Di sudut lembah pegunungan Eldoria, tersembunyi di balik gerbang besi berukir lambang bintang tujuh, berdiri megah Akademi Sihir Lumina Arcanum. Didirikan berabad-abad yang lalu, akademi ini tidak hanya menjadi tempat untuk mengasah sihir, tetapi juga tempat di mana masa depan para bangsawan dan penyihir besar digembleng. Di sinilah para siswa dari keluarga terhormat dan juga mereka yang berbakat dalam sihir berkumpul, belajar dan berkompetisi untuk mendapatkan posisi di kerajaan.
Namun, bagi Arthur Alveric, tempat ini terasa seperti penjara yang mengekang harapan-harapannya.
Keluarganya dulunya terkenal sebagai penyembuh dan tabib terhebat di Eldoria. Ayahnya, Alistair Alveric, adalah seorang Healer legendaris yang bisa menyembuhkan penyakit yang bahkan para penyihir paling berkuasa pun tidak bisa atasi. Namun, setelah kepergian ayahnya yang misterius—dan kematian ibunya akibat penyakit yang tak terdiagnosis—semua itu berubah. Keluarganya yang dulu dihormati kini jatuh, dan mereka tidak lebih dari keluarga bangsawan rendah yang tersisihkan.
Arthur mengingat dengan jelas masa kecilnya—hari-hari di mana ayahnya akan memanggilnya untuk belajar ilmu penyembuhan dan mengajarkan cara menyembuhkan luka. Namun, sekarang, di Akademi Sihir Lumina, dia hanya bisa mengelola makanan di kelas Logistik, kelas yang sering dipandang sebelah mata karena tugasnya dianggap tak berguna oleh banyak orang.
Kamar asrama yang ditempatinya terasa sempit. Dinding-dindingnya dihiasi dengan plakat-plakat penghargaan yang kini hanya menjadi kenangan pahit bagi keluarga Alveric. Setiap kali Arthur memandangnya, ia mengingatkan dirinya tentang masa lalu yang sudah terlupakan.
Kelas di Akademi Sihir Lumina Arcanum
Di akademi ini, para siswa dibagi dalam empat kelas utama, masing-masing dengan tujuan dan lambang yang mencerminkan kekuatan atau keahlian mereka.
Kelas Tempur (Draco)– Lambang naga emas yang membara. Kelas ini dikhususkan untuk siswa yang ingin menguasai sihir pertempuran dan bertempur di medan perang. Siswa di kelas ini dikenal dengan fisik mereka yang tangguh dan kemampuan sihir serang yang luar biasa. Mereka sering kali menjadi yang pertama dalam pertempuran. Kelas Support (Griffon)– Lambang griffon, makhluk mitologi dengan tubuh singa dan kepala serta sayap elang. Kelas ini berfokus pada penyembuhan, debuff, dan buff. Para siswa di kelas ini dikenal dengan kemampuan mereka untuk memberikan dukungan besar dalam pertempuran, baik dengan sihir penyembuhan maupun kemampuan untuk meningkatkan kekuatan teman-teman mereka atau mengurangi kekuatan musuh. Kelas ini mengajarkan bahwa kekuatan terbesar tidak selalu datang dari serangan, tetapi dari kemampuan untuk mendukung dan melindungi orang lain. Kelas Alkimia (Aquila)– Lambang elang yang terbang tinggi. Kelas ini mengajarkan seni alkimia dan pengolahan bahan-bahan magis. Mereka menciptakan ramuan dan senjata magis yang dapat digunakan di berbagai aspek kehidupan. Siswa dari kelas ini dikenal karena kecerdikan mereka dalam meramu bahan yang bisa mengubah jalannya pertempuran. Kelas Logistik (Canis)– Lambang serigala yang setia. Kelas ini bertugas memastikan bahwa semua kebutuhan dasar akademi, terutama yang berhubungan dengan makanan dan barang bawaan, dapat terpenuhi dengan baik. Meskipun banyak yang menganggapnya kelas yang kurang penting, mereka yang berada di sini memiliki peran penting dalam menjaga kelancaran operasional akademi.
Terjadi Kejadian di Aula Makan
Pagi itu, seperti biasa, Arthur berjalan ke dapur kelas Logistik dengan langkah kaki yang berat. Beberapa siswa lain sudah lebih dulu berada di sana, sibuk dengan tugas mereka. Setelah beberapa saat, makanan yang telah disiapkan pun diangkut menuju aula besar tempat para siswa dari berbagai kelas berkumpul untuk makan. Namun, hari ini terasa berbeda.
Saat makanan disajikan, suasana tiba-tiba berubah menjadi tegang. Seorang siswa dari Kelas Tempur, Viktor Draken, yang dikenal dengan sikapnya yang sombong, berdiri dengan wajah penuh kemarahan sambil menunjuk piring makanannya. "APA INI?" teriaknya. "Kalian dari Kelas Logistik benar-benar tidak becus! Ini lebih mirip makanan ternak!" katanya dengan nada merendahkan, membuat sebagian besar siswa tertawa.
Arthur, yang duduk di meja yang lebih dekat ke dinding, hanya bisa menahan napas. Tak lama kemudian, piring itu melayang ke arahnya dengan kecepatan tinggi, dan meskipun ia berusaha menghindar, piring itu menghantam dinding di belakangnya dengan keras, pecah berkeping-keping.
Tawa mulai memenuhi aula, dan Arthur merasa seluruh tubuhnya dipenuhi rasa malu. Ia ingin segera melarikan diri, namun kakinya terasa berat. Saat itulah, ada suara yang terdengar dari arah pintu aula.
Selina Alerian, putri Kaisar, berdiri di pintu aula dengan gaun putih yang berkilau, rambut panjang tergerai indah, dan tatapan tajam yang langsung menenangkan suasana. Namun, bukan hanya ketenangannya yang menarik perhatian. Setiap langkahnya seperti menambah beban di pundak Arthur.
"Viktor, cukup!" suara itu tegas, namun begitu dingin. Semua mata di aula beralih ke Selina, yang kini berdiri tegak dengan ekspresi penuh wibawa.
"Arthur hanya melakukan tugasnya," lanjut Selina dengan nada yang terdengar penuh empati, "Namun, kalian yang menghina makanan yang telah disiapkan dengan susah payah, apa itu yang kalian sebut sebagai siswa dari Akademi Sihir Lumina?"
Arthur melihat Selina dengan harapan bahwa ia akan membela dirinya. Namun, harapan itu cepat pudar saat Selina menambahkan, "Tentu saja, kalian bisa memaklumi kekurangan dari Kelas Logistik. Mereka hanya bisa mengurus barang dan makanan—tidak bisa membuat sihir yang membunuh atau menyembuhkan dengan cepat."
Senyuman sinis muncul di wajah Selina saat dia melirik Arthur sejenak. "Tapi tidak masalah. Mereka mungkin tidak akan menyembuhkan siapa pun, tetapi pasti bisa membuat kalian kenyang, bukan?"
Tawa teredam di aula, dan Arthur merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya menghilang. Itu bukan pertolongan—itu penghinaan terang-terangan.
"Apakah kamu yakin bisa bertahan di sini, Arthur?" Selina melanjutkan, suaranya terdengar lebih rendah, namun cukup keras untuk didengar semua orang. "Mungkin sudah waktunya kamu menyadari tempatmu yang sebenarnya. Ini bukan tempat bagi orang seperti kamu."
Ternyata, apa yang dimulai sebagai sedikit pembelaan berubah menjadi lebih buruk, lebih memalukan. Selina, yang awalnya tampak berusaha membela, malah memberikan garam pada luka yang sudah menganga. Dia melangkah pergi dengan anggukan kecil kepada mereka yang tertawa, meninggalkan Arthur dalam cengkeraman rasa malu yang semakin dalam
Selina telah pergi, dan aula kembali menjadi sepi. Siswa-siswa lain masih terdiam, beberapa tersenyum sinis atau berbisik satu sama lain. Arthur merasa tubuhnya kaku, jantungnya berdegup kencang, dan tatapan mata para siswa membuatnya semakin tenggelam dalam rasa malu. Bahkan makanan yang seharusnya dia siapkan dengan penuh perhatian kini hanya menjadi bahan olokan.
Namun, sebelum lebih jauh tenggelam dalam perasaan itu, pintu aula terbuka kembali dengan suara berderak keras.
Tiga sosok guru masuk ke dalam aula. Salah satunya adalah seorang wanita yang tampak tak terpengaruh oleh ketegangan yang baru saja terjadi. Dia mengenakan jubah hitam dengan garis biru yang mencolok di bagian pinggirannya, simbol dari kedudukannya sebagai Guru Kedisiplinan di akademi ini. Wajahnya terlihat dingin dan tajam, dengan rambut panjang yang diikat rapi ke belakang, dan matanya yang berwarna hijau terang memancarkan kewibawaan. Ada sesuatu yang luar biasa tentang dirinya, sesuatu yang tidak dapat disangkal.
Arthur mengenalnya, meskipun ia tidak tahu banyak tentang dirinya. Namanya adalah Professor Elara Rivenstone, seorang wanita yang dulunya terkenal sebagai salah satu dari 10 Penyihir Wanita Terkuat yang pernah ada di kerajaan ini. Kepiawaiannya dalam sihir sangat luar biasa, terutama dalam bidang pengendalian magis.
Elara melangkah dengan mantap menuju meja tempat Arthur duduk, dan tanpa berkata-kata, matanya yang tajam memeriksa keadaan sekitar, seakan menilai seluruh situasi. Para siswa di aula mulai diam, beberapa bahkan merunduk karena mengetahui bahwa Profesor Elara adalah sosok yang tidak pernah mentolerir kekacauan.
"Arthur," kata Elara dengan suara yang dalam dan tegas, "Berdirilah."
Arthur, meski rasa malunya masih sangat besar, perlahan berdiri dan menatapnya. Matanya tidak bisa menutupi rasa terkejutnya. Bagaimana seorang guru yang terkenal dengan kekuatan besar dan ketegasan ini akan menangani situasi yang tampaknya remeh ini?
Tanpa berbicara lebih banyak, Elara melambaikan tangannya dengan gerakan elegan. Seketika, cahaya biru lembut menyelimuti tubuh Arthur, dan dalam sekejap, seluruh tubuhnya yang sebelumnya lengket dengan makanan, kini bersih kembali. Tidak ada jejak noda atau kotoran yang tertinggal di tubuhnya. Bahkan rambutnya yang berantakan kini tampak terurai dengan rapi.
Sihir Clean—tapi dilakukan dengan cara yang sangat profesional, seolah-olah sihir itu sudah menjadi bagian dari dirinya.
Arthur merasa tubuhnya kembali ringan, dan meskipun rasa malunya masih ada, ada sedikit kelegaan yang datang bersama kesegaran tubuhnya. Dia menatap Elara dengan rasa terima kasih yang mendalam, meski masih tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Elara menatapnya dengan tatapan tajam, tetapi tidak ada kekasaran dalam suaranya saat dia berkata, "Jangan biarkan insiden ini menghancurkan harga dirimu. Kejadian seperti ini bukan sesuatu yang patut dijadikan bahan olokan. Jika kau ingin dilihat sebagai seseorang yang kuat, mulai sekarang, buktikan dengan tindakanmu, bukan dengan perasaan yang mudah terluka."
Setelah memberikan nasihat singkat namun padat itu, Elara menoleh ke seluruh kelas dan berbicara dengan tegas. "Tidak ada seorang pun di sini yang lebih rendah dari yang lain. Di Lumina Arcanum, kami melatih bukan hanya kekuatan magis, tetapi juga karakter. Kami tidak akan mentolerir penghinaan atau pelecehan. Jika kalian punya masalah, bicarakan dengan cara yang baik."
Suasana di aula yang sebelumnya penuh tawa kini berubah menjadi sunyi. Semua siswa merasa terintimidasi dengan kehadiran Elara. Mereka tahu betul bahwa wanita ini tidak hanya seorang guru, tetapi juga seseorang yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan mereka dengan satu gerakan.
Setelah memberikan pelajaran yang tajam dan menenangkan, Professor Elara menyapu pandangannya ke seluruh kelas. Tatapannya yang tajam membuat setiap siswa menunduk, merasakan kehadiran seseorang yang tidak akan mentolerir gangguan. Elara menarik napas panjang, seolah-olah sedang mempertimbangkan kata-katanya.
"Sekarang, dengarkan baik-baik. Saya akan menyampaikan pengumuman penting," katanya.
Arthur, yang sudah kembali ke tempat duduknya, menegakkan tubuhnya. Dia masih merasa canggung setelah kejadian tadi, tetapi pengumuman dari Elara selalu berarti sesuatu yang besar.
"Sebulan dari sekarang, akan diadakan perburuan di Hutan Mirin," lanjut Elara. "Ini bukan ujian biasa. Perburuan ini bertujuan membantu kalian untuk meningkatkan kemampuan kalian, khususnya bagi yang ingin mencapai Circle ke-2."
Bisikan langsung menyebar di aula. Nama Circle selalu menarik perhatian para siswa.
"Hanya siswa dengan Circle pertama yang sudah mencapai level 20 atau lebih yang diizinkan mengikuti perburuan ini," Elara menambahkan. "Ini adalah kesempatan kalian untuk membuktikan kemampuan. Di sana, kalian akan menghadapi berbagai makhluk magis. Beberapa di antaranya memiliki inti kekuatan yang dapat membantu kalian memperkuat Circle kalian."
Arthur mendengarkan dengan saksama. Level Circle-nya saat ini berada di angka 23, jadi dia memenuhi syarat. Tapi yang membuat pikirannya sibuk bukanlah itu, melainkan tantangan apa yang akan ia hadapi di Hutan Mirin.
Elara memandang para siswa satu per satu, memastikan semua benar-benar menyerap informasi yang ia sampaikan. "Namun, perburuan ini bukan tanpa risiko. Hutan Mirin adalah tempat yang berbahaya. Banyak yang tidak pernah kembali dari sana. Kalian harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya."
Aula kembali sunyi, suasana terasa berat dengan ketegangan. Namun, Arthur tidak merasa gentar. Sebaliknya, dia merasakan tantangan ini sebagai peluang.
"Gunakan waktu ini dengan bijak," Elara mengakhiri. "Dan ingat, kekuatan sejati bukan hanya dari Circle kalian, tetapi juga keberanian dan kecerdikan kalian di lapangan."
Elara berbalik dan meninggalkan aula, meninggalkan para siswa dengan pikiran masing-masing.
Arthur menarik napas dalam-dalam. Sebulan mungkin terdengar lama bagi sebagian orang, tetapi dia tahu bahwa waktu itu akan berlalu dalam sekejap. Dia sudah membulatkan tekadnya—dia akan menghadapi perburuan ini dengan sepenuh hati dan membuktikan kemampuannya.
Setelah kembali ke tempat duduknya, Arthur melirik ke arah Lyra, teman sebangkunya yang berasal dari keluarga informan terkenal. Lyra tampak sibuk memutar-mutar pena sihirnya, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia ingin memulai pembicaraan.
"Aku dengar kamu level 23 sekarang," kata Lyra sambil menyandarkan dagunya ke tangan. "Itu artinya kamu sudah bisa ikut perburuan di Hutan Mirin."
Arthur mengangguk pelan, tidak terlalu bersemangat. "Iya, tapi... kamu tahu, kan, Circle-ku elemen air. Jadi apa gunanya?"
Lyra terkekeh kecil. "Air memang elemen paling nggak populer. Tapi aku serius, kamu harus bersyukur, tahu. Memiliki Elemen di circle pertamamu itu langka!
Arthur menatap Lyra sambil menyilangkan tangan. "Kalau elemen itu langka, kenapa orang-orang malah menganggapnya lemah?"
Lyra menyengir kecil, mengangkat bahu. "Karena ini dunia bangsawan, Arthur. Kebanyakan dari mereka nggak ngerti apa itu kekuatan sejati. Mereka lebih suka Circle yang terlihat kuat secara visual. Kamu tahu, kayak... Beruang Api yang bisa bikin seluruh ruangan panas, atau Landak Petir dengan duri-duri listriknya."
Finn, yang masih mendengarkan dari depan, langsung menimpali. "Kamu lupa satu, Lyra. Burung Phoenix yang selalu jadi rebutan keluarga bangsawan besar. Semua orang pengen Circle itu karena bisa regenerasi, bahkan kalau pemiliknya sekarat."
Arthur mengernyit. "Tunggu, jadi elemen dianggap langka, tapi hewan magis seperti itu nggak?"
Lyra menggeleng, lalu mengetuk meja dengan jarinya. "Beda, Arthur. Inti dari beast magis kayak Beruang Api atau Landak Petir itu bisa diproses. Itu kenapa bangsawan kaya bisa membelinya, menyewakan para penyihir untuk bantu bayi mereka menyerap inti itu. Sedangkan elemen... Spirit elemen nggak punya inti, jadi cuma bisa didapatkan secara alami. Kalau nggak ada faktor keturunan atau spirit di sekitarnya saat bayi lahir, hampir mustahil dapat elemen di Circle pertama."
"Jadi..." Arthur berpikir sejenak, "Spirit elemen itu semacam keajaiban?"
Lyra tersenyum kecil, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang serius. "Bisa dibilang begitu. Cuma sayangnya, nggak semua orang bisa lihat itu sebagai hal istimewa."
Finn terkekeh, melipat tangan di atas dada. "Kecuali kamu bisa membuktikan kalau elemen air-mu punya sesuatu yang lebih dari sekadar penyembuhan. Kalau nggak, ya... bersiap-siap aja jadi bahan olokan di perburuan nanti."
Arthur mendesah, tapi ia tidak tersulut oleh sindiran Finn. "Kalian tahu banyak soal Circle ini," katanya sambil mengubah topik. "Kalian mau ikut perburuan itu?"
Lyra tersenyum penuh percaya diri. "Tentu saja. Circle-ku sudah level 21. Angin di bawah komando-ku."
Finn menyeringai. "Aku juga, level 20. Tapi kalau ketemu beast besar, aku serahkan ke kamu, Lyra. Aku bakal diam di belakang pakai pertahanan sihir tanahku."
"Dasar pengecut." Lyra mendengus, tapi kemudian beralih menatap Arthur. "Jadi gimana dengan kamu, Arthur? Apa kamu bakal ikut?"
Arthur memandang kedua temannya, lalu mengangguk pelan. "Aku akan ikut. Tapi..." Dia menatap Lyra dan Finn bergantian. "Kalian bilang sebelumnya bahwa memiliki Circle pertama elemen itu langka, tetapi kenapa kalian bisa memilikinya?"
Lyra tersenyum licik. "Oh, itu karena aku punya Zephyros, burung angin legendaris. Salah satu dari beberapa di dunia ini."
Arthur melotot. "Zephyros? Itu... burung angin legendaris?"
"Becanda!" Lyra tertawa terbahak-bahak. "Circle pertamaku itu memang angin, tapi bukan Zephyros. Cuma burung angin biasa yang namanya... eh, namanya nggak penting, kan?"
Finn ikut menimpali dengan suara penuh sindiran. "Hah, kalau aku sih lebih sederhana. Circle pertama-ku itu 'Gaius', sebuah beast tanah yang nggak terlalu istimewa, cuma... ya, lebih baik dari yang kamu pikir."
"Gaius? Apa itu semacam... domba batu?" Arthur menggoda, meskipun sebenarnya ia tahu Finn tidak pernah memilih untuk memiliki beast yang lemah.
Finn tersenyum puas, menggigit ujung pensilnya. "Bukan domba batu, Arthur. Gaius itu punya kemampuan bertahan hidup yang luar biasa, nggak bisa dipandang sebelah mata."
Lyra kembali tertawa. "Ya, ya, Finn. Gaius si tanah yang 'luar biasa'. Jangan lupa, siapa yang bakal jadi pelindungmu kalau kamu ikut perburuan nanti!"
Arthur tersenyum mendengar gurauan mereka. Meskipun ia merasa sedikit tersinggung dengan perbandingan antara Circle elemen airnya dan Circle mereka yang lebih kuat dan lebih terlihat, ia tahu bahwa ini semua hanya bagian dari percakapan biasa di antara teman-temannya.
"Ya, ya, kita lihat nanti siapa yang menang," Arthur menjawab dengan tenang. "Yang penting, aku punya alasan kuat untuk ikut perburuan ini."
Setelah pelajaran selesai, Arthur memutuskan untuk mampir ke perkebunan kecil yang terletak di sisi akademi. Kebun itu adalah tempat yang sudah biasa ia kunjungi setiap hari. Sejak kecil, Arthur sudah terbiasa merawat tanaman di kebun milik keluarganya. Tidak seperti kebanyakan siswa yang lebih tertarik dengan seni sihir pertempuran atau alkimia, Arthur merasa lebih tenang di sini—di antara tanaman dan buah-buahan yang tumbuh dengan perlahan.
Tanpa berpikir panjang, ia mengambil beberapa ember kecil dan mulai mengumpulkan air dari sungai terdekat. Menggunakan sihir Air-nya, ia menyalurkan mana dalam tubuhnya, mengarahkan aliran air ke tanaman-tanaman di kebun. Setiap tetes air yang jatuh di atas tanah memberikan kehidupan baru pada tanaman itu. Arthur merasa seakan-akan ia terhubung dengan alam, meskipun itu berarti ia harus terus menghabiskan mana-nya yang terbatas. Di sisi lain, ini membuat Circle Air-nya semakin kuat. Sebagai hasilnya, ia mendapatkan level Circle yang lebih tinggi daripada kebanyakan siswa angkatannya.
Saat sedang asyik menyiram tanaman, sebuah suara lembut terdengar di belakangnya.
"Kamu tahu, hanya sedikit orang yang memiliki Circle Elemen Air yang bisa seproduktif ini," suara itu berkata, pelan namun penuh wibawa.
Arthur menoleh dan melihat seorang pria tua berdiri di pinggir kebun. Pria itu mengenakan pakaian sederhana yang terlihat sudah agak usang, namun wajahnya tetap tampak tegas. Rambut putih panjangnya sedikit berantakan, dan di matanya ada cahaya yang menyiratkan banyak pengalaman hidup.
"Siapa Anda?" Arthur bertanya, sedikit terkejut.
"Ah, maafkan saya," pria tua itu tersenyum lembut. "Nama saya Barnabas. Saya salah satu pelayan Elara di luar akademi. Tugas saya mengawasi beberapa hal di sekitar sini, termasuk kebun ini."
Arthur sedikit terkejut. Ternyata pria tua ini adalah salah satu pelayan Elara? Itu berarti ia sudah mengenal banyak hal di akademi ini.
"Pelayan Elara?" Arthur mengulang dengan kebingungan.
Barnabas mengangguk. "Betul. Tapi jangan khawatir, saya di sini hanya untuk jalan-jalan, lalu saya terkagum dengan apa yang barusan kamu lakukan." Ia tersenyum lagi, seakan menenangkan Arthur.
Arthur merasa sedikit lega, namun tetap penasaran dengan kehadiran Barnabas. "Ini adalah sesuatu hal yang biasa, hanya sesorang yang sedang menyiram tanaman."
Barnabas tersenyum bijak. "Saya melihat bagaimana kamu merawat kebun ini, Arthur. Elemen Air memang istimewa. Kamu tahu, air adalah elemen yang memberi kehidupan. Tanpa air, tak akan ada kehidupan—baik itu untuk manusia, hewan, atau tumbuhan seperti yang kamu rawat saat ini." Ia melangkah mendekat, mengamati dengan teliti tanaman yang disiram Arthur. "Sama halnya dengan dirimu, Arthur. Kamu mungkin merasa lemah, tapi seperti air, kamu memiliki kemampuan untuk memberi kehidupan. Kamu hanya perlu tahu bagaimana memanfaatkannya dengan bijak."
Arthur terdiam mendengarkan. Kata-kata Barnabas terasa dalam dan penuh makna. Meskipun ia merasa ada benarnya, ia masih merasa keraguannya tentang kekuatan yang dimilikinya. Air, elemen yang sering dianggap lemah oleh orang lain, ternyata bisa memberi dampak besar, seperti yang dikatakan Barnabas.
"Terima kasih, Barnabas," ujar Arthur akhirnya, meskipun ia belum sepenuhnya mengerti. "Tapi... bagaimana saya bisa memanfaatkan air ini lebih baik lagi?"
Barnabas menepuk bahu Arthur, memberi isyarat agar mereka berjalan bersama menuju sisi lain kebun. "Semua hal membutuhkan waktu dan usaha, Arthur. Hanya karena air mengalir pelan, bukan berarti itu tidak bisa menghancurkan batu. Kamu akan menemui jalanmu sendiri. Ingatlah, kehidupan selalu berputar, dan terkadang kita harus menghadapinya dengan sabar."
Arthur mengangguk perlahan, merenung atas perkataan Barnabas. Terkadang, hal-hal yang paling sederhana bisa menjadi kekuatan yang luar biasa, jika dimanfaatkan dengan cara yang tepat.