Renji Yamamoto duduk di sudut kelas, menatap layar ponselnya yang menampilkan karakter di dalam game MMORPG kesukaannya. Dunia maya selalu memberinya kenyamanan, jauh dari hiruk-pikuk dunia nyata yang terasa sangat asing baginya. Di sekolah, Renji tidak pernah merasa diterima. Dia sering duduk sendiri di tempat makan siang, menghindari percakapan dengan teman sekelasnya yang sepertinya tidak pernah mengerti dirinya. Mereka semua sibuk dengan kegiatan mereka sendiri, memiliki teman, pacar, dan hidup yang penuh tawa. Sementara itu, Renji hanya punya game untuk melupakan kesendirian yang membebaninya.
"Renji, main game lagi?" suara cewek dari kelas sebelah terdengar nyaris tak terdengar, lebih kepada suara yang penuh dengan rasa kasihan. Renji hanya mengangkat bahunya, tidak berusaha memberi tanggapan. Bagi Renji, percakapan itu hanyalah rutinitas kosong yang tidak akan pernah mengubah apa pun.
Di luar itu, Renji tidak percaya pada konsep percintaan. Baginya, itu hanyalah sampah—sesuatu yang hanya mengganggu dan memperumit hidup. Melihat bagaimana teman-temannya berpacaran dan berlarut-larut dalam drama, membuatnya lebih memilih untuk tetap dalam dunianya sendiri.
Namun, dalam hatinya yang paling dalam, Renji juga merindukan kebahagiaan—sebuah kebahagiaan yang sepertinya takkan pernah dia rasakan. Di balik sikap dinginnya, ada keinginan yang tak terucapkan untuk memiliki seseorang yang peduli padanya. Tapi, dia juga tahu bahwa itu hanyalah mimpi yang tidak mungkin terwujud.
Hingga suatu hari, Renji terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya—sekolah, pulang, game, tidur, lalu ulangi. Tanpa ada perubahan yang berarti.
Namun, semuanya berubah ketika itu terjadi.
Pada suatu sore yang cerah, Renji berjalan pulang dari sekolah, sambil menatap ponselnya. Terlalu tenggelam dalam dunia maya, dia tidak menyadari kendaraan yang melaju kencang ke arahnya. Sebuah suara keras terdengar, dan semuanya menjadi gelap.
Awal yang Baru
Ryo terbangun di sebuah kamar yang asing, dengan langit-langit kayu yang sederhana dan sinar matahari yang lembut menembus jendela. Tubuhnya terasa ringan, dan saat ia mencoba bergerak, ia merasa lebih kecil dari biasanya—seperti tubuh seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun. Suasana sekitar terasa asing, namun ada satu hal yang ia tahu dengan pasti: ini bukan tempat yang ia kenal.
"Ah, akhirnya kamu bangun juga, Ryo-chan," suara lembut seorang wanita terdengar dari pintu. Seorang ibu muda dengan rambut panjang dan pakaian sederhana memasuki ruangan. Senyumnya hangat, tapi juga penuh kekhawatiran. "Kamu tidur cukup lama setelah perjalanan yang sangat melelahkan."
Ryo mengangkat kepalanya dan menatap wanita itu dengan bingung. "Perjalanan?" gumamnya pelan. Namun, rasa bingung itu hanya sementara. Ia mencoba mengenali wajah wanita itu, dan meskipun ia merasa asing, ada sesuatu yang familiar—seperti kenangan yang kabur.
"Jangan khawatir, Ryo-chan," kata wanita itu lagi. "Kamu hanya lelah setelah lama berkelana dengan ayahmu. Kamu sudah berada di rumah sekarang. Istirahat yang cukup."
Ryo mengangguk pelan, masih bingung dengan situasi ini. Ia melihat sekeliling dan melihat beberapa perabotan sederhana, serta perasaan aneh bahwa dirinya tidak berada di dunia yang ia kenal sebelumnya.
Namun, wanita itu tampaknya tidak melihat adanya keanehan dalam dirinya. "Ayahmu sedang pergi berburu. Setelah kamu cukup beristirahat, kita akan memulai pelajaran pertama tentang kehidupan di desa ini. Kamu akan membantu kami, Ryo. Meski tubuhmu masih lemah, aku tahu kamu bisa melakukannya."
Ryo mencoba mencerna kata-kata itu. "Tubuh... lemah?" Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi apa itu? Ia mengingat bahwa tubuhnya terasa lebih kecil, lebih lemah dibandingkan saat di dunia sebelumnya. Namun, ia tidak bisa mengingat apa pun tentang kehidupan sebelumnya—semuanya terasa kabur, seperti mimpi yang hilang.
"Jangan khawatir, kamu akan kuat seiring berjalannya waktu," tambah wanita itu dengan senyum penuh harapan. "Setiap petualang yang baru mulai pasti merasakan kesulitan, tapi kamu akan belajar. Kamu akan menguasai banyak hal di sini, Ryo."
Ryo merasa sedikit tertekan, tapi dia tahu bahwa sekarang ia harus menghadapi kenyataan baru ini. Tanpa tahu bagaimana kekuatan yang dimaksud oleh wanita itu, ia hanya bisa menerima keadaan. Terlepas dari semua kebingungannya, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin bertahan—mungkin karena di dunia ini, ia punya kesempatan baru untuk menemukan arti kehidupan.
Latihan yang Berat
Hari itu, Ryo dan ayahnya berada di sebuah lapangan terbuka di dekat desa. Langit cerah, namun angin bertiup pelan, membawa suasana yang sejuk. Ayahnya sedang bersiap dengan perlengkapan berburu, namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda—hari ini, Ryo akan berlatih menggunakan sihir.
"Kali ini kita akan berlatih mengendalikan sihir api," kata ayahnya dengan nada yang tenang namun serius. "Kamu sudah cukup besar untuk belajar bagaimana cara menggunakan kekuatan ini dengan baik."
Ryo menatap ayahnya dengan penuh kebingungan. "Sihir api? Aku... aku nggak paham. Aku bahkan nggak tahu caranya."
Ayahnya mengangguk pelan, seolah sudah tahu bahwa Ryo akan merasa bingung. "Tenang, Ryo. Ini adalah bagian dari latihan. Aku akan mengajarkanmu dasar-dasar sihir api terlebih dahulu."
Ryo mengernyitkan dahi. "Tapi... aku nggak pernah merasa punya kekuatan seperti itu sebelumnya. Bahkan waktu aku coba, cuma muncul api kecil banget. Kenapa bisa kayak gitu?"
Ayahnya tersenyum sedikit, mencoba menjelaskan dengan sabar. "Sihir itu tidak bisa langsung dikuasai. Kamu harus belajar mengendalikan energi yang ada dalam dirimu. Setiap orang punya cara yang berbeda untuk menggunakannya. Apa yang kamu rasakan tadi, meskipun kecil, itu sudah menunjukkan bahwa kamu memiliki potensi. Sekarang, kita akan coba cara yang benar."
Ryo masih tampak bingung. "Tapi gimana caranya, ayah? Apa yang harus aku lakukan supaya api itu bisa lebih besar? Kenapa rasanya aku nggak bisa mengendalikannya dengan baik?"
Ayahnya menghela napas ringan, lalu duduk di depan Ryo. "Cobalah untuk menghubungkan dirimu dengan energi di dalam tubuhmu. Fokus pada perasaan itu—suatu kekuatan yang mengalir di dalam tubuhmu. Jangan terlalu terburu-buru. Tarik nafas dalam-dalam, rasakan tubuhmu, dan ciptakan gambaran api di pikiranmu."
Ryo menatap ayahnya, merasa cemas. "Aku nggak tahu apakah aku bisa, ayah. Apa yang terjadi kalau aku gagal?"
Ayahnya memberi senyum yang menenangkan. "Tidak ada yang salah dengan kegagalan, Ryo. Semua orang mulai dari yang kecil. Ini bukan soal berhasil atau tidak, tetapi tentang usaha dan bagaimana kamu menghadapinya."
Ryo mengangguk, meskipun masih terasa cemas. Dia menutup matanya, mencoba mengikuti petunjuk ayahnya. Untuk beberapa detik, dia hanya duduk diam, berusaha merasakan sesuatu yang belum sepenuhnya dia pahami. Namun, yang muncul hanya seberkas api kecil di ujung jarinya—sama seperti sebelumnya.
"Ini... apa yang aku buat cuma seukuran jari, ayah," kata Ryo, merasa sedikit kecewa dengan dirinya sendiri.
Ayahnya mengamatinya dengan cermat, lalu berkata dengan lembut, "Itu sudah lebih baik dari yang kamu kira, Ryo. Api kecil itu menunjukkan bahwa kamu mulai memahami kekuatanmu. Jangan takut untuk gagal. Yang penting adalah konsistensi dalam latihan."
Ryo merasa sedikit lega, tetapi rasa frustrasi tetap ada. "Tapi kenapa aku nggak bisa buat api yang lebih besar? Bahkan untuk berburu pun aku nggak bisa gunakan sihir ini."
Ayahnya menjelaskan, "Kekuatan sihir itu bukan hanya tentang besarnya api yang kamu buat, tetapi tentang bagaimana kamu bisa mengendalikannya. Sihir itu tentang keseimbangan, bukan tentang kekuatan semata. Setiap latihan akan membantumu menemukan cara untuk menggunakannya dengan lebih baik."
Ryo mengangguk pelan, meski masih merasa bingung. "Tapi aku nggak tahu berapa lama aku harus berlatih untuk bisa menguasainya."
Ayahnya tersenyum dengan sabar. "Setiap orang memiliki jalannya sendiri, Ryo. Kamu akan belajar seiring waktu. Yang penting adalah jangan menyerah, terus berlatih, dan percaya bahwa kamu bisa."
Ryo menatap ayahnya, merasa sedikit lebih tenang. Meski dia tahu perjalanan ini akan sulit, dia juga tahu bahwa ayahnya ada di sana untuk membimbingnya.
"Baiklah, ayah. Aku akan coba lagi," kata Ryo, meski rasa cemas masih ada di dalam hatinya.
Latihan Tanpa Henti
Tahun demi tahun berlalu sejak Ryo mulai berlatih dengan ayahnya. Setiap malam, di bawah cahaya rembulan yang tenang, Ryo meluangkan waktu untuk berlatih, baik itu sihir, teknik bela diri, atau pedang. Ia sering terlihat tenggelam dalam buku-buku tua yang dipinjam dari ayahnya, yang berisi banyak informasi tentang sihir dan berbagai teknik bertarung. Meski kadang sulit dipahami, Ryo terus berusaha memahaminya.
Suatu malam, setelah selesai latihan fisik, Ryo duduk di kamarnya dengan penuh rasa penasaran. Buku sihir yang ia baca tergeletak di meja, halaman terbuka pada bab yang baru saja ia pelajari. Ryo menatap buku itu dengan bingung.
"Jadi, untuk menggunakan sihir dengan benar, aku harus mengendalikan aliran energi di dalam tubuhku? Kenapa rasanya... sangat sulit?" gumam Ryo, menyentuh dagunya. "Aku tahu, aku punya potensi yang besar... tapi kenapa rasanya selalu gagal?"
Ryo memejamkan mata, mencoba fokus. Ia mengangkat kedua tangannya dan berusaha mengalirkan energi ke dalam telapak tangannya. Perlahan, dari telapak tangannya muncul percikan api yang sangat kecil.
"Api... lagi?" Ryo mendesah, merasa frustasi. "Kenapa aku hanya bisa mengeluarkan api kecil? Apa yang salah?"
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar kamar. Pintu terbuka, dan ayahnya, yang baru saja kembali dari berburu, masuk ke dalam.
"Ryo, kamu latihan lagi?" tanya ayahnya dengan senyuman lelah di wajahnya.
"Iya, ayah... Tapi... aku merasa ada yang salah. Kenapa aku hanya bisa menggunakan sihir api terendah?" jawab Ryo, sedikit kesal.
Ayahnya tersenyum lembut, lalu duduk di samping Ryo. "Kamu sudah berlatih cukup keras, Ryo. Tapi sihir itu bukan hanya tentang kekuatan. Itu tentang pengendalian dan pemahaman. Terkadang, kekuatanmu mungkin ada, tapi kamu harus belajar cara memanfaatkannya."
Ryo menatap ayahnya dengan bingung. "Jadi, bagaimana aku bisa memanfaatkannya? Aku merasa ada yang terhalang di dalam diriku."
Ayahnya mengangguk, kemudian mengeluarkan buku sihir dari tasnya. "Lihat, di sini ada bab tentang 'Energi Batin'. Kamu perlu memahami aliran energi ini lebih dalam, Ryo. Ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Sihir akan datang dengan waktu, jika kamu cukup sabar."
"Jadi... aku hanya perlu lebih sabar?" tanya Ryo, merasa sedikit lega, tapi tetap bingung.
"Benar. Latihan fisikmu sudah bagus, tapi untuk sihir, kamu perlu lebih banyak waktu. Dan ingat, sihir itu tidak terbatas. Potensimu jauh lebih besar dari yang kamu kira, Ryo. Hanya saja, kamu harus menemukan cara untuk membangunnya perlahan."
Ryo menghela napas panjang, mencoba mencerna kata-kata ayahnya. "Aku akan berusaha lebih keras. Aku ingin mengendalikan kekuatan ini."
Ayahnya tersenyum, menepuk pundak Ryo. "Itu semangat yang baik. Tapi ingat, jangan terburu-buru. Kekuatan yang datang terlalu cepat, sering kali akan hilang lebih cepat juga."
Setelah percakapan itu, Ryo kembali duduk di meja. Ia menatap api kecil yang masih berkobar di tangannya. Kali ini, ia berusaha tidak terburu-buru, berusaha merasakan setiap aliran energi yang mengalir melalui tubuhnya. Seiring waktu, ia mulai merasa sedikit perbedaan. Meskipun kekuatan sihirnya terasa kecil, ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bangkit.
"Sabar... aku bisa melakukan ini," bisik Ryo pada dirinya sendiri.
Setiap malam, Ryo melatih dirinya dengan tekun, tidak hanya dengan sihir, tapi juga dengan bela diri dan pedang. Meski kekuatan sihirnya masih sangat terbatas, Ryo tahu bahwa setiap langkah kecil akan membawa dirinya lebih dekat pada kekuatan sejati yang tertidur di dalam dirinya.
Kekuatan yang Terbangun
Tiga Tahun Kemudian
Tiga tahun sudah berlalu sejak Ryo memulai latihan sihirnya. Setiap malam, setelah matahari terbenam, dia akan berlatih dengan ayahnya. Meskipun usahanya tidak memberikan hasil yang signifikan, ia tetap bertahan. Api kecil yang ia bisa panggil masih terasa tidak cukup, namun Ryo tidak pernah menyerah.
Ayah: "Ingat, Ryo. Kekuatan sihirmu tak hanya bergantung pada seberapa besar api yang bisa kau buat. Sihirmu ada dalam dirimu, dalam emosi dan pikiranmu. Kalau kau terus berlatih, kau akan menguasainya."
Namun, meski ayahnya sering memberi semangat, Ryo merasa kecewa. Setiap hari ia berlatih dan mencoba lebih keras, tetapi hanya api kecil yang bisa ia buat. Anak-anak seusianya selalu mengejek dan meremehkan dirinya.
Anak 1: "Apa yang kamu bisa, Ryo? Hanya membuat api kecil itu? Kau cuma buang-buang waktu."
Anak 2: "Kau cuma lemah! Tidak ada yang istimewa darimu!"
Namun, Ryo hanya diam. Dia sudah terbiasa dengan ejekan mereka. Semua itu membuatnya merasa lebih kuat, meski dalam hati dia sering merasa kesepian. Meski begitu, ia terus berlatih dengan tekad yang bulat. Ia tahu, suatu saat kekuatan sejatinya akan bangkit.
Serangan Orc
Pagi itu, suasana desa terasa tenang, namun tiba-tiba suara gemuruh datang dari hutan. Warga desa mulai panik ketika mereka melihat sebuah monster orc besar muncul. Tubuh orc itu kekar, berotot, dan memegang kapak besar yang bersinar dengan darah. Tanpa ampun, orc itu menyerbu desa, menghancurkan rumah-rumah dan menerobos barikade pertahanan.
Warga Desa 1 (panik): "Monster! Ada monster menyerang!"
Ryo yang sedang berlatih di halaman rumah terkejut mendengar suara itu. Ia berlari keluar dan melihat ibunya berlari menuju pusat desa dengan cepat.
Ibu Ryo (serius): "Ryo! Cepat lari ke rumah dan sembunyikan diri!"
Namun, Ryo hanya berdiri terpaku. Mata orc itu memancarkan kemarahan, dan ia dapat merasakan energi destruktif yang luar biasa. Dia tahu, jika monster itu tidak dihentikan, desa ini akan hancur.
Saat itu, ibunya bergegas ke tengah desa dan mulai mengeluarkan sihir pelindung untuk melindungi warga desa. Sihir pelindung berupa perisai transparan yang melindungi seluruh desa, namun ada celah yang cukup besar di sisi utara yang belum terjaga dengan sempurna.
Tiba-tiba, seorang anak perempuan kecil yang terlambat masuk ke dalam perisai sihir berlari ketakutan di luar. Desakan waktu membuat Ryo tidak bisa berpikir panjang. Tanpa ragu, ia berlari menuju arah anak itu.
Ryo (teriak): "Cepat! Masuk ke dalam perisai!"
Namun anak itu jatuh terjatuh karena ketakutan, dan saat itulah monster orc itu mendekat dengan cepat. Warga desa yang berusaha melawan terpaksa mundur karena ukuran orc yang jauh lebih besar dan kuat dari mereka. Sementara itu, ibunya berteriak memanggil Ryo.
Ibu Ryo (panik): "Ryo! Kembali! Itu terlalu berbahaya!"
Namun, Ryo tak peduli. Pedangnya sudah terhunus, dan ia melangkah maju, siap menghadapi orc itu meskipun ia tahu ia tidak cukup kuat. Ia berlari ke arah orc, berusaha menghindari kapak besar yang menghujam tanah, namun tubuhnya terasa sangat lelah. Setiap serangan yang ia lancarkan, orc itu hanya menangkis dengan mudah.
Ryo (berpikir): Kenapa aku begitu lemah...? Aku sudah berlatih bertahun-tahun, tapi kenapa kekuatan ini tak keluar?
Saat ia hampir kalah, pedangnya hampir terlempar, dan tubuhnya terasa kaku. Ia ingin melarikan diri, namun keberanian untuk melindungi anak itu memaksa dirinya untuk tetap bertahan.
Ibu Ryo (terisak): "Ryo, jangan! Kamu tidak bisa melawan itu! Lari!"
Pada saat yang kritis, ibunya melangkah maju dengan niat melindungi Ryo. Dengan menggunakan sisa energi yang ada, ia melontarkan sihir pelindung lainnya, namun terlambat. Kapak orc menghantam pedang ibunya, membuatnya terhuyung mundur, dan luka besar muncul di tubuhnya.
Ibu Ryo (terengah-engah): "A-aku... tidak bisa... bertahan..."
Saat ibunya hampir terjatuh, dan Ryo melihatnya terluka, sebuah perubahan yang tak terduga terjadi. Dalam tubuh Ryo, sesuatu yang selama ini terpendam mulai bangkit. Kekuatan bayangan—kekuatan yang sebelumnya tak ia pahami—tiba-tiba membanjiri tubuhnya.
Dengan suara yang menggelegar, bayangan gelap seperti ombak merayapi tubuhnya. Seketika, mata Ryo berubah, menjadi tajam dan penuh tekad. Tubuhnya memancarkan aura gelap yang kuat, dan dunia sekitarnya tampak lebih jelas. Semua elemen yang ia pelajari dalam tiga tahun, kini bergerak dalam kendalinya. Api, angin, air, bayangan—semua elemen berpadu dalam diri Ryo.
Ryo (dengan suara yang dalam dan penuh kekuatan): "Aku tidak akan kalah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun terluka lagi."
Kekuatan bayangan yang bangkit mengubah arah pertarungan. Orc itu mulai kewalahan ketika Ryo melancarkan serangan bayangan yang cepat dan mematikan. Sebuah bayangan besar muncul dari tanah, membungkus tubuh orc itu, dan dalam sekejap, pedang Ryo yang terbungkus api dan bayangan menghujam jantung orc itu.
Orc (terjatuh, meraung kesakitan): "Grrr...!"
Dengan serangan terakhir itu, monster orc tumbang. Ryo berdiri di atasnya, napasnya terengah-engah, dan tubuhnya terasa lelah. Namun, meskipun baru saja mengalahkan monster yang begitu besar, ia merasa ada sesuatu yang masih belum terungkap dalam dirinya.
Ibunya yang terluka mulai mendekat, matanya penuh kecemasan dan kebingungan.
Ibu Ryo (terpana, terkejut): "Ryo... Apa yang baru saja terjadi...?"
Namun Ryo hanya berdiri diam, tidak bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Ia merasa kekuatan dalam dirinya telah bangkit, tetapi ia tidak tahu apakah ini adalah awal dari kekuatan yang lebih besar yang tersembunyi di dalam dirinya.
Kekuatan yang Membangkitkan Takdir
Setelah pertempuran dengan orc yang menggemparkan desa, Ryo menjadi pahlawan di mata warga desa. Namun, meskipun semua orang memujinya, ada sesuatu yang menggantung di hati ibunya. Ia terdiam beberapa kali, menatap Ryo dengan ekspresi bingung dan khawatir. Ayahnya, yang melihat perubahan besar pada Ryo, tampak tidak terkejut, malah lebih tenang daripada yang diharapkan.
Di dalam rumah Ryo
Ibu (berbicara dengan suara lembut): "Ryo, bagaimana mungkin kamu bisa memiliki kekuatan sebesar itu? Sejak kapan kamu bisa mengeluarkan kekuatan yang begitu dahsyat...?"
Ryo (merendahkan kepala): "Aku juga tidak tahu, Ibu... Tiba-tiba saja kekuatan itu muncul ketika aku berusaha melindungi desa."
Ayah (tersenyum, tanpa ekspresi terkejut): "Itu adalah kekuatan yang sudah ada dalam dirimu sejak lama, Ryo. Hanya saja, kekuatan itu terpendam... dan baru muncul pada saat yang tepat."
Ibu (dengan kebingungan, sedikit cemas): "Tapi... kenapa sekarang? Kenapa setelah tiga tahun kita berlatih tanpa ada hasil, tiba-tiba saja kamu bisa mengalahkan orc itu dengan kekuatan seperti itu?"
Ayah (menghela napas, beranjak dari tempat duduknya): "Ryo... sebenarnya aku sudah tahu sejak dulu. Kekuatan yang kamu miliki bukanlah kekuatan biasa. Itulah sebabnya aku tidak pernah memaksamu untuk berlatih seperti anak-anak lainnya. Aku tahu suatu saat kekuatanmu akan bangkit, hanya kamu yang harus menemukannya sendiri."
Ryo (bingung): "Apa maksud Ayah? Kenapa Ayah tahu, sementara aku tidak tahu apa-apa tentang kekuatan ini?"
Ayah (dengan tatapan serius dan bijaksana): "Karena aku juga memiliki pengalaman dengan kekuatan yang tak terduga. Ini adalah kekuatan yang turun temurun, yang hanya muncul dalam situasi tertentu. Aku pernah melihat potensi ini dalam diriku juga, dan itulah kenapa aku tahu bahwa suatu hari, kamu akan memerlukan bantuan untuk mengendalikannya."
Ibu (masih khawatir, mendekati Ryo): "Tapi, Ryo... kamu hampir kalah tadi. Apa yang akan terjadi kalau kekuatan itu membebani tubuhmu lagi? Aku tidak ingin kehilangan kamu..."
Ryo (dengan tatapan penuh tekad): "Ibu, Ayah... aku tidak akan membiarkan apa pun menghalangi aku. Aku harus mengendalikan kekuatan ini. Aku tidak ingin menjadi lemah lagi."
Latihan dengan Ayah
Setelah percakapan itu, Ayahnya membawa Ryo ke tempat yang lebih luas di luar rumah, di pinggir desa. Di sana, mereka memulai latihan keras.
Ayah (menatap Ryo dengan serius): "Kekuatan yang ada di tubuhmu adalah gabungan antara sihir dan kekuatan gelap. Kamu harus mengontrol keduanya dengan baik, agar tidak menghancurkan tubuhmu atau orang lain. Pertama, kita mulai dengan mengendalikan api."
Ryo (berdiri dengan posisi siap, menatap Ayahnya): "Aku siap, Ayah. Aku akan melakukannya."
Ayah (memberi isyarat untuk mulai): "Konsentrasi, Ryo. Tarik energi dari dalam dirimu. Rasakan panas api yang ada di dalam tubuhmu, tapi jangan biarkan itu menguasaimu. Api adalah kekuatan yang bisa melukai, tapi juga bisa melindungi."
Ryo mengangkat tangan kanannya, dan dengan sedikit usaha, api kecil menyala di telapak tangannya. Namun, ia merasa tubuhnya mulai panas, dan api itu mulai meredup.
Ryo (dengan suara pelan): "Kenapa... aku tidak bisa mengendalikannya lebih kuat?"
Ayah (mengangguk, memahami): "Itu karena kamu belum menggabungkan kekuatan bayangan dengan api. Kamu harus bisa menstabilkan keduanya. Cobalah lagi, tapi kali ini gunakan bayangan untuk menyeimbangkannya."
Ryo (mencoba lagi, dengan lebih fokus): "Baik, Ayah..."
Ryo mengalihkan perhatian ke bayangan yang ada di sekitarnya, merasakannya menyelimuti tubuhnya. Ia menarik bayangan itu ke telapak tangannya, dan saat api mulai menyala kembali, bayangan itu mulai membungkus api dengan lembut, menstabilkannya.
Ryo (dengan suara lebih yakin): "Aku... aku bisa merasakannya. Api dan bayangan... mereka bekerja sama."
Ayah (tersenyum bangga): "Itu dia. Sekarang, cobalah menggunakan kekuatan baru ini untuk menyerang sebuah target. Fokus pada kendali."
Ryo mengarahkan tangan kanannya ke pohon besar yang ada di dekatnya. Dengan sedikit konsentrasi, bayangan dan api bergabung, menciptakan api ungu yang menyelubungi bayangan dan meluncur ke arah pohon, menghancurkan sebagian batangnya.
Ryo (terengah-engah, melihat hasil serangannya): "Aku berhasil...!"
Ayah (memberikan tepukan kecil di bahu Ryo): "Bagus, Ryo. Kamu mulai menguasainya. Tapi ingat, jangan terlalu terburu-buru. Kekuatan ini memerlukan waktu untuk sepenuhnya dikendalikan. Kamu harus tetap sabar."
Ryo (tersenyum lelah): "Terima kasih, Ayah. Aku akan terus berlatih sampai aku bisa mengendalikan kekuatan ini sepenuhnya."
---
Keputusan untuk Akademi Sihir
Setelah beberapa hari latihan intensif, kabar tentang keberhasilan Ryo mengalahkan orc menyebar ke seluruh desa, bahkan sampai ke kepala desa. Kepala desa kemudian datang menemui Ryo dan orang tuanya.
Kepala Desa (dengan senyum bangga): "Ryo, kamu telah membuktikan diri sebagai pahlawan desa ini. Aku ingin memberitahumu sesuatu... Kami menerima rekomendasi untukmu dari akademi sihir di ibukota. Mereka tertarik untuk melatihmu lebih lanjut."
Ibu (dengan kekhawatiran, namun juga rasa bangga): "Apakah ini... apakah ini keputusan yang tepat, Ryo? Apakah kamu siap?"
Ryo (dengan tatapan mantap): "Aku sudah siap, Ibu. Aku ingin mengembangkan kekuatanku lebih jauh. Aku ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi."
Ayah (mengangguk, menyetujui keputusan Ryo): "Kamu sudah membuat keputusan yang tepat, Ryo. Akademi itu akan membantumu mengendalikan kekuatan yang kamu miliki. Jangan ragu untuk melangkah maju."
Kepala Desa (tersenyum): "Aku bangga bisa melihatmu tumbuh menjadi pemuda yang luar biasa, Ryo. Ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjangmu."
---
Dengan langkah mantap, Ryo memutuskan untuk pergi ke ibukota dan mendaftar di akademi sihir. Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa perjalanan yang lebih besar dan lebih sulit menantinya di masa depan.
Perjalanan ke Ibukota dan Ujian Akademi Sihir
Ryo, yang kini berusia 13 tahun, memulai perjalanan panjangnya menuju ibukota untuk mengikuti ujian masuk akademi sihir. Dengan tekad yang bulat, dia berangkat sendirian, menentang segala rintangan yang akan menghadang di jalan. Dalam perjalanan, ia melewati hutan lebat yang mengarah ke ibukota. Namun, tiba-tiba dari kejauhan, terdengar suara gaduh.
Di Hutan, Ryo Bertemu Kelompok Petualang Rank C
Di antara pepohonan, Ryo melihat sekelompok petualang yang sedang dikelilingi oleh goblin—sekitar 40 ekor—yang menyerang mereka. Kelompok petualang ini merupakan petualang rank C, dan mereka tampak kesulitan menghadapi banyaknya goblin tersebut.
Petualang Rank C 1 (berteriak dengan suara khawatir): "Kita butuh bantuan! Kita tidak bisa mengalahkan mereka semua!"
Petualang Rank C 2 (menghunus pedangnya, napas terengah-engah): "Awas, jangan sampai mereka mengepung kita! Kita harus bertahan sampai bantuan datang!"
Ryo yang kebetulan sedang melintas tidak bisa tinggal diam. Dengan cepat, ia merogoh saku dan menarik pedangnya, berlari menuju pertempuran dengan niat untuk membantu.
Ryo (berkata dalam hati): "Aku harus membantu mereka! Aku bisa mengalahkan goblin ini."
Ryo lalu mengumpulkan kekuatan sihir di tangannya, menggabungkan api dan bayangan dalam satu serangan. Api ungu menyala di telapak tangannya, dikelilingi bayangan yang gelap dan pekat. Dengan kekuatan yang terkumpul, ia melancarkan serangan.
Ryo (berteriak): "Bayangan Api Ungu: Infernal Shadowflame!"
Sebuah bola api berwarna ungu yang dikelilingi bayangan gelap meluncur ke arah goblin-goblin yang menyerang. Ledakan besar terjadi, membakar dan menghanguskan sebagian besar goblin yang terkena dampaknya.
Beberapa petualang rank C yang menyaksikan peristiwa itu terkejut.
Petualang Rank C 3 (terheran): "Siapa itu?! Kekuatan apa itu?"
Namun, Ryo tidak berhenti sampai di situ. Dia melanjutkan untuk mengalahkan sisanya dengan jurus kedua, yang lebih memanfaatkan kekuatan bayangan murni.
Ryo (murmuring): "Sekarang... Shadow Abyss!"
Bayangan hitam keluar dari tubuh Ryo, membentuk sosok besar yang menyelimuti para goblin dan menarik mereka ke dalam kegelapan, meremukkan mereka satu per satu.
Dengan dua serangan itu, para goblin yang tersisa akhirnya jatuh, dan kelompok petualang rank C yang sempat kesulitan kini bisa bernapas lega.
Petualang Rank C 1 (dengan suara kagum): "Apa itu? Itu bukan sihir biasa... Terima kasih, anak muda. Kamu benar-benar menyelamatkan kami."
Ryo (tersenyum singkat, sambil menurunkan pedangnya): "Aku hanya ingin membantu. Tidak masalah."
Petualang Rank C 2 (masih terengah-engah): "Kamu benar-benar hebat. Nama kamu siapa? Aku rasa kamu bisa jadi petualang hebat di masa depan."
Ryo (dengan senyum percaya diri): "Nama saya Ryo. Saya sedang menuju ibukota untuk mengikuti ujian di akademi sihir."
Petualang Rank C 3 (terkesima): "Akademi sihir? Kamu pasti calon yang hebat. Semoga sukses dalam ujianmu!"
Setelah pertempuran itu selesai, Ryo melanjutkan perjalanan menuju ibukota bersama mereka. Kelompok petualang rank C itu mengawal Ryo karena mereka juga sedang dalam tugas untuk pergi ke ibukota.
---
Di Akademi Sihir - Ujian Masuk
Setibanya di ibukota, Ryo mengikuti ujian masuk akademi sihir bersama sejumlah pelamar lainnya, termasuk beberapa bangsawan yang tampaknya memiliki potensi besar dalam sihir. Ryo tak merasa terintimidasi dengan para pesaingnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan.
Ujian Tertulis
Di ruang ujian tertulis, Ryo menyelesaikan soal-soal dengan mudah. Kemampuannya untuk mengingat detail-detail dari masa lalunya, ditambah pengetahuan tentang sihir yang didapat dari pelatihan dengan ayahnya, membantunya mengerjakan soal-soal yang rumit tersebut tanpa kesulitan.
Penguji 1 (melihat Ryo selesai lebih cepat dari yang lain): "Apa ini... dia sudah selesai? Aneh... dia masih muda tapi jawabannya sempurna."
Penguji 2 (terkejut, mencatat hasil Ryo): "Luar biasa. Dia menyelesaikan semuanya dalam waktu yang sangat singkat."
Ujian Sihir
Saat ujian sihir, Ryo diminta untuk menunjukkan kemampuannya dengan menggunakan sihir dalam arena. Dia merasa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kekuatan sejatinya.
Dengan penuh konsentrasi, Ryo mengeluarkan jurus gabungan yang ia ciptakan: "Infernal Shadowflame". Api ungu menyala dan dikelilingi bayangan, membentuk sebuah ledakan besar yang melesat menuju target yang telah ditentukan. Ledakan itu mengguncang arena dan menyebabkan kerusakan yang cukup besar, membuat para penguji terkejut.
Penguji 3 (terkejut): "Itu... kekuatan api dan bayangan? Belum pernah kami lihat sebelumnya. Luar biasa!"
Penguji 1 (mengerutkan dahi, mengamati Ryo): "Jurus yang sangat kuat... Tapi, sepertinya dia masih bisa lebih baik lagi."
Ujian Berpedang
Setelah ujian sihir, Ryo dihadapkan pada ujian berpedang. Para penguji menilai keahlian berpedangnya dengan mengatur pertarungan dengan salah satu penguji berpedang di akademi.
Ryo mengayunkan pedangnya dengan lincah, menghadapi penguji dengan teknik yang sangat terampil. Dengan pergerakan yang cepat dan presisi, dia bahkan bisa mengimbangi penguji yang sudah berpengalaman.
Penguji Berpedang (tersenyum kagum setelah beberapa menit bertarung): "Kamu benar-benar luar biasa. Sepertinya, aku harus berhati-hati. Kamu sudah setara dengan penguji di sini."
Ryo (dengan senyum percaya diri, menurunkan pedangnya): "Aku hanya mencoba yang terbaik."
Percakapan dengan Kepala Sekolah dan Penguji
Setelah ujian selesai, kepala sekolah akademi sihir, bersama beberapa penguji, mengundang Ryo untuk berbicara.
Kepala Sekolah (tersenyum bijaksana): "Anak muda, namamu Ryo, kan? Kekuatan yang kamu tunjukkan luar biasa. Tidak banyak yang bisa menggunakan kombinasi sihir api dan bayangan seperti itu. Kamu adalah salah satu yang paling menonjol dari semua peserta ujian ini."
Ryo (dengan hormat, menundukkan kepala): "Terima kasih, Kepala Sekolah."
Kepala Sekolah (mengamati Ryo dengan serius): "Kami sangat terkesan dengan kemampuanmu. Kami ingin kamu bergabung dengan akademi ini. Bahkan, kami memberikanmu gelar sebagai murid terbaik di ujian ini. Saya yakin, dengan kemampuanmu, kamu akan menjadi sorotan di akademi."
Penguji 2 (setuju): "Dia memang sangat berpotensi. Tidak hanya sihirnya yang luar biasa, tetapi juga keahlian bertarungnya."
Kepala Sekolah (menyeringai): "Ryo, selamat. Kami akan melatihmu lebih jauh lagi. Kami berharap kamu bisa mencapai puncak kekuatanmu di akademi ini."
---
Ryo pun diterima di akademi sihir dengan prestasi terbaik, dan perjalanan barunya sebagai murid terbaik dimulai. Namun, ia tahu bahwa tantangan yang lebih besar menantinya di sana.
Hari Pertama di Akademi Sihir
Hari pertama Ryo di Akademi Sihir dimulai dengan suasana yang semarak. Para murid baru mengenakan seragam akademi, bersiap memulai kehidupan baru di tempat yang penuh tantangan. Namun, suasana hangat itu tak bertahan lama untuk Ryo.
Sebagai satu-satunya murid dari kalangan rakyat biasa yang masuk Kelas S—kelas elit yang dihuni bangsawan dan anak-anak berbakat—Ryo segera menjadi pusat perhatian, bukan karena pujian, melainkan cemoohan.
---
Di Dalam Kelas S
Saat Ryo memasuki kelas, para murid bangsawan langsung menatapnya dengan pandangan merendahkan. Seorang murid lelaki dengan pakaian mewah berdiri, menyindir Ryo.
Murid Bangsawan 1: "Lihat siapa yang datang... Seorang rakyat biasa di antara bangsawan? Apa dunia sudah gila?"
Murid Bangsawan 2: "Hah, bagaimana bisa dia masuk Kelas S? Jangan-jangan akademi ini sudah merendahkan standar mereka!"
Murid Bangsawan 3 (tertawa kecil): "Mungkin dia hanya beruntung di ujian. Jangan berharap dia bertahan lama di sini."
Ryo, yang sudah terbiasa menghadapi ejekan sejak kecil, hanya tersenyum tipis dan mengambil tempat duduknya tanpa membalas.
Ryo (berkata dalam hati): "Ejekan seperti ini? Tidak ada apa-apanya dibandingkan masa kecilku. Aku di sini bukan untuk membuktikan apapun pada mereka, tapi pada diriku sendiri."
Namun, ejekan itu tidak berhenti. Salah satu murid bangsawan, seorang pemuda bernama Alaric von Ferland, berdiri di depan kelas, mendekati Ryo dengan tatapan tajam.
Alaric: "Hei, rakyat biasa! Apa kau pikir bisa sejajar dengan kami hanya karena nilai ujianmu tinggi? Kenapa tidak kau tunjukkan apa yang membuatmu layak ada di sini? Aku menantangmu untuk duel!"
Suasana kelas menjadi hening. Semua mata tertuju pada Ryo, menunggu reaksinya.
Ryo (dengan tenang): "Aku tidak tertarik dengan duel bodoh. Aku ke sini untuk belajar, bukan untuk mencari masalah."
Alaric (tersenyum mengejek): "Takut, ya? Wajar saja. Seorang rakyat biasa sepertimu memang tidak akan pernah bisa melawan bangsawan."
Ejekan itu memancing tawa dari beberapa murid lain. Namun, Ryo tetap diam, mencoba mengabaikan provokasi tersebut. Tapi Alaric tidak menyerah.
Alaric: "Kalau begitu, aku akan memaksamu! Kalau kau kalah, kau harus keluar dari akademi ini!"
Ryo menghela napas panjang. Dia tahu ini tidak akan berakhir kecuali dia menerima tantangan tersebut.
Ryo (berdiri, menatap Alaric dengan dingin): "Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Tapi jangan menyesal nantinya."
---
Duel di Halaman Akademi
Para murid berkerumun di halaman akademi untuk menyaksikan duel. Kabar tentang duel ini menyebar dengan cepat, bahkan menarik perhatian beberapa kakak kelas dan guru.
Alaric (mengangkat tangannya, siap menyerang): "Aku akan menunjukkan kekuatan sihir sejati padamu, rakyat biasa!"
Dia melancarkan serangan pertama, sebuah sihir api besar yang melesat ke arah Ryo.
Alaric: "Rasakan ini, Inferno Blast! Ini akan menghabisimu dalam sekali serang!"
Namun, Ryo dengan tenang mengaktifkan sihir pelindungnya.
Ryo (dengan tenang): "Bayangan Pelindung: Umbra Aegis."
Bayangan hitam pekat muncul, membentuk perisai besar yang menahan serangan api Alaric tanpa kesulitan. Para penonton terkejut.
Murid Bangsawan 1: "Apa?! Serangan Alaric bahkan tidak melukai dia sedikit pun?"
Murid Bangsawan 2: "Apa itu sihir bayangan? Aku belum pernah melihat yang seperti itu!"
Sementara itu, Ryo bersiap melancarkan serangan balik. Dia mengangkat tangannya, membentuk bayangan yang mulai bergerak cepat, menyerang Alaric dari segala arah.
Ryo: "Bayangan Serangan: Shadow Abyss."
Bayangan itu melingkari tubuh Alaric, mengikatnya dan membuatnya tak bisa bergerak. Ryo kemudian mengarahkan serangan akhir, yang membuat Alaric tersungkur ke tanah.
Ryo (dengan suara dingin): "Aku sudah bilang, aku tidak tertarik pada duel ini. Tapi kau memaksaku."
---
Guru Datang untuk Memisahkan
Saat Alaric terjatuh, beberapa guru berlari ke tempat duel untuk menghentikan perkelahian tersebut.
Guru 1 (dengan suara tegas): "Apa yang kalian lakukan?! Duel tanpa izin? Ini melanggar peraturan akademi!"
Guru 2: "Siapa yang memulai ini? Alaric von Ferland, tentu saja... Apa yang kau pikirkan?"
Alaric (dengan wajah merah karena malu): "Aku... Aku hanya ingin mengajarinya pelajaran..."
Guru 1 (menggelengkan kepala): "Pelajaran? Sepertinya kaulah yang mendapat pelajaran di sini. Ryo, apakah benar kau terpaksa menerima tantangan ini?"
Ryo (mengangguk): "Benar, Guru. Saya sebenarnya tidak ingin bertarung."
Guru 2 (tersenyum kecil): "Bagaimanapun juga, kau menunjukkan kendali yang luar biasa terhadap sihirmu. Tidak banyak murid yang bisa melakukannya di hari pertama. Tapi kami harap, ini tidak terulang lagi."
Ryo mengangguk hormat, sementara para guru membawa Alaric pergi untuk diberi teguran.
---
Setelah Duel
Kejadian itu membuat Ryo menjadi pusat perhatian di akademi. Banyak murid yang awalnya meremehkannya kini mulai menunjukkan rasa kagum, bahkan ada beberapa murid perempuan yang penasaran padanya.
Murid Perempuan 1 (berbisik): "Dia sangat kuat... dan keren juga."
Murid Perempuan 2: "Aku ingin mengenalnya lebih dekat. Dia berbeda dari bangsawan lainnya."
Bahkan beberapa kakak kelas dari kelas lain mendekati Ryo setelah duel itu.
Kakak Kelas 1: "Hei, namamu Ryo, kan? Aku melihat duelmu tadi. Kekuatanmu luar biasa. Kalau butuh bantuan di akademi ini, hubungi aku."
Meskipun banyak perhatian yang datang padanya, Ryo tetap bersikap tenang, fokus pada tujuannya untuk belajar dan menjadi lebih kuat.
---
Penutup Bab
Hari pertama Ryo di akademi memang penuh tantangan, tapi ia berhasil menunjukkan bahwa dirinya bukan orang biasa. Dengan kemampuannya, ia perlahan mulai mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitarnya. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar masih menantinya di masa depan.