Chereads / Awal Perjalanan di Ujung Waktu / Chapter 5 - chapter 5

Chapter 5 - chapter 5

Perjalanan Menuju Kuil Kuno

Pagi yang cerah menjadi awal perjalanan Sukma dan teman-temannya. Setelah berhari-hari berada di pulau itu, mereka akhirnya memutuskan untuk menuju kuil kuno yang tertera pada peta di piringan hitam. Dengan membawa perbekalan seadanya, mereka berjalan melewati hutan yang dipenuhi suara alam: burung berkicau, dedaunan yang bergesekan, dan aliran sungai yang jauh.

"Aku tidak percaya kita benar-benar melakukan ini," ujar Ferli sambil menggendong tasnya yang berat. "Berjalan ke kuil misterius di pulau terpencil, persis seperti cerita petualangan."

"Berhenti bercanda, Ferli," ujar Rabka sambil melangkah di depan. "Kita bahkan tidak tahu apa yang ada di sana."

Mena menoleh ke belakang, memastikan semua orang baik-baik saja. "Hati-hati saja. Kita tidak tahu apa yang menunggu di jalan ini."

Sukma berjalan di tengah kelompok, sesekali memandang peta di piringan hitam. "Kalau menurut peta ini, kita sudah dekat. Seharusnya kuil itu ada di balik pohon besar ini."

Kuil Terkunci

Mereka akhirnya tiba di sebuah area terbuka, di mana kuil kuno berdiri megah dengan pintu batu besar di depannya. Pintu itu dipenuhi ukiran rumit dengan simbol-simbol misterius yang terukir di permukaannya. Di tengah pintu, terdapat lubang kecil berbentuk aneh, seolah-olah untuk menempatkan sesuatu.

"Sepertinya ini tempatnya," ujar Ari sambil mengamati pintu. "Tapi... bagaimana cara kita masuk?"

Sukma mendekati lubang di pintu dan memeriksanya. "Sepertinya kita butuh semacam kunci," gumamnya.

Ikri mengamati ukiran-ukiran di pintu dengan cermat. "Mungkin kunci itu ada di tempat lain. Lubang ini terlalu kecil untuk piringan hitam."

"Jadi... kita datang sejauh ini hanya untuk menemukan pintu terkunci?" tanya Yuji dengan nada frustrasi.

"Tenang, Yuji," ujar Jara. "Setidaknya kita tahu ini tempatnya. Sekarang kita hanya perlu mencari kunci itu."

"Tapi di mana kita mencarinya?" tanya Mena, mencoba tetap tenang.

Sukma memandangi peta lagi. Tidak ada petunjuk tentang kunci di peta itu. "Mungkin kuncinya ada di sekitar sini... atau mungkin kita harus kembali ke kamp untuk menyusun rencana lain."

Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk kembali ke kamp. Namun, saat mereka hendak berbalik, sesuatu yang aneh terjadi.

Kabut dan Desa Misterius

Ketika kelompok Sukma memutuskan untuk kembali ke kamp, kabut tebal mendadak turun dengan cepat, menyelimuti seluruh area. Kabut itu begitu pekat hingga jarak pandang mereka hanya beberapa meter saja.

"Apa-apaan ini?!" seru Yuji, suaranya penuh kebingungan.

"Semua tetap dekat! Jangan ada yang terpisah!" teriak Sukma, mencoba mengendalikan situasi.

Namun, kabut itu seperti memiliki kekuatan sendiri, menciptakan jarak di antara mereka. Suara teman-temannya perlahan meredup, dan dalam beberapa menit, Sukma menyadari dirinya benar-benar sendirian.

"Yuji? Mena? Rabka? Di mana kalian?!" teriak Sukma, namun hanya gema suaranya yang kembali padanya.

Dia berjalan perlahan, berusaha mencari jejak teman-temannya. Namun, semakin jauh ia melangkah, semakin asing lingkungan di sekitarnya. Pohon-pohon besar dengan akar yang menjulur keluar seolah menjadi labirin yang menyesatkan.

"Aku tidak bisa terus begini... Aku harus menemukan jalan keluar," gumam Sukma dengan napas tersengal.

Setelah berjalan cukup lama, kabut perlahan mulai menipis. Sukma berhenti, matanya melebar melihat sesuatu yang tidak pernah ia duga. Di depannya, berdiri sebuah desa besar dengan pagar kayu tinggi yang mengelilinginya. Bangunan-bangunan dari kayu dan batu tampak kokoh, dihiasi obor-obor yang menyala terang.

"Tempat apa ini?" Sukma bertanya pada dirinya sendiri, mendekat perlahan.

Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, sebuah jerat tali tiba-tiba melilit kakinya. Ia jatuh ke tanah, berusaha membebaskan diri, tetapi terlalu terlambat. Dari bayang-bayang pohon, muncul sekelompok orang berpakaian aneh dengan tombak dan busur terarah kepadanya.

"¡Vare nakzoi jeukai?!" teriak salah satu dari mereka dengan nada dingin.

Sukma terdiam, tidak memahami sepatah kata pun. "Aku... Aku tidak mengerti," jawabnya sambil mengangkat tangan, menunjukkan bahwa ia tidak berbahaya.

Salah satu pria dengan pakaian kulit hewan mendekat, wajahnya penuh kecurigaan. "Zhak nai yekari la?!"

Sukma mencoba berbicara, tetapi kelompok itu tidak memahaminya. Mereka mengikat tangan Sukma dan membawanya masuk ke dalam desa. Sukma hanya bisa diam, matanya memandang sekeliling dengan rasa penasaran bercampur takut.

Di Dalam Desa

Sukma dibawa ke sebuah bangunan besar di tengah desa, yang tampaknya adalah tempat tinggal pemimpin mereka. Di dalamnya, seorang pria tua dengan rambut panjang putih duduk di atas kursi kayu yang dihiasi ukiran rumit.

Pria itu menatap Sukma dengan mata tajam, lalu berbicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti Sukma. "Laarik feren zhoa nakzoi!"

Sukma hanya menggelengkan kepala. "Aku tidak paham. Tolong... aku hanya tersesat."

Salah satu penjaga berbicara kepada pria tua itu, seolah menjelaskan sesuatu. Pria tua itu mengangguk, lalu memberi perintah. "Vernai ni zorik!"

Para penjaga menyeret Sukma keluar dari ruangan itu dan membawanya ke sebuah ruangan kecil yang dingin, dengan jeruji besi di depan pintunya. Ia dikunci di dalam, tanpa diberi penjelasan apa pun.

Malam Hari di Penjara

Di dalam selnya, Sukma mencoba memikirkan cara melarikan diri. Namun, sebelum ia sempat membuat rencana, pintu selnya terbuka. Seorang wanita muda dengan jubah panjang masuk, membawa makanan dan air.

"Zhene parikoi?" tanya wanita itu sambil menatap Sukma dengan tajam.

Sukma mengangkat alis, kebingungan. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan."

Wanita itu tampak berpikir sejenak, lalu berbicara perlahan. "Ka... nama... kamu?"

Sukma terkejut. Akhirnya seseorang mencoba berbicara dengannya. "Sukma. Namaku Sukma."

Wanita itu mengangguk pelan, lalu berkata dengan terbata-bata. "Aku... Esha. Aku... jaga kamu."

"Esha... bisakah kau membantuku? Aku tersesat. Aku harus menemukan teman-temanku," pinta Sukma, mencoba menjelaskan dengan gerakan tangan.

Esha tampak ragu, tetapi akhirnya menjawab. "Besok. Pemimpin... bicara lagi. Tunggu."

Ia meninggalkan Sukma, meninggalkan secercah harapan bahwa ia bisa menjelaskan dirinya di hadapan orang-orang desa ini. Namun, pikiran Sukma terus dihantui oleh satu pertanyaan: Apa sebenarnya tempat ini?

Sementara Itu

Di sisi lain, kelompok teman-teman Sukma juga menghadapi tantangan. Mereka mencari jalan untuk bersatu kembali, tanpa menyadari bahwa Sukma kini berada di tangan penghuni desa misterius dengan bahasa dan budaya yang sangat asing bagi mereka.