Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

NAYANIKA : Denting dalam Diam

Pratamaaa
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
21
Views
Synopsis
Nayanika, seorang penyanyi dan pemain harp, merasa hidupnya lengkap, dikelilingi sahabat-sahabat yang setia dan hari-hari yang penuh ketenangan. Namun, denting kecil dalam hidupnya mulai menggiringnya ke dunia yang gelap, sunyi, namun memikat sebuah dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di balik diam yang menyesakkan, tersimpan rahasia yang menunggu untuk diungkap. Dalam perjalanan ini, Nayanika menemukan kehangatan yang asing, mengajarkannya bahwa mencintai bukan sekadar memberi, dan dicintai bukan hanya memiliki. Denting-denting kecil itu memaksanya mencari harmoni di tengah kegelapan, memahami arti sejati dari melodi hidup di mana diam justru menyimpan suara yang paling dalam.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - NAYANIKA

Nayanika Sapphire, lahir pada 11 Maret 1998, adalah seorang gadis dengan bakat luar biasa dalam bernyanyi dan memainkan harp. Namanya, yang diberikan oleh maminya berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "mata cantik yang memancarkan daya tarik," mencerminkan keindahan yang dimilikinya, baik dari luar maupun dalam. Sejak kecil, Nayanika tumbuh dikelilingi oleh musik. Ibunya, yang dulu seorang penyanyi yang sering tampil di acara pernikahan dan kafe-kafe di Jakarta, adalah sumber inspirasi utama baginya. Namun, setelah menikah dengan ayah Nayanika, yang bekerja sebagai pelaut, ibunya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga tangguh, menjalani kehidupan yang lebih sederhana namun penuh kasih sayang.

Nayanika hidup di rumah bersama ibunya dan si bibi, karena ayahnya jarang pulang, hanya 1-2 minggu sekali. Meskipun kehadiran ayahnya terbatas, rumah selalu terasa hangat setiap kali ia pulang. Suasana itu selalu membawa keceriaan yang hilang begitu ayahnya kembali berlayar. Kakaknya, seorang psikolog, sudah berkeluarga dan tinggal di Yogyakarta, meninggalkan Nayanika untuk lebih banyak berbagi waktu dengan maminya, yang selalu mendukungnya dalam setiap langkah hidupnya.

Di balik penampilan ceria dan penuh semangat, Nayanika adalah gadis yang penuh kerinduan. Musik adalah pelipur lara sekaligus cara baginya untuk menyampaikan perasaan yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Sekarang, memasuki tahun terakhir di SMA sebagai siswa kelas 12.

Saat ini, Nayanika sedang berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya. Baru beberapa detik dia terpaku di sana, tiba-tiba suara maminya terdengar dari bawah, memanggil dengan nada khas yang sudah tidak asing lagi.

"Nika, cepetan! Nanti telat!"

"Iya, mami!" jawab Nika, cepat-cepat menuruni tangga.

Sesampainya di bawah, si bibi sudah menunggu dengan roti isi coklat yang sudah disiapkan di toples. Bibi menyarankan agar Nika membawanya untuk sarapan, tapi Nika hanya mengangguk sambil melirik ke arah mobil yang sudah menunggu di luar. Maminya pasti sudah menunggu di dalam mobil.

Begitu masuk ke mobil, Nika baru saja sempat duduk, maminya langsung memberikan petuah yang selalu diulangnya.

"Mami sering bilang, kalau kamu dandanya lama, bangunnya lebih pagi."

"Iya, mami," jawab Nika sambil memasang sabuk pengaman.

Jarak rumah ke sekolah sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 15-20 menit. Asalkan jalanan lancar, Nika pasti akan sampai tepat waktu. Tapi dengan jam sudah menunjukkan pukul 06.40, waktunya semakin mepet. Gerbang sekolah biasanya ditutup pukul 07.05, dan jika jalanan macet, Nika bisa dipastikan terlambat.

Beruntung, hari ini jalanan lancar tanpa hambatan. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Nika berpamitan dengan maminya, tidak lupa menciumnya di tangan dan kedua pipinya.

"Aku masuk ya, mi."

"Yaudah, belajar yang benar," jawab maminya dengan senyuman.

Nika turun dari mobil dan baru saja melangkah beberapa langkah, dia melihat seorang murid laki-laki berdiri di depan gerbang. Tidak asing baginya—Garda. Dia sedang merokok dengan santai, seolah tidak ada yang menghalangi.

Tanpa ragu, Nika menghampiri dan langsung menegurnya.

"Gar!" panggil Nika dengan tegas.

Garda yang terkejut, sudah tahu suara siapa yang memanggilnya.

"Eh, Nik," jawabnya, sedikit kikuk.

Nika hanya mengerlingkan matanya ke rokok yang masih tersisa di tangan Garda, memberi isyarat untuk segera mematikannya. Garda pun langsung membuang rokoknya ke tanah dan menginjaknya, mematikan api yang masih menyala.

"Kasian tuh Pak Dadang," ujar Nika, mengingatkan tentang satpam sekolah yang sudah lama mengawasi Garda, tapi tak pernah berani menegurnya.

Pak Dadang memang sering melihat Garda merokok, namun dia enggan untuk menegur, mengingat pernah ada insiden kecil antara mereka berdua.

Garda sempat menantang Pak Dadang berkelahi. Garda memang terkenal sebagai anak yang sering terlibat masalah, meskipun dia tidak pernah mengganggu teman-temannya secara langsung. Tapi sikapnya yang cuek dan sering melawan aturan membuatnya ditakuti di sekolah.

Meskipun begitu, Garda tetap punya sisi yang dihormati. Banyak yang bilang dia keren, wangi, dan selalu tampil menarik. Karena itulah, meski nakal, banyak yang ingin berteman dengannya.

"Masa?" jawab Garda dengan santai, tidak terlalu mempermasalahkan teguran Nika.

"Nanya lagi, yaudah ayo masuk," Nika menyahut, lalu melangkah maju, mengikuti Garda yang mulai bergerak menuju pintu gerbang.

Gerbang sekolah hampir ditutup, namun Pak Dadang masih menunggu mereka berdua.

"Pak," sapa Nika dengan ramah.

"Neng Nika," jawab Pak Dadang, mengenali suara Nika yang khas. Tanpa diduga, Pak Dadang memberi hormat pada Nika, kemudian menyapa Garda.

"Gar," kata Pak Dadang.

Saat Nika melihat ke samping, dia terkejut melihat Garda membalas hormat itu, yang membuatnya agak heran. Biasanya, dia yang memberi hormat terlebih dahulu, tetapi kali ini Garda yang melakukannya dengan penuh rasa hormat.

"Pak," jawab Garda singkat, tetap menjaga sikapnya yang tenang.

Setelah itu, mereka berdua masuk ke sekolah. Nika segera berjalan cepat menuju kelas. Sesampainya di kelas, seperti yang sudah jadi kebiasaan selama tiga tahun ini, sahabatnya, Andini dan Tiara, pasti sudah lebih dulu sampai.

Andini adalah sahabat yang tomboy, tapi rambutnya panjang, tebal, dan selalu terlihat indah rambutnya yang selalu jadi perhatian. Selain itu, Andini juga seorang atlet aikido di sekolah. Dia sangat dewasa dan selalu menjadi tempat curhat Nika, untuk membicarakan hal-hal yang lebih berat dan serius.

Sementara Tiara, sahabat Nika yang satu ini, selalu ceria dan penuh energi. Andini sering menyebutnya sedikit centil, tapi Tiara bukan centil yang berlebihan. Sifatnya yang sangat girly itu membuat Nika dan Andini merasa sangat nyaman di sekitarnya.

Nika duduk di meja kedua paling belakang, satu bangku dengan Tiara. Sedangkan Andini, seperti biasa, memilih duduk sendirian di meja paling belakang, membuktikan kalau mereka bertiga memang lebih memilih berbicara santai daripada terlalu fokus pada pelajaran akademis meski mereka tetap punya cara belajar masing-masing.

"Gerbang mau ditutup berapa meter lagi, Nik?" sindir Andini dengan nada yang setengah bercanda.

Nika berhenti sejenak, duduk di bangku sebelum menjawab. "Masa gue harus ukur sih, Din?" jawab Nika sambil menyunggingkan senyum.

Andini mengangkat bahu, "Ya, siapa tahu aja lu mau ukur, Nik."

"Masa iya? Kan udah tradisi, Din. Masuk sekolah mepet-mepet," kata Tiara sambil menyenggol Nika, mengingatkan kebiasaan mereka.

"Iya deh, sorry, sorry," jawab Nika sambil terkikik, menyalahkan dirinya sendiri.

Suasana di sekitar mereka masih riuh, sekolah baru memasuki masa orientasi untuk siswa baru, jadi suasana KBM masih belum efektif. Banyak siswa sibuk saling mengenal, dan guru-guru pun terlihat lebih santai.

"Kantin yuk!" ajak Tiara, wajahnya yang cerah menggoda.

"Yuk!" jawab Nika antusias, tidak ingin melewatkan kesempatan makan pagi.

Mereka berjalan santai menuju kantin, melirik lapangan sekolah tempat siswa baru sedang berbaris untuk kegiatan MOS. Nika sempat melirik mereka, teringat masa-masa orientasi dulu.

"Ingatan gue gak pernah salah deh, dulu kita satu gugus, ya nggak?" Tiara berkata sambil melirik Nika dengan sedikit penasaran.

"Of course, Lidah Buaya, ya?" jawab Nika sambil melirik Tiara dengan senyum nakal, ingatan mereka langsung kembali ke masa-masa seru itu.

"Iya deh, gue nggak satu gugus sama kalian. Pahit, deh!" Andini terdengar sedikit kesal, meski cuma bercanda.

"Ya udah, lu kan tetap sahabat kita," kata Tiara sambil merangkul Andini dan Nika dengan hangat.

Sesampainya di kantin, seperti biasa mereka memesan bubur ayam Bang Roy, makanan yang selalu jadi andalan mereka. Kantin pagi itu penuh dengan suara tawa, obrolan antar teman, dan aktivitas siswa yang sibuk memilih makanan. Keadaan sekitar cukup ramai, namun suasananya tetap hangat dan akrab.