hangat kali ini, meskipun matanya masih menyiratkan sedikit kesedihan. "Terima kasih, Finn. Terima kasih, Arthur. Aku menghargai itu."
Arthur menepuk bahu Lyra dengan lembut. "Kau tidak sendiri, Lyra. Kami di sini bersamamu. Dan kita akan menghadapi Viktor bersama."
Lyra mengangguk, kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Dia kemudian mengalihkan topik pembicaraan, mencoba menghapus suasana suram. "Baiklah, sekarang soal rencanaku. Aku yakin ada sesuatu di ruang rahasia Akademi yang bisa membantu kita."
Arthur mengerutkan kening. "Ruang rahasia? Kau serius?"
Lyra mengangguk penuh semangat. "Tentu saja. Ada banyak cerita tentang tempat itu. Tidak hanya menyimpan artefak langka, tapi juga informasi yang bisa mengubah permainan. Jika kita bisa menemukannya, mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang bisa membuat Viktor berpikir dua kali sebelum mencoba menjatuhkan kita."
Finn tampak ragu. "Dan kau yakin kita bisa menemukannya? Maksudku, ruang rahasia itu mungkin cuma legenda."
Lyra tersenyum licik. "Legenda selalu punya sedikit kebenaran di dalamnya, Finn. Dan aku tahu di mana kita bisa mulai mencari."
Arthur, meskipun masih sedikit skeptis, tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang mulai muncul. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kalau kau punya rencana, aku ikut."
"Kalau begitu, kita mulai malam ini," kata Lyra dengan semangat. "Temui aku di perpustakaan setelah makan malam. Kita akan mulai petualangan kita di sana."