Awan hitam menggulung di atas kastil tua yang tersembunyi di tengah hutan lebat, seakan menutupi langit yang nyaris tenggelam dalam gelap. Di kejauhan, bukit-bukit terjal mengelilingi, dan gunung-gunung jauh di belakangnya tampak seolah menunggu untuk menelan segalanya. Petir sesekali menyambar, menggema dengan keras, memantul dari dinding batu kastil yang rapuh. Kilatan cahaya putih menyilaukan mata, sementara bayangan menara yang tinggi seperti tangan besar yang siap menyambar.
"Janji itu tak akan pernah jauh darimu." Suara berat itu menggema, seolah terpatri dalam udara, mengingatkan setiap langkah yang telah kuambil.
"Ini lagi..." Aku terengah, suaraku hampir tak terdengar, wajahku memucat. Mataku mencari-cari tanda apa pun yang bisa menjelaskan apa yang aku alami, namun hanya ada kegelapan yang menutupi segalanya.
Tubuhku terasa ringan, seperti tertarik ke dalam pusaran kosong yang gelap dan dingin.
Aku terbangun dengan teriakan tertahan, keringat dingin membasahi wajahku. Kamar yang cukup sempit dan berantakan milikku kembali menenangkan. Namun, seiring dengan detak jantung yang mulai stabil, aku tahu bahwa mimpi itu akan datang lagi-terulang setiap malam, seperti beban yang tak pernah hilang.
Aku menekan pelipisku, berusaha mengusir bayangan mimpi yang terus terusan mengulang setiap malam. Namun, hanya satu yang tak pernah hilang dari benakku-kata itu, 'janji' terus berputar, menghantuiku lebih dari apapun.
***
Setelah mengenakan seragam sekolah, aku melangkah menuju pintu dan mengenakan sepatu yang tergeletak di sana. Begitu bangkit, aku meraih gagang pintu. Namun, sebelum melangkah keluar, aku berhenti sejenak, mataku tertuju pada ruang kosong di belakangku. Kenangan akan nenek muncul begitu saja, senyumnya yang lembut selalu menyertaiku setiap kali aku berangkat sekolah, seolah memberi semangat sebelum aku melangkah pergi.
"Aku berangkat, Nek," ucapku pelan, meskipun tahu dia tak bisa mendengarnya lagi. Aku hanya berharap dia mendengarnya.
aku melangkah keluar menuju sekolah, membawa senyum yang terasa sedikit hampa.
Aku berjalan santai menyusuri jalan yang sudah kuhapal luar kepala. Udara pagi ini terasa dingin, tetapi cukup segar untuk mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Aku memperhatikan rumah- rumah tetangga yang hampir tak berubah. Kendaraan sesekali melintas, tapi suasananya tetap tenang dan damai.
Namun, ada satu rumah yang selalu menarik perhatianku—rumah bergaya tradisional Jepang milik Nenek Sumire. Pagar kayu yang terawat, pintu geser khas, dan taman kecil di depannya selalu menjadi pemandangan yang menyegarkan.
Sebelum aku sempat melewati gerbangnya, suara hangat yang sudah sangat familiar memanggil dari arah halaman.
"Hai... Kris-can, ohayo!" Suaranya terdengar ceria, menyapaku dengan senyuman yang hampir terasa dari suaranya "Ponimu itu, masih saja nutupi matamu apa kamu tidak pernah kepikiran buat ubah gaya rambut? Kamu keliatan suram gitu"
Aku menoleh, melambatkan langkah, dan melihat Nenek Sumire berdiri di halaman dengan sapu lidi di tangan, membersihkan dedaunan yang berserakan.
"Pagi juga, Nenek Sumire..." balasku dengan senyum tipis, memegang ujung rambutku. "Sayangnya, tidak ada. Aku sudah nyaman dengan ini," tambahku dengan nada santai, meski tahu komentarnya hanya setengah serius.
Nenek sumire memandang ku dengan penuh perhatian. Senyum lembutnya tetap setia menghiasi bibirnya.
"Hm, ya sudah. kalau itu membuatmu nyaman tapi... jangan terlalu menutup dirimu" ujar Nenek Sumire, suaranya lembut namun penuh pengertian. "Dan lagi pula, gaya rambut itu sudah menjadi ciri khasmu" Dia tertawa pelan, dengan tawa khas nenek-nenek Jepang yang selalu mampu meringankan suasana.
Langkahku terhenti sejenak, senyum tipis muncu di bibirku, tertawa pelan karena komentar Nenek Sumire memang tepat sasaran.
"Kalau begitu aku berangkat dulu, dah, Nenek Sumire" Kataku sambil melambaikan tangan, melanjutkan langkahku dengan ringan.
Aku melanjutkan perjalanan, menuju tujuan utamaku—sekolah. Hari ini terasa seperti biasa, tidak ada yang berubah. Disapa oleh Nenek Sumire, seperti biasanya.
Nenek Sumire, atau Yumiko Sumire, adalah teman dekat nenekku yang berasal dari Jepang. Setelah nenekku meninggal, Nenek Sumire selalu ada untukku, sering memberi makan malam, dan kadang mengunjungiku untuk mengecek kondisiku.
... Mungkin aku terlalu banyak bercerita tentangnya. Seharusnya aku lebih mengenalkan diriku. Namaku Krisna, hanya Krisna. Tidak ada yang istimewa. Aku sedikit menutup diri dari hubungan sosial—tidak sepenuhnya, sih, tapi ada beberapa pengecualian, seperti Nenek Sumire.
Seperti yang kalian tahu, nenekku sudah meninggal dunia saat aku SMP. Setelah nenekku meninggal, aku mulai hidup sendiri, tanpa keluarga ataupun teman. Orang tuaku sudah pergi meninggalkan ku sejak aku kecil, aku bahkan tidak tahu apakah mereka sekarang masih hidup atau tidak... Apa pun itu, mari lupakan kedua orang itu. Dan aku...
Langkahku terhenti lagi. Tanpa sadar, aku menutup dahiku menggunakan telapak tangan.
Apa ini...? Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang hilang atau kulupakan? Sesuatu yang terasa begitu dekat, namun tetap kabur.
Aku berpikir keras, berusaha mengingat apa yang mungkin tertinggal, tapi hasilnya tetap nihil. tidak ada satu jawaban pun yang muncul, hanya kekosongan yang menyelimuti pikiranku.
Aku menghela napas, lalu mengusap rambutku tanpa sadar. Mencoba menenangkan diri. Dan pada akhirnya, aku memilih untuk mengabaikannya dan meyakinkan diriku sendiri kalau ini hanya perasaan aneh yang datang begitu saja.
***
Setelah sampai di sekolah, aku masuk kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Hari itu tidak ada yang berbeda. Semua berjalan normal—sampai saat bel pulang berbunyi.
Aku beranjak dari kursiku, menggendong tas di punggung, lalu melangkah keluar kelas. Saat aku tiba di pintu kelas, langkahku terhenti ketika melihat sesuatu yang tak biasa di langit. Sekumpulan awan hitam pekat berkumpul, membentuk pusaran besar yang perlahan menutupi sinar matahari. Suasana kota berubah suram, hampir seperti malam, meski waktu baru menunjukkan sore.
"Eh, apa bakal hujan?" gumamku sambil melangkah ke arah lapangan, tempat banyak siswa sudah berkumpul. Namun, saat itu juga aku sadar, ini bukan hujan biasa. Dari balik awan, kilatan petir berwarna ungu pucat menyambar liar, seolah memberi peringatan.
Sebuah suara guntur menggelegar, keras sekali hingga terasa menusuk telinga. Para siswa yang sudah berada di lapangan dan halaman sekolah mulai menatap ke langit, wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan dan rasa takut. Aku berdiri di pinggir lapangan, di bawah naungan atap gedung kelas, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Dan saat itulah aku melihatnya.
Pusaran hitam itu perlahan terbuka, seperti mulut raksasa yang siap melahap dunia. Lalu, tanpa peringatan, sebuah bola api besar melesat dari langit, menabrak gedung di kejauhan. Ledakannya begitu kuat hingga kaca-kaca sekolah pecah berhamburan. Asap tebal mengepul, diiringi suara derak gedung yang runtuh perlahan.
Tubuhku berguncang oleh getarannya. Aku mendengar teriakan panik dari segala arah. Siswa-siswa berlarian seperti semut kehilangan sarangnya. Ada yang menangis, ada yang mencoba berlindung di bawah meja atau di balik tembok, tapi aku hanya berdiri di sana. Kakiku terasa seperti dipaku ke tanah, tak mampu bergerak.
Jantungku berdetak begitu kencang, seolah ingin meloncat keluar dari dadaku. Keringat dingin membasahi pelipisku, menetes perlahan hingga ke dagu. Aku menelan ludah, tapi tenggorokanku terasa kering seperti gurun.
Dan di saat aku sedang bertanya-tanya, bola api besar apa itu? Aku mencoba menebak—apa mungkin akan ada sesuatu yang lebih buruk? Haruskah aku segera bersiap menghadapi sesuatu yang lebih—?!
Tapi sebelum aku bisa menjawab, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Dari pusaran hitam itu, puluhan—tidak, mungkin ratusan—bola api raksasa mulai meluncur, menerangi langit dengan warna oranye membara.
Aku tidak bisa bergerak. Tubuhku gemetar hebat. Tas di punggungku jatuh ke tanah, tapi aku tidak peduli. Suara ledakan terdengar di mana-mana, dan getarannya begitu hebat hingga membuat beberapa siswa tersungkur ke tanah. Kaca-kaca pecah. Gedung-gedung berguncang. Beberapa siswa menangis dan berdoa, sementara yang lain hanya terdiam, pasrah, menunggu akhir mereka.
Aku? Aku hanya bisa terduduk di tanah, lututku terlalu lemas untuk menopang tubuhku. Kepalaku mendongak, memandang bola api raksasa yang kini mengarah langsung ke sekolahku.
Tubuh dan jiwa ku seakan sudah pasrah, tetapi otakku terus menerus berteriak menyuruhku untuk segera bergerak dan lari. Namun, tubuhku tetap menolak, kaku seperti dipaku tanah.
Meteorit itu terus mendekat— jauh lebih besar dari yang lain, bersinar seperti matahari kecil yang membakar langit.
Semakin dekat.
Semakin terang.
Aku menutup mataku. Lalu semuanya menjadi gelap.