Airin berkutik dengan peralatan dapurnya pagi ini. Dia mempersiapkan makanan untuk sarapan paginya bersama Assandi.
Dia berharap ini pertama kalinya suaminya itu mau sarapan bersama dengannya di meja makan.
Karena selama ini mereka berdua tidak pernah makan bersama dan saling mengobrol untuk kegiatan harian mereka.
Ingin rasanya Airin merasakan itu untuk sekali saja dalam pernikahannya. Agar ada suasana baru yang bisa dia nikmati bersama Assandi.
"Sepertinya sudah cukup." Ucap Airin yang selesai menata makanannya di meja makan.
Dia berbalik untuk mencuci tangan dan meletakkan celemek masaknya.
Assandi keluar dari kamarnya dan menuruni tangga dengan pakaian yang sudah rapi. Tangannya sudah membawa tas kerjanya dan jas yang akan dia pakai.
Tubuh Airin berbalik setelah mendengar gerak langkah dari Assandi. Dia segera menghampirinya dan mengajaknya sarapan pagi.
"Mas sarapan dulu yuk, aku sudah buatkan makanan untuk kita sarapan." Ucap Airin tersenyum.
Namun Assandi hanya meliriknya dan pergi begitu saja tanpa membalas perkataan Airin.
"Mas tunggu, kalau tidak mau sarapan di rumah aku bawakan bekal untukmu." Airin menyusul Assandi ke depan sambil menyodorkan kotak bekal yang sudah dia siapkan.
Assandi mendengus kesal melihat perlakuan Airin, "Sudah berapa kali aku ingatkan nggak usah repot - repot membuatkan aku makanan. Karena sampai kapanpun aku nggak akan mau makan masakan darimu. PAHAM!!!" Bentak Assandi yang membuat Airin terkejut.
Dia sebenarnya sudah biasa dengan perlakuan suaminya ini. Karena setiap hari tetap sama sikap suaminya kepadanya tidak pernah berubah.
Tapi hati dan perasaannya juga tetap sama akan sedih jika mendapatkan perlakuan tidak baik dari suaminya.
Mata Airin berkaca - kaca setelah mendengar ucapan suaminya. Dia menarik kembali kotak bekal yang dipegangnya.
Kini mobil Assandi sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya. Airin hanya bisa diam menatap kepergian suaminya.
Dia mengusap air matanya yang sudah jatuh membasahi pipinya, "Kapan kamu akan berubah baik menghargaiku sekali saja mas." Gumamnya pelan dan berbalik memasuki rumahnya.
Sekarang dirinya sendirian lagi di rumah ini tanpa ada orang yang menemaninya. Bahkan tidak ada asisten rumah tangga yang bekerja untuknya.
Karena Assandi tidak ingin ada orang lain di rumahnya. Jadi semua pekerjaan rumah yang menyelesaikan Airin.
Tidak pernah sekalipun Assandi membantunya dalam membersihkan rumah. Sehingga Airin harus bekerja keras lagi setelah kelelahan bekerja di kantor.
Sekarang Airin menyiapkan dirinya untuk berangkat kerja. Dia mengambil tas yang berisi laptop dan dokumen penting untuk dibawanya.
Tangan kanannya meraih kunci mobil yang akan di tumpangi. Karena tidak ada sopir yang bekerja untuknya, jadi mau tidak mau dia harus melakukan sendiri kemanapun dia pergi.
Selama perjalanan Airin tidak mengendarai mobilnya terlalu cepat. Dia menikmati pemandangan kota yang sudah ramai orang berlalu lalang.
Banyak anak sekolah yang sudah berangkat ke sekolah. Dan juga banyak para pedagang yang sudah membuka lapak mereka.
Di tepi jalan banyak pejalan kaki yang menunggu antrian bus untuk berangkat kerja. Airin tersenyum senang melihat mereka semua yang selalu bahagia pagi harinya.
Tidak seperti dirinya yang selalu mendapat perlakuan buruk di pagi hari. Bahkan niat baik dirinyapun tidak pernah sekalipun di terima oleh suaminya.
Hiburannya setelah menerima semua itu, hanya melihat pemandangan kota yang penuh dengan orang tertawa bahagia.
Disana dia bisa melihat mereka seperti tanpa beban dari keluarganya. Mungkin ada yang seperti dirinya, tetapi tidak banyak dan bisa melewati itu dengan cepat.
Airin memarkirkan mobilnya di halaman parkir perusahaannya. Dia merapikan penampilannya dan segera keluar mobil sambil membawa berkas - berkas penting.
Dia memasuki lobi perusahaan yang sudah banyak karyawan berdatangan. Mereka semua sedang mengantri untuk absensi kehadiran di lobi.
Sebagian dari mereka menunduk melihat Airin yang sebagai atasannya lewat di depan mereka.
Tidak hanya itu mereka juga mengucapkan salam pagi kepada Airin. Sehingga membuat perasaan Airin yang tadinya sedih atas dingin suaminya, kini perasaannya sudah mulai bahagia dan tersenyum ramah.
"Airin!!" Suara teriakan perempuan dari belakangnya.
Dia dengan cepat membalikkan badan untuk melihat siapa yang memanggilnya. Tatapannya tertuju dengan perempuan berpenampilan modis dengan tas dan sepatu branded.
"Astaga Rara, kamu kayak di hutan aja teriak keras begitu." Kesal Airin yang menahan malu dengan sikap sahabatnya.
Rara terkekeh pelan, "Sorry Rin, lah kamu jalan terus sampai nggak melihat ada aku di sana?" Tunjuk Rara pada tempat dimana dia berdiri tadi.
Airin tersenyuk menutup mulutnya, "Iya maaf, soalnya sudah jam segini nih harus segera masuk ruangan aku."
"Kamu kan bosnya kenapa harus buru - buru kayak karyawan rendahan aja." Ujar Rara sambil berjalan beriringan dengan Airin.
"Bagaimanapun bos tetap harus jadi contoh untuk semua karyawannya kan."
"Ya iya juga sih, eh kamu tau nggak ada emali masuk ke perusahaan. Mereka ingin memesan baju untuk seragam karyawan perusahaannya."
Airin menghentikan langkahnya, dia sangat senang jika ada konsumen lagi dari perusahaan besar.
"Tunggu, berarti mereka akan memesan dalam jumlah besar dong."
Rara mengangguk antusias, "Betul sekali, karena jumlah karyawannya sangat banyak hampir sepuluh ribu karyawan."
Airin membulatkan matanya bahagia, "Serius? Wah kesempatan kita untuk mendapatkan komisi itu. Ya walaupun perusahaan kita sangat stabil tapi aku tetap ingin menaikkan lagi value peruhasaan ini di bidang fashion."
"Karena kan dampak positifnya juga akan ke karyawan semua yang bisa mendapatkan insentif besar." Sambung Airin.
Rara tersenyum senang, "Aku suka sekali dengan kata - kata yang berhubungan dengan uang."
"Dasar mata duitan." Airin kemudian berlalu meninggalkan Rara yang masih mengkhayal.
Dia segera naik kedalam lift menuju ruang kerjanya. Disana dirinya sudah dihadapkan banyak dokumen penting menanti untuk segera di tanda tangani.
Sampainya di ruangan dirinya mulai membuka laptop dan dokumen - dokumen dari karyawannya. Matanya terus fokus pada benda elektronik di depannya.
Tok, tok, tok...
Airin menghentikan kegiatannya dan menyuruh seseorang untuk masuk. Tapi dia terkejut karena yang muncul hanya kepala Rara.
"Astaga RARA!!! Bisa nggak sih jangan selalu membuatku kaget begitu." Kesal Airin.
Rara tertawa geli melihat muka ketakutan dari sahabatnya, "Hahaha sorry Rin sorry, aku kesini hanya mengantar ini nih invoice yang dikirim oleh perusahaan pemesan seragam."
"Oh yang kamu bilang tadi ya."
"Betul, ini nih kamu lihat biar tau detail permintaannya."
Rara menyodornya sebuah map yang berisi berkas penting. Airin meliriknya dan menerima berkas tersebut.
Dibukanya map berwarna kuning itu dan dia mulai mencermati setiap kata dari berkas tersebut.
Hatinya bergetar setelah melihat nama perusahaan yang tertera di dalam berkas itu. Perusahaan yang bertuliskan Golden Gains Company itu membuat jantungnya berdegup kencang.
Karena dia tahu jika perusahaan yang ingin bekerja sama dengan perusahaannya itu adalah milik keluarga suaminya. Yang saat ini direktur utamanya adalah suaminya sendiri menggantikan ayahnya yang sudah menua.
Rara mengeryit bingung melihat Airin diam menatap berkas tersebut. Dirinya melirik ke berkas itu untuk melihat isi di dalamnya.
Tapi dirinya masih belum paham apa yang membuat sahabatnya itu tiba - tiba diam hanya dengan kalimat - kalimat di dalam berkas bertuliskan invoice itu.
Dia menunduk menatap wajah sahabatnya, "Hei Rin, are you oke?"
"Atau ada masalah dari permintaan dari perusahaan itu?" Tanya Rara lagi yang membuat Airin tersadar dari lamunannya.
"Oh maaf Ra, aku ingin tanya siapa yang mengirim pesan di email perusahaan?" Tanya Airin penasaran.
"Tadi kata bagian media sosial, pengirimnya hanya keterangan bagian SDM saja itu. Nggak ada nama orang yang mengirim pesan." Jelas Rara yang kemudian duduk di kursi depan meja Airin.
"Oh gitu ya."
"Ada apa sih, apa ada masalah dengan permintaan mereka?"
Airin hanya menggelengkan kepala, dia dari awal tidak pernah memberitahukan kepada sahabatnya ini dimana suaminya bekerja.
Sehingga membuat Rara kebingungan dengan tingkahnya setelah melihat dokumen dari perusahaan suaminya itu.
"Baiklah kalau begitu kita adakan pertemuan meeting bersama mereka."
"Sebelum kamu mengajak, mereka sudah memberitahu bahwa akan datang untuk bertemu dengan kita."
Jantung Airin semakin berdegup kencang mendengar perusahaan suaminya ingin bertemu dengan perusahaannya.
"Oh baiklah, kapan itu?" Tanya Airin pelan.
"Siang ini Rin, mereka mengajak makan siang bareng sambil membahasnya."
"Apa? Siang ini?" Ucap Airin terkejut mendengarnya.
Rara tidak kalah terkejutnya mendengar ucapan Airin yang sedikit keras. Dia bisa melihat kepanikan di wajah sahabatnya itu.
"Kenapa sih, kayak ingin bertemu suamimu aja kalau wajahmu begitu."
Rara tidak tahu saja jika memang benar dirinya akan bertemu dengan suaminya tapi di keadaan perjamuan kerja.
Airin menghela napas pelan dan memikirkan bagaimana dia akan bersikap jika nanti suaminya ikut pertemuan mereka.
Dia tidak bisa membayangkan kecanggungan yang akan terjadi di antara mereka nanti siang.
*****
Jam makan siang telah tiba, semua karyawan merapikan tempat kerjanya sebelum keluar untuk membeli makan.
Ada yang sebagian membeli makan di luar kantor. Ada juga yang sebagian membeli makan di kantin kantor.
Mereka menikmati kebebasan untuk memilih tempat makan siang dimanapun berada. Karena Airin tidak mewajibkan kepada karyawan untuk makan di kantin.
Karena pikirnya karyawan juga mempunyai hak dalam menentukan tempat yang nyaman untuk makan siang.Yang terpenting mereka kembali tepat waktu sebelum jam istirahat siang mereka selesai.
Airin, Rara beserta staff bagian pemasaran dan desain berjalan beriringan menuju mobil perusahaan.
Mereka semua akan makan siang bersama customer perusahaan di salah satu tempat makan tradisional.
Makan siang kali ini tidak hanya sekedar makan saja. Tetapi mereka akan membahas permintaan pemesanan baju yang mereka minta.
Setelah sampai di tempat makan yang sudah mereka pesan, Airin menyuruh Rara dan staffnya untuk masuk duluan.
Dia ingin mampir terlebih dahulu ke penjual buah seberang jalan. Entah kenapa dirinya ingin sekali memakan buah.
Apa karena hari ini adalah tanggal ha datang bulan sehingga membuatnya ingin makan apapun.
Airin berjalan kembali memasuki rumah makan. Disana sudah datang orang dari perusahaan suaminya. Dia menarik napas untuk mengatur denyut jantungnya yang kencang.
"Nah ini Bu Airin, perkenalkan dia adalah direktur utama di perusahaan kami." Ucap Rara memperkenalkan Airin kepada orang - orang perusahaan Assandi.
Airin tersenyum dan menjabat tangan mereka satu persatu, "Saya Airin, salam kenal dan saya mengucapkan terima kasih sudah memilih perusahaan kami untuk keperluan kalian."
"Iya Bu Airin, saya juga terima kasih anda bisa datang untuk menemui kami membahas masalah penting ini." Ucap salah satu pria paruh baya.
Mereka semua duduk dan memulai parbincangan penting. Tapi pikiran dan pandangan Airin tidak tertuju pada topik yang mereka bahas.
Matanya menelisik ke seluruh ruangan rumah makan dan halaman depannya. Dia tidak melihat mobil suaminya berada di sana.
Rasanya sangat melegakan jika Assandi tidak ikut dalam pertemuan ini. Karena jika ikut itu akan membuat Airin tidak nyaman dalam bekerja.
Rara dibuat bingung setelah melihat Airin berulang kali menarik napas dan pandangannya tidak mengarah pada pembicaraan mereka.
Dia menyikut lengan Airin untuk menyadarkannya dan kembali fokus bekerja. Airin menoleh menatap Rara karena sentuhan di tubuhnya.
Dia mengangguk mengiyakan tatapan dari Rara, "Bagaimana pak apakah anda setuju dengan ide dari kami. Kalau belum tertarik tidak apa - apa kita tetap akan membuat seperti permintaan bapak sebelumnya." Ucap Airin ramah.
"Saya sangat setuju, tetapi kita harus berkoordinasi dahulu dengan pimpinan kami. Ini sebentar lagi beliau akan datang mampir kemari." Jelas pria paruh baya itu.
Airin terkejut mendengar pria tersebut berbicara jika Assandi akan datang. Detak jantungnya sekarang semakin tidak terkontrol.
"Oh bagus kalau begitu, kita bisa segera menyelesaikannya dengan cepat. Sehingga bisa langsung terlaksana untuk pembuatannya." Sambung Rara antusias.
Airin hanya melirik mereka semua dengan diam. Kedua tangannya saling meremas gemetar tidak bisa menahan perasaannya.
Klinting...
Suara pintu rumah makan terbuka membuat semua orang yang ada di sana menatapnya. Begitu juga Airin dan rekan kerjanya.
"Nah itu dia pimpinan kami, perkenalkan beliau Pak Assandi pimpinan dari perusahaan kami." Ujar pria paruh baya itu mengenalkan Assandi.
Airin dan Rara hanya diam terkejut melihat Assandi sudah berdiri tegak menghampiri mereka.
Bahkan mereka juga bingung kenapa laki - laki itu tidak sama terkejutnya setelah melihat mereka.
Rara mendekati Airin dan berbisik, "Kenapa kamu nggak bilang kalau perusahaan ini milik suamimu sih Rin."
Airin hanya diam menelan ludahnya, dia mendekat maju di hadapan Assandi sambil menyodorkan tangannya.
Namun sedihnya, sodoran tangannya untuk bersalaman tidak dihiraukan oleh Assandi. Laki - laki berlalu dari hadapan Airin dan duduk bersebelahan denga pria paruh baya.
Semua orang yang ada disitu kebingungan dengan sikap dingin dari Assandi. Apalagi pria paruh baya sekretaris senior Assandi.
Pria paruh baya itu menatap Assandi tajam sambil menggelengkan kepala. Dia tidak mengetahui jika Assandi dan Airin adalah suami istri.
Disana hanya Rara yang mengetahui hubungan Assandi dengan Airin. Rara mengusap pelan lengan Airin untuk memberi kekuatan pada sahabatnya.
Dirinya bisa merasakan bagaimana perasaan sahabatnya itu sekarang. Pasti merasa malu dan sedih diberlakukan seperti itu oleh suaminya sendiri.
"Sampai dimana pembicaraan kalian." Ucap dingin Assandi.
Semua orang menatap Assandi takut. Hanya pria paruh baya yang menggelengkan kepalanya melihat tingkah dingin dari pimpinannya.
"Ada ide dari mereka dan itu sangat bagus untuk kita." Ucap pria paruh baya sambil menyerahkan berkas dari perusahaan Airin.
Assandi menerima berkas itu dan melihatnya dengan seksama. Dahinya berkerut setelah membaca semua detail desain, bahan, dan pengerjaan yang di susun rapi di dalamnya.
"Pak Handoko, apa tidak ada perusahaan yang lebih bagus lagi untuk bekerja sama dengan kita." Ujar ketus Assandi.
Pria paruh baya yang bernama Handoko itu terkejut mendengar perkataan dari Assandi.
Dia berbisik pelan di dekat Assandi, "Maksud kamu apa? Bukannya kemarin sudah setuju dengan perusahaan ini? Kamu mau papamu akan marah lagi?"
Assandi menyeringai tajam, "Apa urusannya denganku, apa anda tidak bisa melihat modelnya sangat kuno sekali."
Ucapan Assandi ini membuat orang - orang dari perusahaan Airin terkejut. Mereka semua saling bertatapan.
"Ma-maaf pak, jika bapak tidak suka bisa kami buatkan model yang terbaru. Atau kita akan tetap sengan model yang perusahaan bapak berikan." Sahut staff Airin bagian desain.
Assandi hanya tersenyum kasar, terlihat jelas dari wajahnya dia sangat tidak suka dengan apa yang sudah dilakukan oleh usaha Airin.
"Mohon maaf Bu Airin, atas ketidak nyamanan ini. Tidak apa - apa berkas ini akan kami bawa untuk ditinjau kembali." Kata Pak Handoko meminta maaf.
Mata Airin sudah berkaca - kaca mendengar semua celotehan tajam dari Assandi. Dia hanya menunduk dan menarik napas pelan.
"Baiklah pak, saya mengucapkan terima kasih banyak sudah memberi kesempatan kepada perusahaan kami." Sahut Rara mewakili Airin.
Assandi melirik sekilas wajah Airin yang masih menunduk untuk menahan tangis. Dia kemudian memalingkan wajahnya dan beranjak dari duduknya.
"Kalau sudah tidak ada yang dibahas lagi saya akan pergi. Karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan." Ucap dingin Assandi.
Mereka semua berdiri mengikut Assandi dan saling berjabat tangan. Saat akan berjabat tangan dengan Airin, Assandi langsung menolaknya dan mengambil jasnya untjk dibawa keluar.
Handoko yang melihat itu merasa malu dan kesal karena tingkah kekanakan dari pimpinannya.
Dia kemudian menatap Airin dan meninta maaf yang sangat dalam, "Maafkan pimpinan kami Bu Airin, semoga anda tidak memasukkan ke dalam hati ucapan dari beliau tadi."
Airin tersenyum mengangguk, "Tidak apa - apa pak saya bisa menerima semuanya."
Handoko mengangguk paham dan pergi menyusul Assandi ke halaman parkir. Rara menatap sedih punggung Airin. Dia tahu bagaimana perasaan sahabatnya itu.
Dia sangat menyayangkan perlakuan Assandi terhadap Airin. Bisa - bisanya tetap acuh dengan istrinya di hadapan orang lain.
Dirinya merasa beruntung karena disini yang tahu Assandi adalah suami Airin hanya dia seorang. Karena saat pernikahan tidak banyak teman yang mereka undang.
Hanya beberapa dan itupun banyak yang tidak datang karena di luar kota maupun luar negeri. Rara merangkul Airin untuk mengajaknya pulang bersama.
Dia mengusap pelan punggung Airin untuk memberikan kekuatan atas perlakuan Assandi tadi. Rara berharap dalam hatinya, semoga pernikahan sahabatnya bisa harmonis seiring berjalannya waktu.