Padahal saat ini belum juga pukul enam malam, tapi langit pada sore hari ini benar - benar terlihat gelap akibat hujan deras yang menyelimutinya. Di sepanjang trotoar jalan, Azkhia tidak menemukan adanya satu orang pun yang bisa ditanya arah tujuan. Dengan terus berfokus kepada jalanan becek dan licin yang berada di hadapannya, Azkhia terus membawa sepeda motornya dengan sangat berhati - hati. Sembari terus mengamati setiap nomor rumah yang tertera di sebelah pintu depan, agar dia tidak berhenti di alamat yang salah.Beberapa hari sebelumnya, Azkhia sudah membuat janji untuk bertemu dengan seseorang yang bersedia untuk berbagi kisah dengan dirinya. Orang itu bernama Marty Morrow, seorang laki - laki berusia 28 tahun, yang tinggal di daerah perumahan Mi Cielo, di kota Toro Del Norte, tempat dimana Azkhia berkendara di tengah hujan deras saat ini. Kabarnya, Marty Morrow dulunya merupakan salah seorang remaja yang berhasil selamat dari tragedi pembunuhan berantai di Occidental School. Sebuah sekolah kecil yang berlokasi di pinggir Kota Toro Del Norte. Walaupun dia sudah mengumpulkan banyak informasi dan berkas - berkas mengenai tragedi tersebut dari berbagai artikel atau pun meminta kepada pihak kepolisian setempat, Azkhia tetap merasakan adanya sebuah potongan informasi yang hilang. Sehingga dia membulatkan niatnya untuk melakukan wawancara kepada Marty Morrow. Dan betapa senangnya dirinya, ketika laki - laki itu sangat terbuka dengan rencana Azkhia.Setelah berputar - putar tanpa arah beberapa kali, Azkhia akhirnya berhasil menemukan alamat yang dituju. Lokasi yang diduga merupakan tempat kediaman Marty Morrow yang baru berupa sebuah rumah tingkat dua berukuran kecil, dengan bentuk arsitektur yang terlihat sangat modern. Rumah tersebut memiliki dinding bata berwarna putih halus yang terawat, dengan atap baja yang terbebas dari karat atau pun jamur. Pada bagian depan rumah tampak sebuah taman kecil yang dihiasi dengan berbagai ornamen berbentuk hewan kecil berbulu yang terbuat dari keramik. Jika dilihat dari keadaannya yang benar - benar terasa 'baru', rumah kecil tersebut sepertinya baru dihuni selama beberapa bulan. Ketika dia sudah merasa yakin jika rumah itu adalah tujuan akhirnya, Azkhia pun memarkirkan sepeda motornya di depan sebuah garasi kecil yang terkunci rapat. Tanpa merasa ragu, laki - laki berkulit coklat gelap itu berjalan ke arah pintu depan dan mengetuknya dengan cukup keras beberapa kali. Setelah dia mengetuk untuk yang ketiga kalinya, baru lah terdengar suara langkah kaki yang berjalan terburu - buru ke arahnya. Pintu kaca hitam setinggi dua meter itu bergeser sepenuhnya, dan memperlihatkan sosok laki - laki berdiri di balik ambang pintu.Laki - laki itu bertubuh sedikit kurus dengan tinggi badan lebih dari 180 sentimeter. Kulitnya berwarna coklat muda, dengan sepasang mata coklat bulat besar, berambut lurus pendek yang disisir rapi ke belakang. Pada sore hari yang mendung ini, laki - laki itu mengenakan sebuah kemeja merah polos yang ditutup oleh sweater hijau bermotif berlian berwarna abu - abu. Tanpa bersuara sedikit pun, laki - laki itu hanya memperhatikan Azkhia dengan cepat, dari ujung kaki hingga ke ujung rambut hitamnya yang keriting, layaknya bulu seekor biri - biri."Selamat sore, apa ada yang bisa kubantu ??" Tanya laki - laki itu dengan nada bicara sopan dan lembut.Azkhia memberikan telapak tangan kanannya ke arah laki - laki tersebut untuk berjabat tangan dengannya. "Selamat sore, Tuan. Namaku Azkhia Mauree." Jawabnya dengan sopan, "Aku sudah ada janji untuk bertemu dengan Marty Morrow saat ini. Apakah orang itu adalah dirimu, Tuan ??"Marty pun menganggukan kepalanya, dan sedikit menahan tawa ketika melihat wajah Azkhia. "Maaf, hanya saja aku telah salah duga.. Ketika kau meneleponku kemarin, tadinya kupikir kau adalah seorang anak kuliahan berusia delapan belas tahun yang sedang mencari bahan penelitian untuk tugas akhir semester."Sembari memutar bola matanya dengan malas, Azkhia hanya mendesah pelan untuk merespon perkataan Marty. "Kau bukanlah orang pertama dan satu - satunya yang berpikiran demikian. Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih banyak kepadamu, Tuan Marty. Karena sudah mau meluangkan waktu untuk berbagi kisah masa lalumu denganku."Dengan senyuman tipis tersirat di wajahnya, Marty melangkah mundur beberapa sentimeter untuk memberi jalan bagi Azkhia. "Tidak perlu sekaku itu. Panggil saja aku Marty, kurasa usia kita berdua tidak terpaut jauh." Walaupun sebenarnya Azkhia sendiri masih berusia 23 tahun. "Daripada kita mengobrol di tengah hujan yang semakin ganas ini, lebih baik kita masuk saja ke dalam."Tanpa berbasa - basi, Azkhia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Di dalam sana terlihat sebuah ruangan berdinding putih polos, dengan lantai kayu berwarna coklat mengkilap. Di dalam ruangan berbentuk persegi itu terlihat banyak sekali foto yang tersebar di sepanjang dinding ruang tamu, mulai dari foto Marty saat berusia anak - anak, hingga foto pernikahan dirinya bersama seorang perempuan cantik berambut pirang sebahu.Sembari membiarkan Azkhia untuk melihat foto - fotonya yang terpajang di ruang keluarga, Marty meninggalkan lelaki berkulit hitam itu untuk membawakannya minuman dari dapur. Setelah melihat belasan deretan foto tersebut, Azkhia mendapati adanya sebuah foto yang mengundang rasa keingintahuannya. Foto itu memperlihatkan Foto tersebut memperlihatkan empat orang laki - laki berusia sekitar 16 tahun yang berdiri di depan sebuah gawang sepak bola, dengan mengenakan seragam tim sepak bola. Begitu melihat wajah empat orang tersebut, Azkhia langsung menyadari keberadaan Marty di antara mereka kurang dari 30 detik. Laki - laki itu berdiri di tengah barisan. Tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan dirinya yang sekarang. Azkhia akui jika penampilan Marty sangat lah awet muda. Tidak ada yang berubah dari wajahnya selama belasan tahun, kecuali beberapa helai kumis tipis yang mulai tumbuh di antara bibirnya."Kelihatannya kau sudah bertemu dengan mereka." Beberapa saat kemudian terdengar suara Marty yang berjalan menghampiri Azkhia. Laki - laki itu datang bersama seorang perempuan yang terlihat di banyak foto yang terpampang di dinding. Perempuan berambut pirang panjang, bermata biru besar, sembari mengenakan sebuah celana legging panjang dan kaos putih polos. Jika dilihat dari perutnya yang membesar, perempuan itu kini sedang hamil. Mereka berdua berjalan secara perlahan mendekati Azkhia, sembari membawa nampan berisi tiga cangkir teh serta sepiring penuh biskuit coklat yang baru matang dari oven.Ketika dia menatap wajah Azkhia, perempuan itu langsung tersenyum ramah. Meskipun dia tersenyum, Azkhia bisa merasakan adanya ketegangan yang tersirat di wajahnya. "Ammy Wattson, senang bisa berkenalan denganmu." Sapanya sambil berjabat tangan."Senang bisa berkenalan denganmu, Nyonya Ammy." Balas Azkhia dengan sopan dan ramah. "Namaku Azkhia Mauree, suatu kehormatan bagiku untuk bisa berjumpa denganmu.""Padahal sudah aku katakan kepadanya, untuk tidak perlu bersifat sekaku itu. Tapi tetap saja dia berbicara seperti itu."Ammy tiba - tiba mencubit bahu kanan suaminya dengan cukup keras. "Itu bukan sifat kaku, melainkan tatakrama, Marty Morrow" Katanya dengan nada kesal, "Jangan kau pedulikan ucapan suamiku, Azkhia. Kau adalah laki - laki yang sopan dan santun." Lalu Ammy mengalihkan pandangannya ke arah nampan berisikan teh dan biskuit yang sudah dihidangkan di atas meja. "Silahkan duduk saja terlebih dahulu, dan nikmati teh ini selagi mereka belum dingin."Azkhia mengucapkan terima kasih atas suguhannya, lalu duduk bersebrangan dengan Marty dan juga Ammy. Dengan hati - hati, dia menyeruput teh panas tersebut beberapa teguk, supaya bibirnya tidak terbakar. Dan juga menikmati beberapa potong biskuit yang disediakan. "Maafkan aku sebelumnya, Tuan Marty, tadi kau bilang aku sudah bertemu dengan mereka. Apakah yang kau maksud dengan mereka itu adalah . . . " Azkhia kebingungan untuk mencari kata yang tepat supaya tidak menyinggung perasaan pasangan muda tersebut."Para korban ??." Belum sempat Azkhia menyelesaikan kalimatnya, Marty sudah langsung menyelesaikannya tanpa ragu. "Diluar status mereka sebagai 'Korban', mereka semua adalah teman - temanku. Bahkan istriku juga pernah menyukai salah satu dari mereka." Untuk kedua kalinya, Ammy mencubit lengan Marty karena merasa kesal. Sembari mengusap bekas cubitan istrinya, Marty segera bangkit dari sofa untuk memposisikan dirinya di sebelah foto tersebut.Marty mengarahkan jari telunjuknya ke seorang laki - laki bertubuh tinggi kekar, berkepala lonjong, dengan kulit hitam kecoklatan, serta rambut hitam pendek potongan cepak. "Ini Bradd, dia adalah anak yang suka marah - marah, tidak sabaran, namun orang paling peduli yang pernah aku kenal. Bradd merupakan salah satu pemain bola basket ternama di Occidental School. Jika bukan karena dia, pastinya kami tidak akan pernah bermain bola basket bersama setiap akhir pekan." Lalu Marty menggerakkan ujung jarinya ke seorang laki - laki yang berada di sebelah Bradd. Dia bertubuh paling kecil jika dibandingkan ketiga remaja lainnya. Rambut berwarna pirang panjang dikuncir ke belakang, matanya hijau mengkilap, berkulit putih cerah, dan terlihat sebuah kacamata kotak berbingkai hitam yang terlihat cukup nyentrik. "Dan yang satu ini bernama Mike, dia bukan orang yang mudah untuk bisa diajak bicara. Tapi Mike adalah orang yang benar - benar bisa diandalkan. Terutama jika berkaitan dengan komputer dan juga matematika. Sejujurnya aku tidak terlalu dekat dengan Mike dan juga Bradd. Kita bertiga baru mengenal satu sama lain selama dua tahun. Tapi aku benar - benar merasa seperti kehilangan saudaraku sendiri atas kepergian mereka berdua."Selama beberapa menit, terjadi keheningan yang sangat canggung di antara mereka bertiga. Baik Ammy atau pun Azkhia, tidak ada salah satu dari mereka yang berani untuk mengusik renungan Marty. Walaupun dia sudah bersedia untuk berbagi cerita, Azkhia merasa benar - benar bersalah karena sudah membuka kembali luka masa lalu tersebut. Tanpa memperdulikan beberapa tetes air mata yang keluar, Marty hanya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan beberapa kali. Sementara Ammy mencoba menenangkan suaminya dengan memeluk tubuhnya dari belakang, sembari mengusap rambutnya dengan lembut.Setelah keadaan mulai kembali tenang, Azkhia memberanikan dirinya untuk bertanya soal laki - laki yang berdiri di sebelah Marty. Dia merupakan seorang remaja berkulit coklat muda, dengan rambut coklat yang sedikit dicat berwarna kemerahan, dan sepasang bola mata besar berwarna hijau gelap. Dengan sebuah senyuman tipis di wajahnya, Marty menjelaskan kepada Azkhia jika orang tersebut bernama James Ragoso. James merupakan sahabat terbaik yang pernah dimiliki oleh Marty. Kedua laki - laki itu sudah berteman sejak mereka berdua masih duduk di sekolah dasar. Jika diperhatikan dari ekspresi dan intonasi bicaranya, sepertinya laki - laki yang bernama James itu masih hidup hingga saat ini. Namun Azkhia tidak berani untuk mengkonfirmasi hal tersebut secara langsung kepadanya. Dia takut jika dugaannya salah, dan membuat Marty kembali terpuruk."Jadi . . . , detail cerita mana lagi yang ingin kau ketahui soal kejadian mengenaskan itu ??" Tanya Marty dengan hampa tapi penuh dengan keyakinan.Setelah melihat ekspresi dan terpukaunya Marty, membuat Azkhia sedikit mengurungkan niatnya untuk melakukan wawancara pada awalnya. Tapi setelah melihat keyakinan pada tatapan laki - laki tersebut, dia memutuskan untuk kembali melanjutkannya. Dia tidak mau perjalanannya dalam melewati hujan deras ini menjadi sia - sia begitu saja. "Aku tahu kau sudah memberikan banyak keterangan kepada pihak berwajib, tapi aku benar - benar ingin mendengarnya langsung darimu." Jawabnya. "Karena aku merasa . . . , ada sesuatu yang ingin aku cari tahu tentang dirimu ??""Aku yakin kau bukanlah seorang penyidik atau pun jurnalis. Jika dilihat dari tata bahasa dan etika dirimu ketika berbicara, kau adalah orang yang berpendidikan tinggi. Pastinya ada alasan lain kenapa kau ingin mencari informasi mengenai tragedi kami berdua di masa lalu, bukan kah begitu, Tuan Azkhia ??."Walaupun tubuhnya sedikit bergetar, Azkhia menganggukan kepalanya dengan penuh keyakinan. "Tunggu sebentar . . . , kami berdua ?? Apakah Nyonya Ammy juga terlibat dalam hal tersebut ??""Apa pun tujuanmu, aku tidak akan mempermasalahkannya." Kemudian terlihat senyum penuh kemenangan di wajah Marty, atas ketidaktahuan Azkhia mengenai keterlibatan Ammy dalam tragedi kelam tersebut, "Selama ini aku memang tidak pernah menyinggung keterlibatan istriku dalam tragedi tersebut kepada publik atau pun pihak berwajib. Begitu juga dengan kakak perempuanku, Merrida Morrow."Beberapa saat kemudian, Marty memperlihatkan sebuah buku catatan kecil yang keberadaanya tidak disadari Azkhia dari tadi. Tanpa ragu, dia segera memberikan buku itu kepada laki - laki berambut hitam keriting di hadapannya. "Buku itu menyimpan lebih banyak informasi ketimbang dengan yang tersimpan di arsip kepolisian. Aku tahu jika ini adalah sebuah sesi wawancara secara lisan. Tapi sepertinya aku tidak akan sanggup untuk membuka luka lama untuk menceritakan semua detail kejadiannya kepadamu. Aku mengizinkanmu untuk membaca seluruh isi buku catatan itu. Jika ada bagian yang tidak kau mengerti, jangan ragu untuk bertanya. Aku dan Ammy sangat senang untuk menjawab semua pertanyaanmu."Walaupun sampul depannya terlihat sedikit lusuh dan berdebu, Azkhia sangat takjub ketika mendapati jika isinya masih dalam keadaan yang cukup bagus. Buku catatan setebal 8 cm itu berisikan banyak sekali penjelasan yang ditulis menggunakan ballpoint dengan berbagai warna. Jika dilihat dari berantakannya tulisan tersebut serta banyaknya coretan di hampir setiap halamannya, sudah jelas jika isi buku itu dibuat dengan terburu - buru. Berdasarkan pengakuan Marty, selaku pemilik dari buku tersebut, semua catatan itu dia buat selama berminggu - minggu setelah tragedi yang menimpanya. Baginya itu adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan rasa kehilangannya.Sambil membuka dan membaca sedikit tulisan yang ada di setiap halaman buku tersebut, Marty dan Ammy memberi beberapa detail atas kejadian kepada Azkhia. Di halaman pertama buku tersebut, terdapat sebuah pesan singkat yang Marty tulis, namun tidak ditujukan kepada siapa pun.Tidak terasa jika musim gugur akan tiba di Kota Toro Del Norte dalam waktu dekat. Namaku adalah Marty Morrow. Aku hanya lah seorang remaja berusia 16 tahun yang menjalani kehidupan seperti kebanyakan anak muda lainnya. Sebelumnya aku ingin bertanya kepada kalian yang membaca surat ini. Bagaimana jika orang yang selama ini dekat dengan kalian, atau bahkan mungkin sahabat baik kalian sendiri, ternyata bukan lah orang yang selama ini kalian kenal ?? Bagaimana perasaanmu setelah mengetahuinya ?? Sedih ?? Bingung ?? atau Kecewa ??Iya, itu semua adalah perasaan yang kurasakan setelah melalui tragedi yang menimpa diriku beserta teman - temanku. Jika kalian membaca ini, itu artinya kalian akan mengetahui seluk beluk kejadian yang sudah mengubah hidupku seratus 180 derajat. Mungkin kejadian tidak terlupakan itu sudah berlangsung hampir satu bulan lamanya. Tapi aku merasa jika kejadian itu baru saja terjadi kemarin.12 September 2016Marty Morrow