Gema dari yang Jatuh
Angin membawa bau busuk dari kehancuran dan impian yang terlupakan melintasi lanskap yang hancur. Riven Ashford berdiri di atas menara pengawas yang sudah rapuh, siluetnya jelas terlihat di balik cahaya senja yang abadi. Darah mengering di pelatihan kulitnya, bukti dari perburuan terakhir yang baru saja dilakukannya.
Hari lain. Kebangkitan lain.
Jari-jarinya menyentuh bekas luka baru di garis rahangnya - sebuah kenangan dari monster bayangan yang hampir menghabisinya beberapa jam lalu. Namun, luka itu cepat sembuh, hanya meninggalkan garis perak yang tampak berdenyut dengan cahaya yang tak wajar.
Bait terakhir dari Umbral Covenant berdiri di belakangnya, sebuah benteng dari batu hitam dan logam berkarat. Di dalamnya, para pemburu yang tersisa bersiap untuk apa yang mungkin menjadi pertahanan terakhir umat manusia melawan kegelapan yang semakin mendekat.
"Mereka datang," suara serak terdengar dari belakang. Elder Mara, sang peramal buta dari Covenant, mendekat dengan tongkat tulang yang berbunyi saat menyentuh lantai batu. "Perhimpunan itu sudah dekat."
Riven tak berbalik. Ia sudah tahu apa yang akan datang. Ia selalu tahu.
"Berapa banyak?" tanyanya, suaranya datar dan tanpa emosi.
"Cukup untuk menghancurkan apa yang masih tersisa dari dunia ini."
Horizon terbakar dengan cahaya kuning yang memuakkan, senja yang tak pernah benar-benar pudar. Tangan Riven secara otomatis meraih gagang pedang runik miliknya - senjata yang dibentuk dari sisa pedang dewa yang jatuh, dengan bilah yang masih bergetar dengan energi ilahi yang terlupakan.
Mata buta Elder Mara sepertinya dapat melihat lebih dari sekadar dunia fisik. "Perhimpunan bayangan akan dimulai di Broken Spire," bisiknya. Tangan rapuhnya memegang sebuah peta yang tampak terbuat dari kulit manusia, dengan tepi yang sudah rapuh dan tanda-tanda simbol yang tak dapat dimengerti.
"Berapa banyak pemburu yang tersisa?" tanya Riven, suaranya seperti belati yang siap menembus.
"Tujuh belas," jawab Mara. "Tujuh belas melawan ribuan."
Tawa pahit keluar dari mulut Riven - lebih kepada suara bertahan hidup daripada humor. Setiap kebangkitan telah mengikis lapisan terakhir dari kerentanannya sebagai manusia. Empat puluh tiga kali mati. Setiap kali meninggalkan sesuatu yang berharga, sesuatu yang fundamental dari dirinya.
Tato-tato di lehernya - pola rumit yang berupa bekas luka perak - mulai berdenyut. Sebuah peringatan. Sesuatu mendekat.
"Mereka sudah datang," gumamnya.
Dari kegelapan antara reruntuhan, bentuk-bentuk mulai muncul. Tidak manusiawi. Tidak lagi. Makhluk-makhluk dari bayangan dan tulang, tubuh mereka terus berubah-ubah, menyatu dan terpisah. Gelombang pertama dari Dark Collective.
Riven mencabut pedangnya. Runes di permukaannya hidup, memancarkan cahaya biru yang menyinari kegelapan yang mendekat.
"Datanglah," bisiknya pada mimpi buruk yang mendekat. "Mari kita menari."
Pertempuran Dimulai
Makhluk bayangan pertama melompat - massa kelam yang berbentuk seperti manusia setengah jadi, tubuhnya terus bergeser antara nyata dan etereal. Tendril yang tajam meledak dari tubuhnya, setiap cabang menjadi senjata itu sendiri.
Riven bergerak dengan presisi yang lahir dari puluhan kali mati.
Kemampuan regenerasinya lebih dari sekadar penyembuhan. Itu adalah rekonstruksi diri yang lengkap, kelahiran kembali yang datang dengan harga yang mengerikan. Setiap kebangkitan menghapus sebagian kenangan, emosi, meninggalkan hanya esensi murni untuk bertahan hidup.
Saat tendril pertama menembus bahunya, bukannya berdarah, lukanya langsung mulai mengkristal. Fragmen perak terbentuk di sekitar cedera, membangun kembali daging dan otot dengan presisi hampir mekanis. Namun, sesuatu hilang setiap kali rekonstruksi itu terjadi - sebuah kenangan, secuil kemanusiaan.
"Kebangkitan ke-43," bisiknya pada dirinya sendiri. "Seberapa banyak lagi yang tersisa dari diriku?"
Medan pertempuran adalah sebuah lanskap mimpi buruk. Broken Spire - sebuah struktur kuno yang dulunya adalah kuil bagi para dewa - kini berdiri sebagai monumen yang bengkok terhadap kehancuran umat manusia. Kolom-kolom batu raksasa, yang terukir dengan rune yang terlupakan, menciptakan sebuah labirin yang menjadi arena di mana bayangan dan cahaya terus memainkan permainan penghancuran.
Dark Collective
Jauh di dalam massa kegelapan yang berkelana, sebuah kesadaran kolektif mulai terbangun. Ini bukan sekadar pasukan, tapi sebuah pikiran bersama yang terbentuk dari kenangan yang dimakan dan harapan yang hancur. Setiap makhluk bayangan adalah fragmen dari sesuatu yang dulu manusia - kenangan yang terkompresi, rasa sakit yang disuling menjadi energi pemusnah murni.
Kami ingat apa yang kami dulu, pikir kolektif itu. Kami lapar akan apa yang telah hilang.
Riven adalah sebuah anomali bagi mereka - sebuah makhluk yang ada di antara hidup dan mati, antara manusia dan sesuatu yang lebih. Sebuah kunci potensial untuk memahami transformasi mereka sendiri.
Dunia yang Jatuh
Dunia - Dunia setelah kejatuhan para dewa - lebih dari sekadar tanah yang gersang. Ia adalah luka hidup, sebuah alam di mana batasan antara kenyataan dan mimpi buruk telah hancur. Kematian para dewa telah mengubah dasar-dasar eksistensi itu sendiri.
Fragmen-fragmen kekuatan ilahi masih ada. Di reruntuhan. Di artefak yang terlupakan. Di makhluk-makhluk seperti Riven.
Umbral Covenant - perlawanan terakhir umat manusia - lebih mengerti hal ini daripada siapa pun. Mereka bukan sekadar pemburu. Mereka adalah penjaga apa yang masih tersisa dari potensi manusia.
Kata-kata terakhir Elder Mara bergema di benak Riven: "Kau lebih dari sekadar senjata. Kau adalah mutasi terakhir umat manusia."
Pertempuran berlanjut. Bayangan melawan cahaya. Kenangan melawan kehampaan.
Kebangkitan lain menanti.
Akan berlanjut...