Peringatan dulu buat kalian yang baru baca cerita ini.
Cerita ini dimuat atas imajinasi author sendiri tanpa adanya tambahan dan inspirasi dari cerita lain. Terdapat unsur agama di cerita ini, author akan menambahkan beberapa bahasa arab di cerita ini.
Cerita ini tidak dibuat untuk menistakan agama, disini murni hanya untuk hiburan, jangan terlalu di anggap serius bahkan sampai mengomentari dengan komentar kebencian karna adanya cerita ini.
Harap pembaca dapat bijak saat membaca, terimakasih.
—R, Krixdtz
✿︎✿︎✿︎
Cerita diawali dengan tokoh yang bernama Fajar Ikhsan Al-Islam yang merupakan anak kyai di sebuah pesantren, ia biasa dipanggil dengan sebutan Gus Fajar. Gus Fajar adalah putra dari seorang kyai ternama di sebuah pesantren besar di Jawa Timur. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang sangat religius, dikelilingi oleh tradisi Islam yang kuat.
Sejak kecil, Gus Fajar menunjukkan kecerdasan dan kecintaan yang mendalam terhadap ilmu agama. Ayahnya, kyai Ahmad, memastikan bahwa ia mendapatkan pendidikan terbaik, baik di pesantren keluarga maupun di luar negeri, di mana ia memperdalam ilmu fikih dan tasawuf.
Pesantren Al-Hidayah, tempat Gus Fajar mengabdikan dirinya, adalah sebuah institusi pendidikan yang terkenal di pelosok Jawa. Bangunan pesantren itu sederhana namun asri, dikelilingi oleh kebun yang hijau dan hamparan sawah yang luas. Setiap pagi, suara para santri mengaji bergema, membawa suasana yang penuh kedamaian.
———————✿︎✿︎✿︎———————
Muhammad Rizki Fathalah atau Rizki, seorang santri baru, tiba di pesantren dengan membawa sebuah tas besar dan hati yang penuh harapan. Ia baru saja meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu agama di tempat ini.
Wajahnya terlihat lelah setelah perjalanan jauh, namun matanya bersinar penuh semangat. Saat melangkah masuk ke gerbang pesantren, ia menundukkan kepala, mengucap syukur dalam hati bahwa ia akhirnya tiba di tempat ini.
Hari pertama Rizki di pesantren diisi dengan perkenalan dan orientasi. Setelah sholat dzuhur berjamaah, para santri diarahkan ke aula utama untuk mendengarkan nasihat dari pengurus pesantren, Gus Fajar.
Saat Gus Fajar memasuki aula, suasana menjadi hening. Sosoknya yang kharismatik, berpakaian sederhana dengan surban melingkar di lehernya, memancarkan wibawa yang tenang namun tegas. Ia berdiri di depan para santri, menyapa mereka dengan senyuman hangat.
Gus Fajar tersenyum ke arah Rizki, "Selamat datang di pondok pesantren Al-Hidayah. Saya pengurus di pondok pesantren ini, nama saya Gus Fajar."
Semua santri putra termasuk Rizki menjawab, "Terimakasih, Gus."
———————✿︎✿︎✿︎—————–——
Setelah pertemuan itu, Rizki diarahkan ke asrama oleh salah satu pengurus pesantren. Namun, saat sedang membawa barang-barangnya ke kamar, ia tanpa sengaja menabrak seseorang di lorong.
Ketika ia mendongak, ia terkejut melihat bahwa orang yang ditabraknya adalah Gus Fajar sendiri.
Rizki dengan gugup menunduk, "Astaghfirullah, maaf, Gus, saya tidak melihat anda."
Gus Fajar tersenyum lembut, "Tidak apa-apa. Sepertinya tadi kita sudah bertemu, saya lupa bertanya nama mu."
Rizki yang masih setengah gugup menjawab, "Nama saya Rizki, Gus."
Gus Fajar menatap Rizki dengan tatapan hangat, "Rizki? Nama yang indah. Saya harap kamu menemukan kedamaian dan kebahagiaan di sini."
Rizki tersenyum, "Aamiin, terimakasih, Gus."
Percakapan singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Rizki. Ia merasa dihargai meskipun baru saja tiba.
———————✿︎✿︎✿︎———————
Malam itu, Rizki duduk di beranda asrama, memandangi langit malam sambil memikirkan pertemuannya dengan Gus Fajar, hatinya merasa damai.
Di kamar lain, Gus Fajar juga tak bisa melupakan santri baru yang tanpa sengaja menabraknya tadi siang. Ada sesuatu tentang Rizki yang membuatnya merasa penasaran, namun ia berusaha menepis pikirannya.
Gus Fajar menghela nafasnya, ia beristighfar sembari membalikkan halaman lembaran Al-Qur'an nya, "Astaghfirullah.. sadar, Fajar.."
Mereka tidak tahu bahwa pertemuan sederhana itu adalah awal dari kisah panjang yang akan mengubah hidup mereka. Di tengah rutinitas pesantren seperti biasa, benih-benih perasaan mulai tumbuh, meski keduanya belum menyadari sepenuhnya.
Allah telah mempertemukan mereka, dan perjalanan mereka baru saja dimulai.
Bersambung..