Hari baru tantangan baru
Pagi yang cerah menyapa Sukma dan teman-temannya, cahaya matahari mulai menembus dedaunan hutan, menghangatkan camp mereka yang sederhana. Setelah malam yang penuh diskusi, semua orang langsung bergerak, sibuk dengan tugas masing-masing.
Ari bersama Rabka sibuk merapikan tombak-tombak sederhana yang mereka buat dari ranting kayu, sementara Mena dengan teliti memeriksa tas anyamannya, memastikan tas itu cukup kuat untuk membawa perbekalan.
"Apri, bisa tolong ambilkan daun besar lagi? Ini masih kurang untuk tas tambahan," pinta Mena.
"Baik!" sahut Apri dengan cepat sebelum berlari ke arah semak-semak terdekat.
Ikri dan Ferli sibuk menyusun batu tajam ke dalam tas yang sudah selesai, memastikan mereka punya cukup alat untuk memotong atau bertahan di hutan. Yuji, seperti biasa, duduk santai di dekat api sambil memperhatikan mereka.
"Hei, Yuji, bantu dong! Jangan cuma duduk di situ!" protes Jara sambil membawa seikat ranting kecil.
"Aku menjaga moral tim, tahu. Kalau aku nggak di sini, siapa yang bakal bikin kalian tertawa?" balas Yuji santai sambil menyeringai.
Mena hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, sementara Sukma mengatur ulang barang-barang yang akan mereka bawa. Setelah beberapa waktu, semuanya tampak lebih siap.
"Baik, semuanya. Kita sudah punya cukup bekal untuk perjalanan ini. Rencananya, kita akan mengikuti aliran sungai sampai mendekati lokasi reruntuhan ini," kata Sukma sambil menunjuk peta di piringan.
"Berapa jauh kira-kira?" tanya Rabka.
"Sepertinya tidak terlalu jauh, tapi kita harus tetap waspada," jawab Sukma.
Semua orang mengangguk setuju. Dengan semangat yang tinggi, mereka mengemas barang-barang mereka dan bersiap untuk meninggalkan camp. Langkah pertama menuju reruntuhan yang penuh misteri pun dimulai.
Perjalanan pun dimulai.
Langkah demi langkah mereka susuri aliran sungai, dengan suasana hutan yang penuh suara alam. Kata orang zaman dulu, "Tak ada jalan yang tak berliku," dan hari itu, kata-kata tersebut terbukti benar.
Setelah berjalan cukup jauh, tanpa sengaja Sukma dan teman-temannya bertemu dengan seekor babi hutan berukuran besar, hampir setinggi 1,8 meter. Matanya merah dan penuh amarah, menatap mereka dengan tajam dan jelas terlihat luka besar di kaki kirinya.
Semua orang membeku di tempat, tak ada yang berani bergerak.
Keringat dingin mulai membasahi dahi mereka.
Dalam keheningan itu, babi itu tiba-tiba menyerang tanpa peringatan. Targetnya adalah Rabka, yang berdiri paling dekat dengannya. Rabka berhasil menghindar dengan gesit, namun serangan itu menghancurkan pohon besar di belakangnya. Suara tumbangnya pohon membuat semua orang semakin panik.
"Ini gila! Kita tidak akan menang melawan monster ini!" seru Ferli dengan suara gemetar.
"Kita harus kabur! Cepat, berpencar ke kamp!" teriak Yuji, mencoba mengendalikan situasi.
Tanpa pikir panjang, semua orang langsung berlari ke arah yang berbeda, berharap bisa mengalihkan perhatian babi. Sayangnya, babi itu memilih satu target dan mulai mengejar Sukma, yang berlari ke arah barat. Serangan demi serangan dilancarkan, dan Sukma nyaris terkena serudukan beberapa kali.
Namun, tepat saat babi itu hampir menyeruduk Sukma, tiba-tiba sebuah panah meluncur dari dalam hutan dan langsung menusuk mata babi tersebut. Babi itu mengeluarkan suara mengerikan, mengamuk lebih hebat, dan terus menyeruduk membabi buta.
"Siapa... siapa yang menembakkan itu?" pikir Sukma sambil terengah-engah, mencoba menjauh.
Panah kedua muncul, kali ini menusuk bagian belakang tubuh babi. Teriakan babi semakin menggema di hutan. Panah ketiga melesat, menusuk lehernya. Babi itu, yang kini semakin lemah namun tetap mengamuk, menyeruduk ke arah Sukma untuk terakhir kalinya. Sukma melompat ke samping, menghindari serangan, dan mengambil batu tajam yang ada di tanah.
Dengan segenap tenaga, Sukma menyerang babi itu tepat di bagian luka lehernya, menyebabkan pendarahan hebat. Babi itu terhuyung, kehilangan keseimbangan. Saat itu juga, panah keempat meluncur dengan cepat, menancap di kepala babi, membuatnya akhirnya tumbang.
Keheningan kembali menyelimuti hutan. Sukma berdiri terengah-engah, memandang tubuh besar babi yang kini tak bergerak lagi. Namun, matanya segera beralih ke arah asal panah. Tidak ada siapa pun. Orang misterius itu tetap tersembunyi di balik pepohonan, tak menunjukkan dirinya.
"Mungkin dia sengaja tidak ingin terlihat," pikir Sukma, masih bingung , sekaligus kagum pada penyelamatnya.
Setelah beberapa saat, Sukma kembali ke kamp dengan napas tersengal. Semua orang yang sudah berkumpul menyambutnya dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Apa yang terjadi?!" tanya Mena panik.
"Babi itu... babi itu mati. Tapi bukan aku yang membunuhnya," jawab Sukma, mencoba mengatur napas. "Ada seseorang di hutan. Pemanah misterius. Dia menyelamatkanku."
Mendengar cerita Sukma, teman-temannya saling bertukar pandang. Wajah mereka menunjukkan campuran antara rasa lega dan rasa ingin tahu yang mendalam.
"Siapa pemanah itu? Kenapa dia tidak muncul?" tanya Jara dengan suara pelan.
"Entahlah. Tapi dia sangat terampil. Kalau bukan karena dia, aku mungkin sudah mati sekarang," kata Sukma, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Diskusi pun berlanjut, kali ini tentang daging babi hutan yang tersisa di tempat kejadian. "Kita bawa dagingnya ke sini. Itu bisa menjadi bekal penting bagi kita," kata Ari.
"Tapi bagaimana kita membawanya? Babi itu terlalu besar," ujar Ikri, tampak ragu.
"Kita potong-potong saja dan bawa bagian yang penting," usul Ferli.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke lokasi babi itu bersama-sama, membawa alat-alat sederhana seperti pisau batu yang sudah mereka buat sebelumnya. Mereka memotong daging babi itu menjadi beberapa bagian, membungkusnya dengan dedaunan besar, dan membawanya kembali ke kamp.
Malam itu, mereka mengadakan makan malam sederhana dari daging babi hutan. Meskipun lelah dan masih penuh pertanyaan tentang pemanah misterius, setidaknya untuk malam ini, mereka merasa lebih aman dan kenyang.