Chereads / The Wild Of Revolusion / Chapter 1 - Dunia baru yang tak dikenal

The Wild Of Revolusion

PekerjaLepasHarian
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 111
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Dunia baru yang tak dikenal

Kupingku berdengung keras, seolah menandakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Detik-detik terasa begitu lambat, sementara rasa sakit semakin tajam. Darah terus menetes dari kepalaku, dan perlahan kesadaranku mulai hilang.

"Ahhh!" Aku terbangun dengan panik, napasku terengah-engah, dan jantungku berdegup kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, seakan bukan sekadar mimpi. Ketakutan akan kematian dan rasa sakit yang kurasakan benar-benar mencekam.

"Anakku, bangunlah! Ayah, cepat kemari!"

Suara seorang wanita paruh baya menggema. Tangannya yang hangat menggenggamku erat. Bahasanya asing, tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku ingin bertanya siapa mereka dan apa yang terjadi padaku, tetapi rasa sakit itu semakin menusuk hingga kesadaranku memudar lagi.

---

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat membuka mata, aku merasa tubuhku aneh. Aku mengangkat tanganku dengan sulit—itu jauh lebih kecil dari sebelumnya. Begitu tersadar sepenuhnya, aku terkejut melihat Tubuhku seperti anak kecil berusia 2 atau 3 tahun.

Ketika sedang kebingungan, seorang pria berusia sekitar 30 tahun mendekatiku dengan wajah cemas. "Jack? Bagaimana keadaanmu, Nak?" katanya lembut.

Aku ingin menjawab, tetapi hanya suara raungan aneh yang keluar dari mulutku. Pria itu tertawa kecil dan mengelus kepalaku. "Tenang saja, kau pasti masih lemah. Ini, minumlah air ini."

Aku menerima segelas air yang diberikan olehnya, meski tetap bingung. Potongan-potongan ingatan mulai kembali. Aku sedang dalam perjalanan pulang setelah shift malam, mengendarai motor, ketika tiba-tiba penglihatanku kabur. Kecelakaan? Atau mungkin... aku sudah mati?

---

Hari demi hari berlalu, dan pasangan yang memanggilku "anak mereka" terus merawatku dengan sabar. Sang wanita, yang kini kusebut Ibu, sangat perhatian. Sementara itu, Ayah sering berbicara dengan Ibu tentang pekerjaannya sebagai petani di ladang bangsawan setempat.

"Ibu, kenapa dia tidak mau makan?" tanya Ayah suatu malam, ketika aku hanya memandangi sup kentang di depanku.

"Dia pasti masih beradaptasi, Ayah. Kasihan dia. Biarkan saja, nanti kalau lapar, dia akan makan." Ibu mengelus rambutku lembut, membuatku merasa sedikit nyaman di tengah kekacauan ini.

Suatu hari, aku mencoba mengeluarkan suara. "Ah... ah..." gumamku pelan. Ibu yang sedang mengiris sayuran mendadak berbalik dengan cepat.

"Jack! Kau bicara?!" serunya, air mata langsung menggenang di matanya.

Aku hanya mengangguk kecil, tetapi itu sudah cukup membuatnya menangis bahagia. "Ayah! Jack sudah bisa bersuara! Dia pasti akan baik-baik saja!" panggilnya ke luar rumah.

---

Beberapa bulan kemudian, aku mulai memahami bahasa mereka. Ibu mengajarkanku nama benda-benda, seperti "rumah," "air," dan "roti." Setiap malam, dia dengan sabar membimbingku mengulang kata-kata itu hingga aku fasih berbicara.

Pada suatu pagi, Ibu membawaku ke pasar desa untuk pertama kalinya. Aku terpana melihat pemandangan yang sangat berbeda dari dunia yang kukenal. Banyak orang berjualan barang aneh, termasuk seekor kelinci dengan tanduk.

"Ibu, itu apa?" tanyaku sambil menunjuk kelinci bertanduk.

"Itu 'Hornrabbit,' Nak. Dagingnya enak, tapi mahal," jawabnya sambil tersenyum kecil.

"Apakah kita bisa membelinya?" tanyaku penasaran.

Ibu menggeleng pelan. "Tidak, Jack. Uang kita hanya cukup untuk makanan sederhana. Tapi tidak apa-apa, ya? Roti dan sup kentang pun cukup untuk kita bertahan."

Aku mengangguk meski sedikit kecewa. Hari itu, aku belajar bahwa keluarga kami bukanlah keluarga yang kaya. Ayah dan Ibu bekerja keras di ladang bangsawan dari pagi hingga sore, hanya untuk mendapatkan sedikit upah.

Ketika malam tiba, aku mendengar percakapan Ayah dan Ibu yang penuh rasa lelah.

"Kerja keras seperti ini, sampai kapan kita bisa memperbaiki hidup?" tanya Ayah, duduk di kursi tua sambil memijat kakinya.

"Entahlah, Ayah. Tapi selama kita bisa makan dan anak kita sehat, itu sudah cukup, bukan?" jawab Ibu sambil menatapku yang berpura-pura tidur.

Mendengar itu, aku memutuskan dalam hati: aku harus menemukan cara untuk mengubah kehidupan kami. Dunia ini mungkin berbeda dari dunia lamaku, tetapi aku yakin ada jalan untuk mengubah nasib.