"S-siapa kau sebenarnya?!"
Aku melangkahkan kakiku untuk mundur perlahan. Apa dia adalah orang jahat atau semacamnya? Valerio selama ini terasa sangat janggal. Apa akhirnya dia akan terungkap?
"Oh? Kamu penasaran aku siapa? Aku dukun."
Jawabnya dengan sangat santai. Dia berjalan mendekati ku. Wajah kami hampir bersentuhan. Nafasnya terhela menyentuh ujung hidungku. Dia mencengkram leher ku, dengan cengkraman yang tak terlalu kuat.
"Maaf ya, kamu belum saatnya mengetahui ini."
Sejauh mata pandang yang aku lihat. Semua mulai menggelap. Hal terakhir yang bisa ku lihat sebelum hilangnya kesadaran hanya seringai Valerio yang terasa misterius.
Pandangan yang gelap itu mulai memudar. Cahaya mulai masuk saat kelopak mataku membuka. Aku melihat sekelilingku saat melihat tanggal yang tertempel pada dinding biru kamarku. 30 April.
Aku mulai bangun dari kamar ku. Aku tidak mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Apa itu semua hanyalah mimpi? Mimpi yang sangat aneh.
Aku melangkahkan diriku keluar, tak ada satupun makanan yang tersaji di dapur.
"Hei, Valerio. Kamu tidak memasak?"
Hening. Tak ada satupun jawaban. Aku mulai berpikir pada diriku sendiri. Kenapa aku menyebut nama Valerio? Siapa Valerio?
Aku tak terlalu memikirkannya. Aku hanya memasak makanan seperti biasa lalu bersiap ke sekolah.
Hari yang menenangkan. Pagi yang indah untuk berangkat ke sekolah. Aku memakai sepatuku dan berjalan ke sekolah seperti biasa. Tak ada hal aneh yang terjadi.
Namun, entah kenapa. Semua yang aku alami seperti dejavu. Aku seperti sudah melakukannya sebelumnya. Pagi yang cerah dengan kicauan burung. Pagi hari di gerbang melihat anak yang di hukum karna tidak selaras. Rasanya seperti tidak kaget lagi. Tapi, jika aku memang sudah melakukannya sebelumnya, mengapa ingatanku terasa kabur?
Hanya sebagian kecil memori yang teringat. Ah, mungkin saja ini hanya kebetulan. Aku berjalan santai.
Hari itu. Adalah hari dimana aku melihat Seila berpacaran dengan Leo. Namun, sudah tak asing lagi. Seperti aku sudah melalui semuanya.
Hari ini benar-benar aneh, aku melakukan dejavu berulang kali. Lagi, lagi, dan lagi.
Sampai akhirnya, aku pergi ke atas balkon. Seperti biasa. Mengambil rokok terakhirku dan menyalakannya. Sebenarnya merokok di larang di sekolah. Namun, asal tak ada yang tau ku rasa akan baik-baik saja.
[ Huhh .... ]
Asap rokok itu mulai keluar dari mulutku. Perlahan, rokok terakhirku mulai habis. Aku pergi meninggalkan balkon, menuruni anak tangga. Aku berjalan selangkah demi selangkah. Tap... Tap... Tap... Suara langkahku.
Tak ada orang sama sekali. Semua orang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun, aku melihat satu orang. Orang itu tampak tak asing. Aku merasakan Dejavu sekali lagi.
"Valerio...?"
Kenapa aku terucap kata itu? Mulut ku bergerak sendiri.
" ..... "
Dia terdiam. Tampak sangat terkejut dengan matanya tajam mengarah padaku.
Dengan langkah nya yang berat, doa melangkahkan kakinya. Semakin lama semakin mendekat padaku.
Dia memojokkan tubuh ku ke dinding dan membuat ku tak bisa bergerak. Tangannya mendekap kerah abu putih ku.
"B-bagaimana bisa kau masih mengingat namaku?!?!"
Aku hanya diam saat dia terus menatap ku tajam menghentakkan dahinya padaku dengan kuat.
Dia terus menatap ku dengan tajam, saat akhirnya dia melepaskan ku dan menghela nafas.
"Oke, maafkan aku. Aku akan mengembalikan memory mu."
Tiba-tiba saja, aku tak sadarkan diri lagi. Semuanya terasa gelap. Apa ini semua hanya mimpi? Atau sekedar ilusi?
Pagi mulai tiba, dengan matahari yang memberikan cahya nya melewati jendela kamarku.
Lagi dan lagi aku terbangun. Tubuh ku sangat sakit. Aku terbangun di kamarku dengan Valerio yang terbaring di lantai. Sepertinya karna terlalu sempit aku tanpa sengaja menjatuhkan ke lantai.
"Ah, mimpi yang aneh.. jam berapa sekarang ...?"
Aku melirik pada jam dinding, terpaku di tembok depan kasur ku.
"WHAT?! Pukul 7:30 ?!?!"
Aku segera menggoyangkan tubuh Valerio dengan keras. Berharap nya segera bangun dari tidur nya.
"Woi kebo! Bangun lu!"
Aku menampar wajahnya dengan keras. Ia terbangun dengan pipinya yang merah.
Valerio: "apa woy? Heboh banget masih pagi."
Jonathan: "lu aja yang dari tadi ga bisa bangun. Noh, liat tu jam berapa."
Jonathan: "kita dah telat ege."
Valerio menguap sembari menggaruk kepalanya. Dia seperti biasa tampak sangat santai.
Valerio: "kocak ya lu? Ini hari kan hari libur.
Aku berbalik untuk melihat kalender di atas meja dekat kasur ku. Tanggal 2 April, hari libur.
Aku tertawa canggung dengan malu.
***
Setelah permasalahan di pagi hari yang cerah ini akhirnya berlalu. Aku memasakkan makanan untuk Valerio. Aku sudah trauma untuk memakan masakannya yang mengerikan itu.
Aku tertawa kecil
Jonathan: "Valerio. Bisa kau jujur padaku?"
Jonathan: "kamu, seorang penjelajah waktu, kan?"
Aku berbicara dengan tenang. Hening. Tak ada balasan apapun. Yang terdengar hanyalah suara telur yang memanas di atas wajan.
Valerio mulai membuka suaranya, terdengar pelan. Namun jelas.
Valerio: "iya, aku adalah penjelajah waktu."
Aku terdiam selama beberapa saat. Telur itu mulai matang. Aku menyajikannya di atas meja berhadapan dengan Valerio saat itu.
Jonathan: "apa tujuanmu kemari?"
Valerio mendengus kecil mengalihkan pandangannya.
Valerio: "untuk apa? Tentu saja melihat mu, ayah ...."
Aku tersedak oleh makanan buatan ku sendiri. Rasanya sangat aneh dan saat seseorang memanggil ku dengan sebutan ayah di usia ku yang masih 17 tahun.
Valerio: "apa aku boleh tinggal disini untuk sementara waktu ...?"
Mata Valerio berbinar, memohon bagaikan anak kucing yang imut.
Aku menghela nafas, menggaruk rambut ku perlahan.
"Baiklah, tapi memangnya kau tidak rindu orang tua ku di masa depan?"
Valerio terdiam. Sepertinya, aku membuatnya sedikit tersinggung.
"Sayangnya aku belum mau pulang~"
"Mengapa?"
"Karna aku bosan."
Lagi dan lagi, aku menghela nafas. Valerio terlihat sangat polos bagaikan anak kecil.
***
Sejak hari itu, Valerio terus bersama ku. Menjalani hari bagaikan roda yang di putar.
Susah dan senang yang di lalui bersama.
Sudah 3 bulan sejak Valerio tinggal di kos an ku. Sudah 3 bulan pula, aku mulai dekat dengan seila.
Kami mulai sering mengobrol dan makan di kantin berdua. Terkadang, ada moment di mana mata kami saling bertemu. Bertatapan dengan rona yang mulai terlukis di wajah masing-masing.
Namun, tidak semua kebahagian kita bisa di rasakan oleh orang lain.
setiap aku berduaan dengan seila, aku merasa bahwa ada seseorang yang melihat dari kejauhan. Tampak seperti tidak senang menatap ku mulai dekat dengan seila.
Bahkan Valerio juga menyadari nya.
Bahkan, tidak hanya di sekolah. Tetapi juga di kos. Setiap aku pulang, aku selalu merasakan bau makanan yang harum.
Di dapur, aku selalu melihat Makanan tergeletak di meja makan, sebuah mie goreng yang di campur dengan nasi goreng. saat aku mencicipinya makanannya tampak sangat lezat.
Namun, aku mulai teringat. Bahwa Valerio tidak pernah bisa memasak mie. Bahkan Valerio tidak pernah tau cara memasak nasi goreng.