Mentari sore menyelinap diantara dedaunan, menciptakan bayangan memanjang di tepi sungai. Seorang gadis duduk diam dibawah pohon besar, tempat favorit nya bersembunyi dari hiruk pikuk dunia. Dia memeluk lututnya, menatap kosong buku diari yang terbuka di hadapannya.

Halaman terakhir dibuku itu dipenuhi tulisan miring yang menggambarkan ketakutanya, kesepiannya, dan harapan kecil yang hampir padam. Tak bisa di tahan lagi, air matanya mengalir membasahi pipi. Tulisan dihalaman itu semakin kabur oleh tetesan air mata.

Langkah kaki terdengar mendekat, begitu ringan tapi cukup membuat gadis itu menoleh. Seorang anak lelaki berdiri di sana, tinggi, tampan, dengan tatapan lembut yang mencerminkan kehangatan.

"Maaf mengganggu," katanya sambil mengeluarkan sapu tangan dari sakunya. "Ini, pakai ini."

Gadis itu terdiam, bingung, namun perlahan menerima sapu tangan itu. Tatapannya masih waspada, tapi tidak ada nada mengintimidasi dalam suara pemuda itu.

"Kamu ngga perlu cerita kalau kamu ngga mau," lanjutnya, duduk di jarak yang cukup agar tidak membuat sang gadis merasa terpojok. "Tapi... Kamu lagi ngga baik-baik aja, kan?"

Gadis itu menunduk, memeluk diarinya erat. Dia tak menjawab, tapi kehadiran pemuda itu -yang entah kenapa terasa begitu hangat - mulai mencairkan tembok yang dia bangun selama ini.

"Aku Aksara," ucapnya pelan, "kalau kamu butuh teman cerita, aku bisa jadi pendengar yang baik."

Hari itu tanpa di sadari, sebuah cerita baru dimulai. Aksara tidak memaksa memasuki dunia gadis itu, tapi keberadaannya seperti pelita kecil yang menyinari sudut-sudut gelap hati gadis itu.

"Aku selalu ada, di tempat di mana kamu merasa nyaman."