Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

120 Days With You

🇮🇩Zona_Khay
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
43
Views
Synopsis
Livia, seorang wanita muda dengan wajah cantik dan karier gemilang, terlihat memiliki segalanya, namun hidupnya penuh luka. Ia terjebak dalam hubungan yang dikendalikan oleh calon ibu mertuanya, sementara tunangannya, Rama, selalu tunduk pada ibunya, mengorbankan kebahagiaan Livia. Ketika konflik demi konflik memuncak menjelang hari pernikahan mereka, Livia memutuskan untuk membatalkan pernikahan tersebut. Namun, di tengah keterpurukannya, ia mulai meragukan nilai cinta dan peranannya dalam hidup. Dapatkah Livia menemukan kembali makna cinta dan kebahagiaan sejati, atau haruskah ia terus hidup dalam bayang-bayang luka masa lalunya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 01. Makan Malam

Malam itu, suasana makan malam di rumah keluarga Rama terasa hangat di permukaan, tetapi dingin bagi Livia. Di tengah percakapan ringan, Ibu Lina, ibu dari Rama, mulai membuka topik tentang pernikahan yang akan dilangsungkan dalam waktu tiga minggu ke depan. Dengan nada penuh otoritas, ia menjelaskan rencananya untuk acara tersebut.

"Mama pengen semuanya sesuai adat tradisional, Livia," kata Ibu Lina, dengan senyum tertuju pada Livia tetapi pandangannya tajam seolah memberikan penekanan.

"Tidak perlu ada tema modern atau dekorasi yang terlalu mewah. Kita harus mempertahankan nilai-nilai keluarga," sambungnya sambil menikmati makanan yang ada di mulutnya.

Livia menelan ludah, merasa pendapatnya tidak diperlukan. Ia telah membayangkan pesta pernikahan yang elegan, gaun cantik yang membungkus tubuhnya, dengan sentuhan dekorasi modern sesuai impiannya sejak kecil, tetapi semua itu tampak seperti khayalan belaka.

"Dan satu lagi," lanjut Ibu Lina. "Setelah ini, kamu atur janji sama dokter kandungan. Mama pengen mastiin kalo kondisi rahim kamu sehat dan bisa segera memberikan cucu untuk kami. Kamu kan tau, Rama itu anak mama satu-satunya, dan mama mau penerus keluarga ini lahir secepatnya."

Ucapan itu terasa seperti tamparan bagi Livia. Ia mencoba menahan diri, berusaha tetap sopan meski hatinya bergejolak. Pandangannya beralih ke Rama, berharap pria itu akan menghentikan ibunya atau setidaknya membelanya. Tetapi harapan itu pupus. Rama hanya tersenyum tipis, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Livia merasa seperti boneka yang diatur sepenuhnya oleh Ibu Lina, tanpa ada ruang untuk mengutarakan keinginannya sendiri. Semua keputusan ada di tangan wanita itu, mulai dari tema pesta, dekorasi, hingga bahkan soal kesehatan pribadi Livia. Gadis itu merasa dihakimi, direndahkan, dan yang paling menyakitkan, ia merasa sendirian di tengah situasi itu.

Makan malam yang seharusnya menjadi momen kebersamaan berubah menjadi malam penuh tekanan. Livia menyadari bahwa ini bukan hanya tentang pesta pernikahan atau keturunan, melainkan tentang bagaimana ia tidak memiliki suara dalam hubungan yang seharusnya setara. Dalam diam, ia bertanya-tanya apakah ia bisa menjalani hidup yang dikendalikan oleh orang lain, bahkan setelah ia menikah?

Di tengah ketegangan makan malam itu, suara berat Pak Johan, ayah Rama, akhirnya terdengar memecah keheningan. Pria paruh baya itu meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap istrinya dengan ekspresi tenang namun tegas.

"Ma, papa rasa mama sudah terlalu jauh mencampuri urusan pernikahan mereka," ujarnya dengan nada yang sarat akan ketegasan.

"Ini acara Rama dan Livia. Biarkan mereka yang memutuskan. Kita seharusnya menghormati keinginan calon menantu kita."

Livia, yang sejak tadi merasa terkucilkan, melirik Pak Johan dengan rasa lega. Setidaknya, ada seseorang yang berani angkat suara untuk membelanya, bahkan di hadapan dominasi Ibu Lina. Namun, harapan itu hanya sesaat.

Ibu Lina mendengus kecil, menatap suaminya dengan tajam.

"Papa gak ngerti! Pernikahan ini bukan hanya tentang mereka berdua, ini juga soal keluarga kita dan tradisi kita. Livia akan menjadi bagian dari keluarga ini, jadi dia harus tahu betapa pentingnya menjaga adat istiadat dan tradisi yang selam ini di pegang teguh oleh keluarga Aditya. Lagi pula, mama cuma pengen yang terbaik untuk mereka."

"Tapi apa mama tidak berpikir tentang perasaannya?" balas Pak Johan, masih dengan nada tenang.

"Livia adalah calon istri anak kita. Dia yang akan mengenakan gaun penganting itu, dia yang akan duduk di pelaminan dan menjalani kehidupan barunya. Bukankah seharusnya kita mendukung apa yang membuatnya bahagia?"

Namun, Ibu Lina tetap pada pendiriannya.

"Mama tidak melarang mereka bahagia, Pa. Justru mama pengen semuanya sempurna. Livia masih muda, dia gak tau apa yang terbaik. Mama cuma memastikan semuanya berjalan dengan baik dan lancar. Bagaimanapun juga, ini juga acara kita loh, Pa. Bukan cuma Livia dan Rama. Kita juga berperan penting dalam acara pernikahan ini."

Livia menundukkan kepala, menggenggam ujung taplak meja untuk menyembunyikan emosinya. Kata-kata Pak Johan memberikan sedikit penghiburan, tetapi melihat bagaimana Ibu Lina tetap bersikeras membuat hatinya kembali terasa sesak. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya, seberapa lama ia bisa bertahan menghadapi wanita ini?

Malam itu, Livia menyadari bahwa meskipun ada orang yang membelanya, keputusan akhir tetap berada di tangan Ibu Lina. Dan yang lebih menyakitkan, Rama, pria yang seharusnya menjadi pendukung utamanya tidak melakukan apa pun untuk memperjuangkannya.

Di tengah ketegangan yang memuncak antara Pak Johan dan Ibu Lina, Rama akhirnya memberanikan diri untuk angkat bicara. Dengan nada santai, ia mencoba mencairkan suasana.

"Masakan Mama malam ini luar biasa, seperti biasa. Mama memang jago masak," katanya sambil tersenyum lebar, berusaha mengalihkan perhatian semua orang.

Dari bawah meja, Rama meraih tangan Livia yang terkulai di pangkuannya. Ia menggenggamnya erat, seolah ingin menyampaikan bahwa ia memahami kekesalan gadis itu meski tidak mampu menentang ibunya secara langsung. Livia menoleh sekilas, namun tatapannya tetap datar. Ia tidak tahu apakah Rama mencoba mendukungnya atau hanya menghindari konflik lebih jauh.

Ketegangan pun perlahan mereda, dan suasana makan malam kembali tenang. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Ibu Lina kembali berbicara, kali ini dengan nada lebih lembut, tetapi tetap terdengar penuh kendali.

"Livia, setelah menikah nanti, Mama ingin kamu tetap bekerja," ucapnya sambil tersenyum kecil.

"Posisimu sebagai manajer di perusahaan besar itu sangat membanggakan, sayang kalau harus berhenti. Kamu tidak perlu khawatir soal anak, nanti kalau kamu hamil dan melahirkan, Mama yang akan mengurus semuanya. Kamu cuma perlu fokus pada pekerjaanmu."

Livia menatap Ibu Lina dengan pandangan kosong, mencoba mencerna ucapan wanita itu. Di satu sisi, ia menghargai bahwa Ibu Lina tidak memaksanya untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Namun, di sisi lain, ucapan itu kembali mengingatkan Livia bahwa ia tidak punya kendali atas hidupnya sendiri. Bahkan soal anak, sebuah keputusan yang seharusnya sangat pribadi sudah diatur oleh ibu Rama.

"Kamu cuma perlu memberinya susu formula yang bagus, Livia," lanjut Ibu Lina dengan nada penuh keyakinan.

"Anak-anak sekarang gak harus menyusu ASI. Ada banyak pilihan susu mahal yang bisa mendukung tumbuh kembangnya. Jadi, kamu gak perlu khawatir akan terganggu saat bekerja."

Livia tersenyum kecil, bukan karena setuju, melainkan karena merasa lelah. Ia mencoba menahan dirinya agar tidak terpancing. Di balik genggaman tangan Rama, ia merasakan perasaan yang campur aduk—kecewa, marah, dan putus asa. Bagaimana mungkin ia bisa membangun rumah tangga dengan kebebasan yang hampir tidak ada?

Mendengar ucapan ibunya yang makin menjadi-jadi, untuk pertama kalinya malam itu, Rama akhirnya memutuskan untuk angkat bicara dan mencoba menghentikan dominasi ibunya.

Dengan nada yang lembut namun tegas, ia berkata,

"Mama, aku rasa Mama terlalu jauh membicarakan soal anak. Aku sama Livia pengen menikmati waktu bersama dulu setelah menikah. Kami pengen fokus membangun hubungan yang kuat sebelum memikirkan soal keturunan. Lagian, jadi orang tua juga butuh kesiapan, Ma."

Ibu Lina terdiam sejenak, namun alih-alih setuju, ia malah mendesah dan melanjutkan.

"Rama, kamu itu anak tunggal. Mama gak pengen menunggu terlalu lama. Mama sudah tua. Kalau bisa, setelah menikah langsung ikut program kehamilan, jangan di tunda-tunda nanti malah susah punya anak. Bahkan, Mama rasa lebih baik kalo pernikahan kalian dilakukan saat masa subur Livia. Livia tanggal berapa masa periode kamu?"

Mendengar itu, wajah Livia berubah merah, menahan rasa malu dan marah yang bercampur menjadi satu. Ia merasa seolah dirinya adalah alat untuk menghasilkan cucu bagi keluarga Rama. Namun Rama tidak berhenti di sana.

"Mama! Mama apa-apaan sih sampai segitunya? Kasian Livia, Ma." lanjutnya dengan nada lebih serius.

"Dan satu lagi, aku tau Mama pengen yang terbaik, tapi semahal apa pun susu formula yang Mama sarankan, itu gak bisa menggantikan ASI. ASI bukan cuma soal nutrisi, tapi juga ikatan batin antara ibu dan anak. Biarin kami membuat keputusan yang terbaik untuk keluarga kami sendiri."

Namun, Ibu Lina tetap keras kepala.

"Ikatan itu bisa didapat dari banyak hal, Rama. Jangan terlalu keras kepala soal hal-hal seperti itu apalagi kalian masih belum paham. Yang penting adalah masa depan anak kalian nanti terjamin. Bayangkan saja, dia akan memiliki ayah dan ibu yang hebat dengan karir masing-masing, bukankah itu sangat membanggakan untuk anak kalian kelak? Dan Mama rasa, Livia mendukung keputusan ini karena ini yang terbaik untuk kalian."

Livia merasakan puncak kekesalannya. Ingin sekali ia menentang dan beradu argumen dengan calon mertuanya tersebut namun ia terpaksa mengunci rapat mulutnya, Ia takut jika bersuara maka semua akan menjadi tidak terkendali. Livia hanya bisa menghindari tatapan siapa pun di meja itu, takut emosinya akan meledak jika ia bicara. Sebelum Livia atau Rama sempat menanggapi, suara berat Pak Johan kembali menggema, kali ini dengan nada kesal yang tak lagi bisa disembunyikan.

"Kalau begitu, suruh saja Rama menghamili Livia sekarang juga, biar sesuai dengan rencanamu!" ucapnya tajam.

Semua orang terdiam. Ibu Lina yang sedang meminum air langsung tersedak, batuk keras hingga wajahnya memerah.

"Papa ngomong apa sih?!" serunya dengan nada tinggi, meskipun jelas ia terkejut mendengar ucapan suaminya yang begitu frontal.

Sedangkan Rama dan Livia hanya duduk diam, terlalu syok untuk merespons. Mereka memandang Pak Johan, yang kini terlihat lelah dengan semua argumen dan kontrol sepihak istrinya. Tatapan pria itu tajam, tetapi ada guratan frustrasi yang jelas terlihat.

"Apa Mama pikir semuanya bisa Mama atur? Ini hidup mereka, Ma. Bukan hidup Mama. Apa Livia mesin pencetak keturunan di mata Mama? Mama biacara ini dan itu, bahkan sesuatu yang bersifat pribadi tentang diri Livia. Apa mama tidak merasakan perasaannya sesama wanita? Apa dulu mama diperlakukan seperti ini saat papa membawa masuk ke keluarga ini? Livia punya harga diri, Ma. Jangan mempermalukannya dengan cara seperti ini. Anak kita akan menikah, akan membangun rumah tangganya sendiri biarkan mereka sama-sama belajar. Secepatnya memiliki anak atau di tunda, itu juga keputusan mereka, hak mereka. Kita gak berhak untuk ikut campur. Kita sebagai orang tua cukup mendampingi proses mereka." lanjut Pak Johan, kini dengan suara yang sedikit lebih pelan namun tetap tajam.

"Kalau Mama terus seperti ini, jangan salahkan mereka kalau suatu hari mereka memilih untuk menjauh."

Ibu Lina hanya terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. Sementara itu, Livia merasa sedikit lega, meskipun rasa malunya belum juga mereda. Ia tahu Pak Johan membelanya, tetapi ucapan itu terasa terlalu tajam hingga meninggalkan suasana yang tidak nyaman. Dalam hati, Livia bertanya-tanya, apakah hubungan ini layak untuk diperjuangkan, atau lebih baik dihentikan sebelum semuanya semakin kacau?

Setelah menumpahkan semua isi hatinya, Pak Johan berdiri dari kursinya dengan ekspresi yang sulit dibaca, namun jelas menyiratkan rasa lelah atas situasi yang baru saja terjadi. Ia menatap Livia dengan penuh empati.

"Livia, maaf untuk makan malam kali ini. Bukannya Papa mengusir kamu, tapi mungkin lebih baik untuk sekarang kamu pulang dulu, Nak," ucapnya lembut. Suaranya terdengar tulus, jauh dari nada menghakimi.

"Papa tahu, kamu pasti merasa tidak nyaman dengan semua ini. Sekali lagi, Papa minta maaf atas nama keluarga."

Livia menatap Pak Johan, hatinya diliputi rasa campur aduk. Ada kelegaan karena pria itu memahaminya, tetapi juga ada rasa bersalah karena merasa seperti beban bagi keluarga Rama.

"Rama," lanjut Pak Johan, kini menoleh ke putranya, "antar Livia pulang dengan selamat. Livia, sampaikan salam Papa untuk kedua orang tuamu, ya. Papa rasa Papa sudah cukup untuk malam ini. Maaf, Papa pamit duluan."

Tanpa menunggu respons semua orang, Pak Johan melangkah meninggalkan meja makan, meninggalkan suasana yang semakin canggung. Ibu Lina hanya diam, tetapi tatapan tajamnya yang terarah ke Livia dan Rama berbicara lebih dari seribu kata.

Rama menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum berdiri.

"Ma, aku antar Livia pulang dulu," ucapnya pelan, mencoba bersikap sopan meski situasinya terasa begitu tegang.

Livia, yang merasa dirinya menjadi sumber ketidaknyamanan malam itu, ikut berdiri dengan hati-hati. "Maafin Livi, Ma. Makan malam ini jadi tidak menyenangkan karena Livi. Terima kasih untuk makanannya yang sangat enak," katanya sopan sambil sedikit membungkuk.

Ibu Lina tidak menjawab, hanya memberikan anggukan kecil yang sulit diartikan. Livia merasa semakin kecil di hadapan wanita itu.

Setelah berpamitan, Rama berjalan di samping Livia menuju mobil. Sepanjang perjalanan keluar, Livia hanya menunduk, bingung dengan suasana yang sangat canggung. Di dalam hatinya, ia merasa tidak pantas menjadi saksi dari perdebatan internal keluarga tersebut.

Saat masuk ke dalam mobil, Livia tidak bisa menahan diri untuk berpikir jika seperti ini terus, bagaimana ia bisa bertahan menjalani kehidupan bersama Rama? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ini?