Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

99 Ways to save your Brother

sh4nnelay
--
chs / week
--
NOT RATINGS
182
Views
Synopsis
bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwasanya tim penyelidik kepolisian menyembunyikan kebenaran terkait kematian orang tuamu selama bertahun-tahun? kakak laki-laki yang merelakan cita-citanya untuk menyelidiki kasus orang tuamu pun lenyap, satu persatu keluargamu meninggal termakan oleh usia. hanya dirimulah serta paman dan bibimu yang bertugas di luar negeri. Berusaha sukses dengan mejadi seorang tentara seperti yang diidam-idamkan oleh mendian orang tuamu ternyata menguak sebuah misteri. Bahwasannya kematian kedua orang tuamu dan juga misteri hilangnya kakakmu ternyata ada hubungannya dengan dunia lain yang berada di jurang Ling Yige. Misteri tentang kematian orang tuamu telah terkuak, sekarang cobalah untuk mendapatkan kembali kakak laki-lakimu itu!

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - The Beginning

suara sirine dan tapak kaki mulai membanjiri kepala seorang remaja, dengan mata sayunya yang memiliki lingkar mata yang tipis, dirinya mulai memberanikan untuk membuka keduanya. Sepasang bola mata yang sebiru langit cerah mulai terlihat, bola mata itu terlihat mondar-mandir beberapa kali mengikuti beberapa orang yang lewat didepan mobilnya. dengan hati yang gelisah dirinya mulai meneteskan air matanya dari bulu matanya yang lentik. 

hatinya sesak sekaligus sakit melihat kedua orang tuanya meninggal di depan matanya persis. dengan penuh kasih sayang, dirinya mulai memeluk seorang anak laki-laki yang lebih mungil darinya dengan penuh keterisakan. kepalanya bersandar tepat pada bahu seorang anak laki-laki yang dipeluknya. "maaf, maaf…" ia melanjutkan tangisnya.

 dalam ingatannya, samar-samar ia dapat melihat sesosok wanita- bukan, dirinya bahkan terlalu menyeramkan untuk disebut sebagai wanita. baju merah yang kotor, kulit putih yang sepucat orang mati, kedua kaki yang lumpuh sehingga mengharuskan dirinya untuk berjalan dengan perut dan juga bantuan dari tangannya. rambutnya yang panjang nan hitam lebam menjuntai hingga aspal, wajahnya yang tersembunyi di dalam rambutnya sekilas tersinari oleh mobil yang sebelumnya ditumpanginya.

Dia menggelengkan kepalanya agar kejadian yang baru dialaminya hanyut, namun lagi-lagi ketika ia melihat wajah adiknya yang masih berusia 5 tahun. dirinya kembali memikirkan hal itu lagi, dengan usapan yang lembut dirinya mengusap jidat adiknya yang tergores dan berdarah. semua orang kala itu masih tidak mempedulikan luka ringan mereka karena sibuk mengevakuasi mayat jenderal bintang 3 juga istrinya. 

pandangannya kemudian teralihkan dengan dua orang perawat yang mengangkat tandu putih dengan ditutupi sehelai kain cerah. Wang Yun, yang berada di bagian depan mobil ambulan itupun serontak memelototi sesuatu yang dibawa oleh kedua perawat tersebut dengan tandu. walaupun kedua perawat tersebut berjalan dengan cepat, namun Wang Yun dapat menebak dengan jelas apa yang sebenarnya dibawa oleh mereka.

Sekilas, dia melihat sebuah gumpalan yang ditutupi dengan kain berwarna cerah. pada awalnya Wang Yun tidak dapat menebak apa dibalik tirai itu, namun dengan cepat warna merah darah menembus keluar hingga hampir mengenai seluruh bagian dari kain yang menutupi itu. dan sebuah potongan tangan yang utuh dari siku sampai jari terjatuh dari atas tandu putih itu. Dari jari manis tangan tersebut muncul secercah cahaya yang menyilaukan matanya, dia mengedip-ngedipkan matanya sebelum akhirnya sadar bahwa satu-satunya benda kecil yang muat di jari manis dan menimbulkan efek silau pada matanya adalah cincin pernikahan ibunya!

Pemandangan beralih pada sebuah foto yang dipajang disebuah ruang keluarga, foto tersebut menampilkan satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan dua anak laki-laki. Sang ayah yang menenakan seragam tentara dengan bintang sebanyak tiga butir ditampilkan di bawah bahunya, sang kepala keluarga terlihat sangat gagah dan pemberani ketika dirinya disandingkan bersama sang istri yang tengah duduk disebuah kursi formal. dirinya menggulung rambutnya hingga memperlihatkan lehernya yang kecil, pakaiannya pun sangat formal dan rapi, cocok dengan wajahnya yang cantik jelita. Dia menggendong sebuah bayi yang berambut hitam seperti mereka berdua dengan selendang putih yang menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah. Disampingnya terdapat seorang anak kecil yang mungkin masih berumur belasan tahun pada saat itu, anak kecil yang manis itu meniru gerakan ayahnya yang bak tentara. sorot matanya yang seperti gugup saat itu membuatnya tampak makin cocok dengan pakaian serba formalnya.

foto tersebut dilapisi oleh sebuah kaca bening, dan diletakkan tepat ditengah-tengah ruangan. namun tiba-tiba saja kaca yang melapisi foto tersebut pecah tetapi tidak seluruhnya, melainkan pada bagian wajah ibu dan ayahnya saja. serontak foto wajah keduanya pun tiba-tiba ikut menjadi pecahan kaca yang tercecer dimana-mana, setiap serpihannya menampilkan bagian wajah dari keduanya. Sehingga dalam foto tersebut hanya tersisa kedua anaknya saja, yaitu Wang yun sang kakak, dan Wang Shao sang adik.

wang yun tersadar bahwa itu hanyalah khayalannya saja, mungkin karena terlarut dalam kesedihan yang mendalam dirinya menjadi seperti ini. Bola matanya lagi-lagi membesar, warna matanya yang awalnya secerah langit berubah menjadi sedalam laut. kesedihan membesar menampar dirinya, "bagai-bagaimana ini…? ayah dan ibu sudah meninggal, b-bagaimana aku dan xiao shao hidup?" namun, dirinya sadar bahwa dirinya adalah seorang kadet pejuang, yang dilatih langsung oleh ayah dan kakeknya. "seorang tentara sejati tidak boleh menangis!" semangat mulai muncul pada hatinya, namun ia tetap hanya remaja yang berusia enam belas tahun. Mau sedewasa apapun dia, seseorang tak akan tidak menangis apabila menjumpai hal-hal yang ia sayangi meninggalkannya.

 

kini, sorot matanya berubah. matanya yang sedalam laut menjadi sangat berapi-api layaknya akan melakukan sesuatu yang membuatnya bersemangat. Ia merogoh saku kanannya dan menemukan sebuah buku berwarna hitam lebam nan kecil, "mungkin ini bisa membantu polisi untuk menangkap pelaku yang menyebabkan ayahku banting setir!" ia nemenukan buku kecil itu tepat setelah ia keluar dari mobilnya yang sudah remuk dengan menggendong sang adik, buku hitam itu jatuh tepat dimana sang ayah dan wang yun melihat sesosok wanita itu berpijak. berharap buku tersebut bisa menjadi barang bukti yang membuatnya menjadi kasus pembunuhan, bukan kecelakaan.

itu yang dipikir kan oleh wang yun saat di mobil ambulance. nyatanya, semuanya berbanding terbalik dengan saat dirinya dimintai keterangan oleh seorang kepala kepolisian bernama Thao rongjun. "nak, kupikir kau butuh istirahat yang cu-" belum selesai sang kepala kepolisian berbicara, wang yun memotongnya dengan nada yang cukup keras. "Tidak! aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! seorang wanita berbaju me-" thao rongjun menghela nafas, diikuti dengan gelengan kepala dari kedua bawahannya yang berada dibelakangnya. ia kemudian menaruh kertas yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang harus ditanyakan kepada anak didepannya di meja depannya. "kupikir memang harus diakhiri disini." katanya dengan wajah yang sudah hampir gila. 

"tidak! tunggu!" melas wang yun, dirinya tak henti-hentinya mengatakan kesaksiannya terkait kecelakaan tadi malam. thao rongjun menoleh dengan tatapan yang dingin seakan-akan tidak peduli dengan anak yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya. "apa lagi yang ingin kau katakan?"

wang yun dengan panik merogoh sakunya dan mengeluarkan buku hitam kecil untuk diberikan kepada kepala penyelidikan kali ini, mata rongjun sedikit melebar ketika ia melihat buku hitam itu berada di tangan remaja didepannya. tanpa ia sadari, tangannya tiba-tiba mengulur kepada wang yun, mengisyaratkan untuk memberikan buku hitam itu padanya. "b-buku ini..." ia bergumam, dengan cepat ia menarik tangannya kembali, tidak ingin rasa antusias menguasai dirinya. "e-ekhem.." ia menegaskan kembali dan menyembunyikan tangannya yang tadi dia ulurkan.

"e-eh? bukankah tadi pak rongjun ingin mengambil buku ini yah?" ia terbingung, langkahnya pun menjadi terhenti. "laokun, ambil buku itu dan taruh dimejaku nanti." rongjun berkata kemudian berjalan menjauh dari ruang interogasi. bawahannya kemudian mengangguk, "baik." ia mengambil buku hitam dari genggaman wang yun. 

seorang perawat pria yang kala itu berada di luar ruangan interogasi pun melihat tindakan kasar dari bawahan sang inspektur polisi berpangkat tinggi itu, ia mengerutkan dahinya. "bukankah itu sedikit tidak sopan? kalau dilihat-lihat pangkatnya sama tinggi dengan ayah bocah ini..." sang perawat bergumam, "apa mungkin saja… pak rongjun memiliki keterlibatan terhadap kasus ini?"

 

***

seorang pria dewasa duduk diatas tepian sebuah meja kerja, dirinya mengisap putung rokok sembari melihat ke arah pintu yang tertutup. seakan-akan dirinya menunggu sesuatu. dirinya kemudian melihat kearah belakangnya, dimana cahaya matahari yang masuk dari jendela besar menyinari punggungnya yang gagah. merasa terganggu, dirinya akhirnya beranjak dari duduknya dan menarik tirai agar cahaya matahari tak masuk. baru saja dirinya selesai menarik tirai, suara ketukan pintu pun terdengar.

"akhirnya, yang sekian lama kutunggu." seringai mulai menghiasi wajahnya. "masuklah."

gagang pintu mulai diputar, dan akhirnya pintu yang terbuat dari kayu mahal itu terbuka. "tuan, tim kami sudah menginvestigasi buku hitam kecil ini dan tidak ditemukan apa-apa. kami hanya menemukan fakta bahwa buku ini berusia lebih dari seabad." dengan menyerahkan buku hitam itu pada rongjun.

rongjun menyelesaikan rokoknya terlebih dahulu, lalu dengan wajah yang penuh antusias dirinya mengambil buku itu dari bawahannya. "begitu, biarkan aku menginvestigasinya sendiri." lagi-lagi, senyum yang tidak mengenakkan kembali menghiasi wajahnya. "keluarlah, aku tak ingin diganggu." ia berkata sambil mematikan rokoknya.

"baiklah, kalau begitu saya permisi dahulu." ucapnya sambil membungkukkan badannya, "ada apa dengan pak kepala hari ini? tak biasanya ia begitu antusias." pikirnya sambil keluar dari ruangan pribadi atasannya.

begitu melihat bawahannya telah keluar, rongjun dengan santai duduk di kursi mahalnya dan membuka buku tersebut perlahan demi perlahan. halaman pertama buku hitam itu kosong, lantas sang kepala kepolisian itu menyeringai. "bagus-bagus, belum disentuh." dia berpikir sambil membelai halaman yang kosong, begitu telah mengetahui halaman pertama kosong, dia langsung melompat menuju halaman terakhir. 

alangkah terkejutnya dia ketika melihat ada bercak darah yang menunjukkan sidik jari milik seseorang terlihat pada pojok bawah halaman, "SIAL!" dia menggunjing, kedua bawahannya yang berjaga di depan pintu masuk ruangan milik kepala kepolisian pun saling memandang satu sama lain, 'ada apa dengan pak kepala hari ini?" 

"siapa yang tahu? setelah tuan laokun keluar, aku samar-samar dapat melihat pak kepala tersenyum riang" balas penjaga kedua. "mungkin saja pak kepala puber." keduanya tertawa keras setelah sang penjaga pertama berkata demikian.

pemandangan beralih ke ruangan pribadi rongjun, sang kepala kepolisian. terlihat rongjun sedang berjalan mondar-mandir didepan meja kerjanya. "apa mungkin dia diberitahu oleh seseorang?" 

 "mungkin itu hanya kebetulan" dia masih memikirkan beberapa alasan.

 

***

"kira-kira... siapa kalajengking itu ya?" dia berkata pada dirinya sendiri, menyandarkan kepalanya pada tepi jendela sembari melihat taman keluarganya dari lantai atas.

dia kembali mengingat ingatannya ketika berada di mobil ambulance. kala itu dirinya yang sedang memeluk adiknya dengan erat merasa terganggu dengan goresan luka pada pipinya, sehingga dirinya mengusap darah dipipi kanannya menggunakan jempol kirinya. khawatir adiknya terkena darah miliknya, ia akhirnya mengusap darahnya pada halaman buku hitam yang putih melompong. awalnya ia merasa tak ada yang aneh dengan buku hitam yang diletakkan dibawah kaca mobil, namun lama kelamaan muncul sebuah asap hitam yang mengelilinya.

"...kontraktor baru" sebuah suara berat menggema ditelinga wang yun.

"s-siapa kau!?" dia berteriak karena ketakutan, "jangan-jangan dia adalah wanita yang t-tadi...!?" kali ini dia mengatakannya dilubuk hatinya.

"tak perlu berteriak, atau seseorang akan menganggapmu gila." kata-katanya singkat, namun cukup bijak.

wang yun menelan ludah, dia dengan cepat menyadari situasinya. "s-siapa kau sebenarnya?" suaranya kini menjadi sangat kecil.

 

sosok berasap itu kemudian berhenti tepat didepannya, lalu setiap asapnya menggumpal hingga terbentuklah sebuah tubuh seperti kalajengking hitam yang hanya seukuran tangan orang dewasa. ketakutan wang yun secara bertahap berangsur berkurang, dia malah merapatkan pelukannya kepada adiknya.

"jangan takut, aku bukanlah seseorang yang telah menyebabkan orang tuamu kecelakaan. bukan juga yang akan menyakitimu." hewan itu berbicara dengan tenang, seakan-akan dua orang anak didepannya bukanlah apa-apa.

kalajengking itu berjalan hingga sampai diatas buku hitam tadi, "ini adalah akibat dari perbuatanmu sendiri, sembarangan mengelap darahmu dibuku yang tidak jelas asal-usulnya."

Wang yun tak dapat berkata apapun, dirinya terpaksa mengelap darah pada buku hitam itu karena nalurinya berkata demikian. seperti seseorang mendorong dirinya agar bertemu dengan kalajengking didepannya. "l-lalu, apa yang harus kulakukan?" dia sedikit gemetar.

"tetaplah hidup, aku akan meninggalkanmu selama beberapa hari untuk memulihkan energiku." tubuhnya kini tercerai berai menjadi asap hitam yang sama seperti sebelumnya. 

"t-tunggu! s-siapa kau sebenarnya! dan apa yang kau inginkan dari dirikuu!" ia berseru, namun sayangnya sang kalajengking sudah menghilang terlebih dahulu.

...

"...karena itulah, aku memberikan buku aneh itu agar bisa diselidiki oleh polisi" dia bergumam sendiri sembari menikmati angin sepoi-sepoi yang melewati dirinya.

"bagaimanapun juga, aku harus memikirkan cara agar bertahan hidup. nenek sudah sakit-sakitan selama 3 tahun, xiao shao masih koma selama dua harian penuh ini. kupikir tamat sekolah adalah pilihan yang baik." dia beradu nasib.

Wang yun kemudian berbalik badan dan berjalan perlahan sembari mengambil mantelnya di sofa depan, tak lupa juga ia menyempatkan dirinya untuk mengambil makanan dan air didapur untuk diberikan kepada neneknya. Dia membuka sebuah pintu kamar, disana terdapat seorang nenek yang terkapar tak berdaya di ranjangnya yang besar.

"nenek, selamat pagi." Senyuman hangat selalu menyetai wajah remaja itu, walau orang tuanya telah meninggal dua hari yang lalu.

Sang nenek yang tidak kuasa untuk duduk sekalipun hanya melambaikan tangan kanannya, mengisyaratkan pada wang yun untuk kemari kepadanya.

"Xiao shao, taruh makanan itu pada meja." Sambil menunjuk kesebuah meja disebelahnya.

"tentu."

"nenek hanya ingin berkata, bahwa kau tidak perlu repot-repot untuk merawatku. Paman dan bibimu sebentar lagi akan datang, jadi… kamu bisa mengunjungi adikmu di rumah sakit."

"T-tapi nenek…" sebenarnya, Wang yun ingin sekali mengunjungi adiknya.

"dari kemarin, nenekmu selalu khawatir pada adikmu yang tak sadarkan diri di rumah sakit. Belum lagi dengan ketidakhadiran seseorang yang ia kenal di sekitarnya. Jadi, nenek ingin kamu segera pergi ke tempat adikmu."

"nenek, aku sudah merencanakan akan menemui adikku setelah menyuapi nenek,"

"tidak usah, nenek bisa makan sendiri" ia mengambil semangkuk makanan dan memakan sesuap demi sesuap.

Wang yun kemudian beranjak dari duduknya, "baiklah jika itu yang nenek mau…" dia menghembuskan nafasnya sebelum berjalan menuju pintu kamar.

"yang penting, nenek harus bisa menjaga diri nenek sendiri selama saya keluar."

Sang nenek mengangguk.

Wang yun tengah sibuk mengendarai mobil milik ayahnya, meski sebenarnya ia masih dibawah umur dan dilarang mengendarai kendaraan bermotor. Ia akhirnya sampai didepan sebuah Gedung berwarna putih, sebuah tanda plus berwarna merah terpampang jelas diatas Gedung itu.

Wang yun kemudian keluar dari kendaraannya, lalu bergegas menuju meja penerimaan tamu.

"selamat pagi, tuan." Seorang perawat yang berjaga menyapanya.

"iya, pagi." Wang yun memberikan identitas sebagai keluarga korban, sebuah selembar kartu setipis kertas.

"kalau begitu, saya terima"

Wang yun segera berjalan menuju lantai dua dimana sang adik dirawat, dia kemudian berhenti didepan sebuah pintu bertuliskan "QH7706" dia menghembuskan nafasnya lalu memutar gagang pintunya hingga terbuka. Disana, ia melihat pemandangan yang tidak asing. Adiknya masih terkapar di ranjang dengan berbagai infus menyertainya, ia kemudian menutup kembali pintu setelah ia masuk. Dengan perlahan-lahan, dirinya duduk disebuah kursi disebelah ranjang adiknya. Tangannya yang sudah kapalan mengelus kepala adiknya dengan lembut, sorot matanya begitu berubah sebelum ia memasuki ruangan itu.

Tak lama kemudian, sang adik perlahan membuka matanya. Merasa bahwa matanya yang merah tertusuk oleh cahaya lampu, dirinya tak segan-segan mengedip-ngedipkan matanya yang mungil agar cahaya tak lagi merasuk pada matanya. Tangannya yang dipenuhi oleh infus itu langsung menutupi cahaya itu agar tidak masuk kematanya.

"xiao shao?" sebuah suara yang tidak asing di telinga wang shao kembali terdengar, satu-satunya pemilik suara berat nan lembut itu tak lain dan tak bukan adalah kakaknya.

"kakak…?" dirinya menyahut dengan lemas.

Serontak dua tangan yang lebih besar dari tubuhnya tiba-tiba melingkar pada perutnya, sang kakak sedang memeluk wang shao dengan erat. "xiao shao… aku lega kamu terbangun"

Sang adik membalas kembali pelukannya.

"kakak, mengapa aku dipasangi infus? Seingatku diriku hanya menerima luka ringan di bagian dahi."

"meski begitu kau kan tidak sadarkan diri selama dua hari." Sang kakak melepas pelukan.

"o-oh, seperti itu… lalu ayah? Ibu? Dimana mereka? Aku hanya ingat kakak menggendongku keluar meninggalkan ayah dan ibu didepan mobil." Dia tak sadarkan diri setelah sang ayah menabrak pembatas jalan, tentu saja ia tidak mengetahui bahwa kedua orang tuanya telah tiada.

Wang shao menggelengkan kepalanya dengan raut wajah yang sedih. "m-maaf mengatakan ini padamu… tapi, ayah dan ibu sudah tiada."

Kalimat terakhirnya membuat sang adik tercengang, air mata yang tak kuasa terbendung akhirnya mengalir deras melewati pipi gemuknya. Sorot matanya kosong, dan mulutnya terbuka lebar-lebar. Sang kakak akhirnya memeluk kembali sang adik, namun kali ini dengan lebih erat.

"maafkan kakak, s-seharusnya kakak bisa menyelamatkannya. I-ini, salahku…" Dia mengelus perlahan kepala adiknya yang tengah sesenggukan.

Sang adik menggelengkan kepala, "tidak kakak, dari awal ini bukan salah kakak…! Yang sebenarnya bersalah adalah wanita berbaju merah itu!"

Apa? Dia juga melihat sosok gadis berbaju merah itu? Kupikir dia terlena dengan lagu yang diputar oleh ibu kala itu…

"k-kamu, melihatnya?" wang yun kebingungan.

Sang adik mengangguk tanpa rasa bersalah. "apapun itu, kakak tidak salah!" wang shao tetap kekeh pada pendiriannya.

Mungkin karena dia di didik di keluarga tantara, maka dari itu ia tidak terlalu tenggelam dalam kesedihan yang mendalam diusianya yang masih tergolong kecil.

Perkiraan wang yun salah, air mata sang adik malah keluar lagi setelah dirinya yang berapi-api menghilang. Ia kemudian memeluk sang kakak lagi dan menangis sepuas yang ia mau.

Yah, dia masih anak kecil…

"shhh… jangan menangis, kata ayah seorang tantara tak boleh terlalu berlarut dalam kesedihan." Dia menenangkan adiknya.

"aku tahu, aku hanya sedih apabila kakak tiba-tiba saja meninggalkanku sendirian secara tiba-tiba seperti ayah dan ibu!" wang shao menjelaskan kekhawatirannya.

Wang yun terkejut, anak ini rupanya mengkhawatirkaku?

Dia tersenyum lebar, "tenang saja, kakak berjanji akan selalu mendampingimu disetiap saat dan berjanji tak akan meninggalkanmu." Sambil menodongkan jari kelingkingnya.

Sang adik menerimanya, ia menerima kelingking kakaknya dengan kelingkingnya.

Bohong, itu semua adalah kebohongan.

Kebohongan kakak untuk menenangkanmu dikala aku sedang menangis hebat.

 

Wang shao kini sudah beranjak dewasa, dirinya mulai menginjak usia 19 tahun pada tahun kemarin. Dia menutupi wajahnya dengan tangannya yang kekar didepan sebuah jendela yang memantulkan cahaya matahari berwarna keemasan, disana ia terduduk disebuah kursi yang memiliki bantalan diatasnya. Air mata mulai keluar dari balik tangannya, sedang tangan yang lain memegang surat yang kemungkinan berasal dari sang kakak.

Dunia lain? Sihir? Ilmu pedang? Apa itu yang kamu inginkan kak? Ataukah karena rasa amarah itulah kamu mulai ingin menghakimi seseorang yang menyebabkan orang tua kita tiada…?

"hahaha…hahaha! Kalau begitu, jangan salahkan aku datang menjemputmu! Kedunia lain yang kau maksud itu…!"