Chereads / Academy of The Gods / Chapter 1 - CHAPTER 1: KATASHI YUMIMITO

Academy of The Gods

🇮🇩varoalvaro
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 12.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - CHAPTER 1: KATASHI YUMIMITO

Di sebuah planet bernama Akaris, dunia yang dihuni oleh berbagai ras dengan keunikan masing-masing, harmoni hanyalah ilusi belaka. Nyatanya, teritori memisahkan mereka, membentuk batas-batas tegas yang dipertahankan dengan kecurigaan dan konflik. Di tengah dunia yang penuh ketegangan ini, manusia hidup sebagai salah satu dari ras-ras tersebut.

Di antara manusia di Planet Akaris, terdapat seorang anak bernama Katashi Yumimito. Tahun ini, ia genap berusia lima belas tahun, usia di mana seorang pemuda di Akaris dianggap memasuki awal kedewasaan. Namun, Katashi berbeda. Saat teman-temannya mulai menunjukkan potensi sihir atau kemampuan fisik, ia justru dikenal sebagai anak yang selalu tertinggal, baik dalam kekuatan maupun stamina. Katashi sering dianggap sebagai anak yang payah dan bahkan dijuluki 'manusia sampah'.

Selama lima belas tahun, pertanyaan tentang siapa dirinya dan asal usul keluarganya tak pernah lepas dari pikiran Katashi. Ia tinggal bersama keluarga Shikimura, sebuah keluarga bangsawan kelas atas yang terkenal sebagai pendekar perang dan prajurit sihir terlatih. Ayah angkatnya, Akame Shikimura, adalah seorang panglima perang yang disegani, sementara ibu angkatnya, Lishia, merupakan ahli sihir medis dengan keahlian tak tertandingi. Dalam keluarga itu juga ada Daze, anak kandung keluarga Shikimura, yang hanya terpaut beberapa bulan lebih tua dari Katashi.

Meski diterima sebagai bagian dari keluarga, statusnya sebagai anak angkat sering kali membuat Katashi merasa asing. Ia tidak memiliki kemampuan sihir seperti kebanyakan manusia di Akaris, dan kondisi fisiknya yang lemah menjadi hambatan besar. Tubuhnya tidak cukup kuat, sehingga ia sering tertinggal dalam pelatihan fisik yang menjadi tradisi Shikimura. Dalam setiap sesi pelatihan, Katashi kerap kalah jauh dari Daze, yang dengan mudah memamerkan kecepatan dan kekuatan sihir listriknya.

Status sebagai anak angkat membuat Katashi merasa seperti orang asing di keluarga itu. Ia tumbuh tanpa garis keturunan yang jelas, dan hal ini sering kali membuatnya diremehkan oleh orang-orang yang memandangnya sebagai 'bukan siapa-siapa'. Perasaan terasing itu terus menghantuinya, menambah beban di pundaknya yang sudah penuh dengan ketidakmampuan dan keraguan.

Semua bermula pada malam itu, malam ketika Akame dan Lishia, kedua orang tua Daze, menemukannya di perbatasan wilayah manusia dan ras lain. Dalam sebuah patroli rutin, mereka menemukan seorang bayi kecil yang terlantar di tengah kegelapan malam.

Langit di atas Akaris malam itu tampak berbeda. Bulan bersinar terang dengan cahaya keperakan, menciptakan suasana hangat namun penuh misteri. Bintang-bintang, yang biasanya tersebar acak, kini berkerlap-kerlip membentuk pola aneh, seolah-olah alam sedang mencoba menyampaikan pesan yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang cukup peka.

Suara derap kuda memecah keheningan Hutan Nazareth. Dua sosok berkuda melintasi jalan setapak dengan anggun. Akame Shikimura, pria dengan sorot mata tajam, memimpin perjalanan tersebut. Di sampingnya, Lishia, istrinya, tampak memegang kendali kudanya dengan tenang. Rambut peraknya berkilauan di bawah cahaya bulan. Saat itu, Akame dan Lishia sedang memeriksa perbatasan sebagai bagian dari tugas mereka menjaga keamanan wilayah.

"Tunggu," ujar Lishia tiba-tiba, menghentikan kudanya. Sorot matanya menyapu kegelapan hutan di depan mereka.

"Ada apa?" tanya Akame, ikut menghentikan langkah kudanya. Ia menatap ke samping, ke arah wajah istrinya yang terlihat tengah fokus pada sesuatu.

"Apa kamu mendengar suara aneh?" tanya Lishia dengan wajah serius.

Akame ikut menajamkan pendengarannya. Di antara deru suara angin lembut, suara hutan yang seakan berbisik, terdengar sebuah tangisan kecil yang lirih.

Tanpa aba-aba, Lishia segera turun dari kudanya. matanya menatap ke setiap semak-semak di dalam hutan. Suara bayi? batin Lishia.

Ia yakin, sangat yakin, bahwa suara yang sedari tadi mereka dengar adalah tangisan bayi. Namun, semakin jauh ia melangkah, suara itu menghilang.

"Tenang, sayang, dan tolong hati-hati," ujar Akame, yang melihat istrinya terus memasuki semak-semak tinggi. Terlebih lagi, sekarang mereka berada di Hutan Nazareth, di mana semakin ke dalam, mereka akan menemukan banyak makhluk penghuni hutan itu.

"ASTAGA, SAYANG, CEPAT KE SINI!" teriak Lishia dari balik semak belukar yang tingginya sedada orang dewasa.

Dengan langkah gesit, Akame mendekati istrinya yang kini tengah berjongkok dengan mata berkaca-kaca.

"Siapa yang membuang bayi di sini?" tanya Akame, tidak mempercayai apa yang dilihatnya.

Di bawah cahaya bulan, mereka menemukan bayi laki-laki yang terbungkus selimut putih. Bibirnya sudah memucat, seakan-akan bayi itu telah lama menangis dalam kegelapan hutan ini.

Lishia langsung menggendongnya dan membuka sedikit selimut itu untuk memeriksa apakah ada luka.

Air matanya jatuh, merasakan campuran lega dan sedih. "Syukurlah dia masih selamat." Matanya menatap penasaran pada leher bayi itu yang tergantung kalung dengan liontin berbentuk simbol tak berujung, Infinity, yang memantulkan cahaya rembulan. Saat ia melihat tangan kananya yang terkepal, terdapat simbol persegi yang baru kali ini mereka lihat.

"Simbol ini," ujar Lishia pelan, menunjuk tanda di tangan bayi itu. "Apakah ini tanda Ethereal?" tanyanya. Mereka berdua adalah alumni dari sebuah Akademi sihir di planet Arkanova, jadi, tentu saja, melihat simbol yang hanya bisa mereka lihat itu menjadi sebuah pertanyaan besar.

"Tidak ada Ethereal berbentuk persegi, sayang," timpal Akame, sambil mengalihkan pandangannya pada simbol itu.

"Tetapi jika itu benar Ethereal, keberadaan bayi ini akan menarik perhatian banyak pihak. Kita tidak tahu siapa dia atau dari mana asalnya, tapi meninggalkannya di sini bukan pilihan yang tepat," lanjutnya, yang juga merasakan prihatin atas nasib bayi malang itu.

Lishia mengangguk setuju. Dengan hati-hati, ia mengangkat bayi itu ke pelukannya. Bayi tersebut tampak begitu ringan, mungkin baru beberapa jam yang lalu dia dilahirkan ke dunia ini, namun nasibnya yang malang harus merasakan dinginnya malam dan mengerikannya Hutan Nazareth.

"Kalau begitu, kita bawa dia pulang," kata Lishia dengan nada tegas namun lembut. "Aku yakin ini adalah takdir," imbuhnya dengan yakin. Sebab, jika mereka menemukan bayi ini lebih lama lagi, maka dia sudah tidak bisa tertolong atau bahkan langsung menjadi santapan makhluk di hutan ini.

Akame mengangguk, setuju. "Aku berharap dia bisa menjadi teman yang baik untuk anak kita, Daze."

***

Di usia lima belas tahun, Daze sudah mampu menggunakan sihir listrik, salah satu sihir dasar yang mengalir secara alami dalam diri penghuni Akaris. Petir kecil sering kali menyambar dari tangannya saat ia mencoba mengasah kekuatannya. Katashi adalah kebalikannya. Tubuhnya benar-benar lemah, tidak memiliki mana, dan sering kesulitan mengikuti latihan fisik. Tidak hanya itu, Katashi juga tidak terlalu pandai menggunakan senjata, dan sejak kecil, ia selalu dibandingkan dengan Daze karena perbedaan keduanya.

Namun, satu hal yang membuatnya menonjol adalah kemampuan analisis dan strateginya. Katashi memiliki otak yang tajam, berkat didikan langsung dari Akame. Ayah angkatnya sering mengajaknya berdiskusi mengenai taktik perang atau memecahkan teka-teki, yang membuat otaknya semakin terasah tajam dan menanamkan pemikiran strategis yang mendalam. Meski tubuhnya lemah, pikirannya bekerja dengan kecepatan luar biasa.

***

Di kedalaman Hutan Nazareth, Katashi dan Daze sedang berburu. Daze berlari di depan dengan penuh semangat, sementara Katashi tertinggal di belakang, berusaha mengatur napasnya.

"Kamu ini lamban sekali," ejek Daze sambil menoleh ke belakang. "Kalau ini perang sungguhan, sudah pasti kau akan berakhir menjadi mayat."

Katashi hanya mendengus, memilih untuk mengabaikan ejekan Daze. Ia tahu bahwa Daze tidak bermaksud buruk.

Setibanya di tempat perburuan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya suara angin yang menggesek dedaunan dan burung-burung kecil yang terdengar. Mereka berdua bersembunyi di balik semak-semak, mengamati sekelompok babi hutan yang sedang mengais makan di dekat aliran sungai kecil.

"Kita butuh rencana," bisik Daze sambil melirik ke arah Katashi. Tangan Daze sudah bersiap memanggil kilat kecil di ujung jarinya, tetapi sorot mata Katashi memberi isyarat untuk menunggu.

"Jangan gegabah," jawab Katashi pelan. Matanya yang merah terang menatap cermat medan di depan mereka. "Babi hutan itu cerdas. Kalau kita hanya menyerang satu, yang lain pasti akan kabur. Kita butuh posisi yang tepat untuk menjepit mereka."

Daze mengangguk, mempercayakan sepenuhnya pada pemikiran Katashi.

Katashi memeriksa sekitarnya. Hutan itu dipenuhi celah dan jebakan alami-dahan rapuh, tanah licin, dan semak berduri. Ia memperhatikan tebing kecil di sisi kanan yang mengarah ke sungai. Sementara di sebelah kiri, terdapat jalur sempit, cukup untuk mengarahkan babi hutan ke tempat yang lebih terkunci.

"Lihat itu." Katashi menunjuk ke arah tebing. "Aku akan mengitari mereka dari sisi kiri. Kalau aku berhasil membuat mereka panik, mereka akan lari ke arah tebing. Di sana, kamu bisa menyerang mereka dari atas dengan sihir," jelas Katashi, yang mendapat tatapan tajam dari Daze.

"Taktik yang cerdas, seperti biasanya," ucap Daze, memuji kecerdasan otak Katashi yang sudah tidak diragukan lagi.

"Dan jangan lupa," ucap Katashi, melanjutkan perkataannya yang sempat terpotong, "sihirmu cukup untuk menakut-nakuti mereka, tapi jangan terlalu banyak tenaga. Kalau tidak, kamu hanya akan membakar makan malam kita."

Daze terkekeh pelan, lalu mengendap menuju posisi yang ditunjukkan Katashi. Sementara itu, Katashi melangkah ke arah kiri, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Tubuh besarnya tampak kontras dengan gerakannya yang terukur dan ringan, menunjukkan penguasaan medan yang tidak bisa diremehkan.

Setelah beberapa menit, Katashi mengambil ranting besar yang berserakan di tanah, lalu melemparkannya ke arah sekelompok babi hutan itu. Ranting itu jatuh dengan bunyi keras, membuat babi-babi itu mendongak dengan waspada. Dengan cepat, Katashi menepuk-nepuk pohon di sekitarnya, menciptakan gema suara yang membuat kawanan babi itu panik dan berlarian ke arah yang telah ia rencanakan.

Daze, yang sudah menunggu di atas tebing kecil, mengangkat tangannya. Kilatan petir melesat dari telapak tangannya, menabrak tanah di depan babi-babi itu. Suara keras dan cahaya menyilaukan membuat mereka semakin ketakutan, mengunci pergerakan mereka di antara tebing dan sungai.

"Sekarang, serang yang besar!" seru Katashi dari bawah.

"विद्युत्प्रवाहकविद्युत्शक्त्या अहं भवन्तं आह्वयामि, Electric Ball!" Daze menargetkan babi terbesar di kawanan itu, melontarkan sihir listrik yang cukup kuat untuk melumpuhkannya tanpa membunuhnya. Dalam beberapa saat, babi itu tumbang, dan sisanya lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

"Kerja bagus!" kata Daze sambil melompat turun dari tebing, mendekati Katashi yang sudah berdiri dengan napas teratur.

Katashi tersenyum kecil dan mengangkat bahu. "Aku hanya membuat sedikit rencana. Ini semua berhasil berkat kekuatan sihirmu."

"Jangan merendah," balas Daze. "Tanpa otak cerdas mu, aku hanya akan menyerang sembarangan."

Bagi mereka berdua, berburu sudah menjadi ritual yang sering mereka lakukan untuk berlatih. Daze tahu bahwa dalam hal kekuatan sihir, Katashi mungkin tidak memiliki potensi apa pun. Namun, dalam hal kecerdasan, Katashi adalah lawan yang sulit dikalahkan, dan Daze tidak akan membiarkan dirinya kalah begitu saja.

***

Malamnya, mereka masih berada di tempat yang sama di dalam Hutan Nazareth. Api unggun menyala terang, memancarkan cahaya keemasan yang menari-nari di wajah mereka, sementara aroma daging panggang dari hasil buruan siang tadi memenuhi udara.

Katashi mendongak, menatap taburan bintang di langit Akaris yang luar biasa indah. Ada sesuatu tentang bintang-bintang itu yang selalu berhasil menenangkan hatinya, meskipun ia tahu perasaan gelisah tentang identitas dirinya masih menghantuinya.

"Menurut Kakak, apa aku bisa menggunakan sihir seperti yang lainnya?" Saat sedang merasa overthinking, Katashi selalu memanggil Daze dengan panggilan Kakak.

Daze hanya diam, sibuk dengan daging yang sedang ia panggang. "Kenapa?'' tanya Katashi bingung saat melihat ekspresi diam Daze.

"Katashi, sudah berapa kali aku bilang, panggil saja Daze," ujar Daze serius.

Katashi tersenyum kecil mendengar ucapan Daze. "Jadi? Apakah aku bisa menggunakan sihir?"

"Nggak ada yang mustahil, kan?" ujarnya santai. "Mungkin hanya membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding orang lain. Ayo lah, percaya pada dirimu."

Katashi menghela napas panjang, suaranya nyaris tenggelam dalam desahan angin malam. "Aku selalu merasa bahwa aku ini seseorang yang bereinkarnasi, tapi entah mengapa aku sangat payah sekali. Mungkinkah aku di kehidupan sebelumnya adalah orang yang sangat payah? "

Tawa kecil keluar dari bibir Daze. "Berapa kali, sih, aku bilang? Kamu tuh hanya halusinasi. Reinkarnasi apanya? Tidak ada hal semacam itu di dunia ini." Suaranya penuh nada mengejek, tapi tetap ringan, seperti biasa.

Katashi mengalihkan pandangannya dari langit, menatap Daze dengan alis sedikit terangkat. "Tidak, Daze. Aku benar-benar merasa bahwa aku adalah seorang yang bereinkarnasi!" tegasnya serius sambil meraih potongan daging yang sudah matang.

"Daripada kamu memikirkan hal itu. Lebih baik kamu memikirkan bagaimana cara mengalahkan ku," jawab Daze sambil menggigit daging babi, dan berkata setelah mengunyahnya cepat, "Tapi tetap saja, kamu nggak akan lebih kuat dariku."

Katashi mendadak terdiam, menatap Daze dengan ekspresi yang nyaris percaya. Namun, beberapa detik kemudian, keduanya pecah dalam tawa keras yang menggema di tengah hutan gelap. Api unggun menjadi satu-satunya saksi momen itu.

Begitulah mereka, selalu seperti ini. Katashi sering kali berbicara tentang keyakinannya bahwa ia adalah reinkarnasi, sementara Daze selalu menanggapi dengan candaan atau komentar sinis yang bercampur canda. Meski begitu, tak pernah ada rasa kesal yang tumbuh di hati Katashi. Baginya, Daze adalah saudara yang baik, teman yang setia, dan orang yang selalu mendukungnya, meski dengan cara yang terkesan konyol.

Setelah menghabiskan daging dengan lahap, keduanya duduk diam untuk beberapa saat. Katashi menyapu pandangannya ke sekeliling hutan, tempat di mana dirinya ditemukan bertahun-tahun lalu. Hutan ini bukan sekadar tempat bagi mereka; ini adalah bagian dari takdir yang entah seperti apa akhirnya.

***

Pagi harinya, di kediaman Shikimura, suasana terasa tidak biasa. Katashi dan Daze berjalan berdampingan menuju ruang kerja Akame dengan langkah yang ragu-ragu. Ada sesuatu dalam panggilan mendadak itu yang membuat mereka gelisah.

"Kira-kira, apa lagi salah kita?" tanya Daze, berusaha terdengar dramatis. "Jangan-jangan ini hukuman karena berburu terlalu jauh lagi?"

"Hukuman macam apa yang sampai membuat kita dipanggil ke ruang kerja?" tanya Katashi menimpali, tapi dengan nada datar.

Begitu sampai di depan pintu besar berlapis perak yang dihiasi permata, mereka saling bertukar pandang. Katashi membuka pintu perlahan, dan di dalamnya Akame sudah menunggu. Duduk di kursi besar di belakang mejanya, wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat serius.

"Duduk," perintah Akame singkat.

Mereka menurut dan duduk, meskipun jelas ada ketegangan di udara. Setelah keduanya duduk, Akame menggeser tumpukan kertas di meja dan menyodorkan satu selebaran kepada mereka.

Daze langsung menatapnya dengan alis berkerut. "Jangan bilang ... kita disuruh menulis permintaan maaf lagi?" katanya, mencoba meredakan suasana dengan candaan.

"Lihat dulu," balas Akame dengan nada tegas.

Mereka berdua lalu mengambil dan membaca selebaran itu dengan cepat.

"Perekrutan Akademi Sihir Arkanova."

Kata itu langsung menarik perhatian Katashi.

"Kamu juga harus ikut, Katashi," suara Akame memecah kebingungan.

Katashi menatapnya dengan raut tak percaya. "Aku bahkan tidak memiliki mana, Ayah. Apa gunanya aku mencoba?"

Akame menatapnya tajam. "Simbol di tanganmu mungkin adalah kunci dari sesuatu yang lebih besar. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku ingin kamu mencobanya."

"Lagi pula, jika kamu gagal, kamu masih bisa masuk ke sekolah tempur di kota ini," ujar Akame. Ia bangkit dari duduknya, mendekati kedua putranya, dan menepuk pundak Katashi dengan lembut. "Ingat, Nak, kemampuanmu dalam mengatur strategi itu luar biasa. Jangan remehkan dirimu sendiri."

Setelah jeda sejenak, ia melanjutkan, "Dan jika kamu memang ingin mencoba menjadi seorang penyihir, Ayah bisa bantu supaya kamu diterima di akademi sihir di kota sebelah."

Hampir semua penyihir ahli di dunia Akaris adalah alumni Akademi Of The Gods, termasuk para dosen di akademi sihir lainnya. Mereka menjadi bukti nyata bahwa akademi legendaris itu bukan hanya sekolah, tetapi juga sebuah fondasi yang mencetak pemimpin, pelindung, dan pelopor perubahan.

"Ayah, jangan bicara seperti itu pada Katashi. Aku yakin dia bisa masuk Akademi Arkanova dan jadi bagian dari mereka bersamaku," ujar Daze sambil menyenggol bahu Katashi yang duduk diam di sisinya. "Iya, kan?" tambahnya dengan nada menggoda, menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.

Katashi terdiam, menatap simbol di tangannya lamat-lamat. Meski ragu, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya dan mungkin menemukan jawaban atas misteri yang selalu menghantui hidupnya.

Dengan mantap dan tatapan penuh tekad, Katashi berkata, "Baik, Ayah, aku akan berusaha sebisaku!"

Akame tersenyum bangga, dan Daze yang memeluk bahu adiknya juga merasa bangga.

"Ini baru keluarga Shikimura!" seru Daze, yang dibalas suara tawa Ayahnya.

--------

To be continued…