Chereads / Awal Perjalanan di Ujung Waktu / Chapter 3 - chapter 3

Chapter 3 - chapter 3

Sebuah peta

Setelah Ferli menekan tombol, piringan itu memancarkan cahaya terang yang menyilaukan mata mereka. Dalam beberapa detik, cahaya itu membentuk sebuah gambar seperti peta. Sukma dan teman-temannya memperhatikan dengan seksama. Peta itu penuh dengan simbol-simbol misterius, beberapa di antaranya tampak asing di mata mereka.

"Apakah ini peta dari pulau ini? Kalau benar, berarti pulau ini sangat luas," ungkap Ikri dengan nada penuh rasa ingin tahu.

"Kau benar, tapi di mana kira-kira lokasi kita sekarang?" tanya Rabka, sambil mengerutkan kening.

"Entahlah," jawab Ari, memandang lebih dekat ke peta. "Tapi kita pasti berada di dekat sungai ini," tambahnya sambil menunjuk aliran sungai yang tertera di peta.

Semua orang terdiam, mulai memikirkan keberadaan mereka di pulau ini. Spekulasi liar bermunculan.

"Apakah mungkin kita sebenarnya diculik oleh alien, dan mereka ingin menjadikan kita kelinci percobaan?" kata Yuji dengan nada serius yang dibuat-buat, meskipun ada sedikit canda di balik ekspresinya.

"Kalau itu benar, aku harap mereka memberiku kekuatan super," sahut Ferli sambil terkekeh, mencoba meringankan suasana.

Yang lain tertawa kecil, tetapi rasa lelah mulai menguasai mereka. Satu per satu memutuskan untuk tidur. Sebelum itu, mereka membuat jadwal penjagaan. Penjaga pertama akan berjaga selama tiga jam, dan Sukma serta Mena terpilih melalui suit.

---

Malam Hari

Sukma duduk di dekat api unggun, sesekali mencuri pandang ke arah Mena yang juga berjaga. Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara api yang berderak dan desiran angin malam yang terdengar. Sukma merasa situasinya sangat canggung.

"Ah, bagaimana caranya menghilangkan keheningan ini?" pikir Sukma sambil menggigiti bibir bawahnya. Setelah berpikir keras, ia mencoba membuka pembicaraan dengan membahas peta.

Dengan sedikit gugup, Sukma menekan tombol pada piringan, dan peta itu kembali muncul. "H-Hmm, peta ini sangat luas," katanya dengan suara agak gemetar. "Tapi... apa arti simbol seperti bangunan ini?" tanyanya, menunjuk ikon kecil berbentuk kuil di peta.

Mena, yang menyadari usaha Sukma untuk membuka pembicaraan, ikut merespons. "Mungkin itu menunjukkan ada bangunan di sana," sahutnya dengan tenang.

"Bangunan di tengah pulau? Untuk apa? Atau mungkin... ada sesuatu yang disimpan di sana?" Sukma menebak-nebak, mencoba mencari arti simbol itu.

Mena mulai berpikir lebih dalam. "Kalau dipikir-pikir, mungkin bangunan itu menyimpan jawaban mengapa kita berada di sini," katanya penuh semangat.

Percakapan mereka mengalir cukup lama, mencoba memecahkan teka-teki simbol di peta. Namun, topik itu akhirnya selesai tanpa kesimpulan pasti. Keheningan kembali menyelimuti mereka.

Beberapa saat sebelum waktu berjaga mereka habis, Mena tiba-tiba berbicara dengan suara pelan dan gugup. "Ehm, S-Sukma... makasih ya, tadi waktu voting. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin tidak akan bisa membuat keputusan," katanya sambil menunduk malu.

Sukma, yang sudah mengantuk, menjawab dengan nada pelan dan sedikit ngelantur. "Hah... iya, sama-sama. Lain kali kamu nggak perlu gugup. Apa pun pilihanmu, kami semua pasti... menyalahkanmu."

Mena mengangkat alis, awalnya tersenyum, tetapi kemudian menyadari maksud Sukma. Ia merasa kesal, tetapi hanya menggeleng sambil tersenyum dalam hati. "Dasar aneh," gumamnya pelan.

Sukma kemudian membangunkan Yuji untuk giliran berjaga berikutnya. "Hei, Yuji, giliranmu. Bangun," katanya sambil mengguncang bahu Yuji.

Yuji bergumam malas dengan mata setengah terbuka. "Hhh... tunggu aja tiga jam lagi. Aku lagi mimpi enak nih."

Kesabaran Sukma habis. "Bangun, sialan! Kalau nggak bangun, ku sumpahi keturunanmu mandul tujuh turunan!" serunya setengah berbisik agar tidak membangunkan yang lain.

Dengan mata tetap tertutup, Yuji menjawab sambil terkekeh kecil. "Bodoh, gimana orang mandul bisa punya keturunan?"

Sukma memutar mata, menahan tawa. "Hah, kau memang menyebalkan. Cepat bangun atau aku hancurkan sumber keturunanmu!"

Yuji akhirnya duduk, masih setengah mengantuk. "Baik, aku bangun. Tapi kalau aku tak punya anak, ku sumpahi kau jadi jones abadi."

Sukma mendengus kecil lalu berjalan ke tempat tidurnya. "Ya, ya, terserah kau saja. Selamat berjaga, Tuan Pemalas."

Yuji tertawa kecil sambil menggeliat, lalu menggantikan giliran berjaga.

---

Pagi Hari

Ketika matahari mulai naik, kelompok itu perlahan terbangun. Cahaya keemasan pagi menyinari wajah-wajah lelah mereka. Mena dan Rabka sudah menyiapkan air dari sungai untuk diminum, sementara Ari menambahkan kayu ke api unggun yang hampir padam.

"Selamat pagi," kata Sukma sambil meregangkan tubuh. "Kita perlu diskusi hari ini. Tentang langkah kita selanjutnya."

Semua orang mengangguk setuju, lalu berkumpul dalam lingkaran kecil di sekitar api unggun.

"Jadi, ada ide apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sukma sambil melihat satu per satu temannya.

Ikri mengangkat tangan lebih dulu. "Menurutku, kita harus menjelajahi lebih dalam pulau ini. Siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang berguna atau... mungkin tempat aman yang lebih baik."

"Tapi, itu bisa berbahaya," sela Rabka. "Kita tidak tahu apa yang ada di hutan ini. Bagaimana kalau ada hewan buas?"

"Aku setuju dengan Ikri," kata Yuji. "Kalau kita tetap di sini, kita cuma akan kehabisan makanan. Lagipula, siapa tahu bangunan di peta itu ada sesuatu yang penting."

Jara menatap peta dengan serius. "Tapi kalau kita pergi ke sana, kita harus siap. Kita butuh senjata atau alat untuk berjaga-jaga."

Mena angkat bicara. "Mungkin kita bisa membuat peralatan dari bahan-bahan di sekitar sini. Aku bisa mencoba membuat tas sederhana untuk membawa barang."

"Dan aku bisa membuat senjata dari kayu atau batu," tambah Ari. "Tapi itu butuh waktu."

Diskusi terus berlangsung. Mereka sepakat untuk mempersiapkan alat dan perbekalan terlebih dahulu sebelum menjelajahi pulau. Sukma membagi tugas, memastikan semua orang tahu apa yang harus dilakukan.

"Baik," kata Sukma menutup diskusi. "Kita semua punya tugas. Setelah semua siap, kita akan bergerak. Tidak peduli apa yang terjadi, kita hadapi bersama."

Semangat mulai kembali terlihat di wajah teman-temannya. Meski situasi tidak pasti, mereka tahu satu hal pasti: mereka harus bertahan bersama.