Studio Mas Ruben, Pukul 19:00"Untuk guest star kali ini, kami akan mengundang salah satu idola yang paling terkenal saat ini!"Sutradara melambaikan tangan kepadaku dari belakang panggung. Mungkin sudah saatnya aku naik ke atas sana."Idola ini juga merupakan salah satu pemeran adaptasi live action dari novel yang menjadi best seller selama 10 tahun berturut-turut, Lady Mary! Mari kita sambut idola tercinta kita, Maria Andini Jelita!"Lampu panggung mulai diarahkan kepadaku, tanda bahwa aku harus segera naik ke panggung salah satu talk show paling terkenal di Indonesia ini. Tepuk tangan gimik dari para penonton mulai ikut menghiasi naiknya aku ke panggung"Halo semuanya!" sapaku kepada seluruh penonton di studio dan di rumah. Sebenarnya, ini hanya untuk mengetes apakah mikrofonku sudah nyala atau belum."Silakan duduk, Nona Maria. Sekadar informasi untuk para penonton, Nona Maria ini sudah memiliki latar belakang selama 20 tahun di industri hiburan loh!" Canda Mas Ruben, seorang artis papan atas sekaligus pemilik acara talk show ini."Berarti aku dari bayi udah kerja dong, Mas Ruben. Umurku baru 20 tahun, loh," aku tertawa ringan, mencoba membuat lelucon garing Mas Ruben terasa lebih realistis.Meskipun hanya candaan, sebenarnya aku memang sudah berkarier selama 20 tahun di industri hiburan. Dari umur 1-5 tahun, aku menjadi brand ambassador sebuah produk bayi. Saat umur 6-10 tahun, aku menjadi model anak-anak di majalah ternama. Setelah itu, aku menjadi idol hingga dua hari yang lalu.Hingga aku mengundurkan diri dari dunia idol.Industri hiburan sangat membuatku muak. Semua hal di dunia hiburan sebenarnya sangat tidak kusukai.Mungkin kalian berpikir, bagaimana aku bisa memiliki karier di dunia ini selama 20 tahun tapi tetap tidak menyukainya? Jawabannya sederhana: ini adalah perintah ibuku, salah satu pemilik industri hiburan terkenal. Mau tidak mau, aku harus nurut. Hal ini jugalah yang membuat banyak aktor, aktris, dan idol lain iri padaku.Kembali ke panggung, aku dan Mas Ruben ngobrol sedikit, selama 15 menit, mengenai karierku sebagai idol. Titik puncak karierku adalah ketika menjadi anggota grup idol ternama, Red Ribbons. Aku tahu banyak penggemarku yang kecewa dengan keputusan mundurku dari grup tersebut 2 hari yang lalu.Tapi mungkin, akan lebih banyak lagi yang kecewa dengan apa yang akan aku umumkan hari ini."Oh iya, Maria, kali ini kita akan membahas tentang proyek film adaptasi live action dari Lady Mary. Bisakah kamu menjelaskan secara singkat tentang film tersebut?" tanya Mas Ruben mengenai proyek baruku."Boleh, Mas Ruben. Lady Mary ini adalah adaptasi live action dari novel berjudul sama karya penulis Amira. Aku sama sekali belum pernah bertemu penulisnya, tapi ceritanya membuatku sangat ingin memerankan karakter utamanya," jelasku."Jadi, kamu akan memerankan Lady Mary, tokoh utama?" Mas Ruben terkejut, tidak ada yang tahu sebelumnya kalau aku akan memerankan Lady Mary, si tokoh utama.Aku mengangguk.Aku pun berdiri dari tempat dudukku. Semua kamera, lampu panggung, dan tatapan penonton di studio tertuju padaku."Aku akan sangat senang bisa memerankan Lady Mary, seorang agen rahasia dalam novel tersebut. Nama kami pun mirip-mirip, Maria dan Mary. Penulisnya mungkin akan bahagia melihatku menghidupkan karakternya di layar lebar," jawabku sambil tersenyum."Dan..." Kalimatku tiba-tiba terputus sebentar.Suasana tiba-tiba menjadi hening."Dan apa, Nona Maria?" tanya Ruben penasaran.Aku terdiam, masih berusaha menyusun kata-kata. Studio yang tadinya diiringi suara Mas Ruben dan tepuk tangan gimik dari penonton kini hening, menunggu jawaban dariku yang masih berdiri hingga detik ini.Aku menatap Mas Ruben sejenak, lalu mengalihkan pandanganku ke arah penonton."Film layar lebar Lady Mary akan menjadi proyek terakhirku di dunia hiburan."***Di Dalam Mobil, Pukul 22:50"Itu tadi pengumuman yang mengejutkan, Neng Maria. Saya pun terkejut mendengarnya," ucap sopirku, Pak Said."Yah, nggak apa-apa, Pak. Saya sudah 20 tahun jadi artis, idol, main film. Capek," jawabku sambil membetulkan arah AC mobil yang melenceng."Neng Maria pensiun, berarti saya juga harus pensiun, Neng. Hehe," canda Pak Said. Aku tidak tahu itu candaan atau sarkasme.Aku menghiraukan lelucon Pak Said yang sedang menyetir mobil menuju tujuan berikutnya, lokasi syuting film yang sedang ramai diberitakan. Aku pun membuka tas tangan di samping kiriku, mengambil ponsel. Harusnya aku menggunakan waktu ini untuk menghafal dan mempelajari naskah Lady Mary yang baru keluar."Neng Maria, nggak mau singgah ke coffee shop dulu?" tanya Pak Said. Dia sepertinya hafal kebiasaanku."Kali ini nggak dulu, Pak. Lagi buru-buru buat syuting," jawabku singkat."Ohh, oke. Saya izin ngebut, ya," kata Pak Said sambil menaikkan kecepatan mobil.Aku kembali fokus membaca naskah."Aku adalah Lady Mary, sebuah mimpi buruk bagimu, Nyonya. Aku adalah..." Aku terus mengulang-ulang dialog ini, scene Lady Mary ke 32, mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang Lady Mary. Scene ini juga yang menjadi salah satu bagian ikonik di novel.Sebenarnya, aku tidak suka bermain film. Menjadi orang lain adalah hal yang paling sulit bagiku. Aku bahkan sudah mengirimkan surat penolakan lima kali untuk peran ini. Tapi, semua surat itu ternyata dirobek oleh orang suruhan ibuku sebelum sampai ke penulisnya, Amira.Setiap kali aku menanyakan alasannya kepada ibu, dia selalu mengatakan, "Amira itu penulis terkenal, teman dekat ibu. Kamu rugi kalau nggak main di filmnya," ucapnya dengan nada dingin yang sama setiap waktu.Aku, yang sangat ingin segera berhenti dari dunia hiburan, akhirnya terpaksa membuat kesepakatan dengan ibu: aku akan menyelesaikan film ini, lalu pensiun. Hal inilah yang membuatku tidak sabar untuk segera merampungkan proyek Lady Mary. Entah apa alasan ibu begitu menginginkan aku bermain di film ini."Akhirnya pensiun," ucapku dalam hati.Aku meregangkan badan dan menyimpan kembali ponsel berisi dialog Lady Mary ke dalam tas."Oh iya, Neng," tiba-tiba Pak Said bersuara."Kenapa, Pak?""Saya lupa menyampaikan, Nyonya Celine juga katanya hadir di lokasi syuting," ujar Pak Said.Celine? Kenapa dari sekian banyak aktor,aktris, atau idol di luar sana, harus dia yang yang berada di lokasi syuting? Apakah ia juga akan bermain peran bersamaku?"Serius, Pak? Kok saya belum tahu ya?"Pak Said menghentikan mobil saat lampu merah. Dia menatapku melalui kaca spion tengah."Saya dapat info dari teman saya, kameramen. Katanya, dia secret cast film ini."Jika saja aku tahu bahwa Celine akan terlibat dalam film ini, pasti aku menolak mentah-mentah tawaran ini sejak awal. Mungkin ini juga gara-gara ibu, yang sangat memaksaku untuk bermain di film Amira yang entah siapa dia. Jujur, sebenci apa pun aku dengan dunia hiburan, aku lebih benci dengan satu orang.Celine.Mungkin lebih baik aku tidur saja.***Di Lokasi Syuting, Pukul 23:40Aku duduk di meja rias, seperti biasa. Beberapa makeup artist segera menghampiriku, memasangkan wig, merapikan alis, dan menyapukan riasan di wajahku dengan tambahan efek visual. Sudah hampir 20 tahun aku menjalani rutinitas ini, paling sering sejak masa aku menjadi idol. Entah pagi, siang, atau bahkan tengah malam, dandan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku.Sambil menunggu, aku mengambil tumpukan naskah Lady Mary—hasil cetakan yang kuminta dari Pak Said setibanya di lokasi syuting 30 menit yang lalu. Kubaca dialogku berulang kali, meski sedikit terganggu saat harus mendongakkan wajah agar para makeup artist bisa bekerja lebih leluasa."Wah, wah, wah," suara menyebalkan itu tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku tahu betul siapa pemilik suara itu—seseorang yang paling kubenci.Suara Celine, orang paling busuk yang pernah kukenal"Kenapa, Celine?" tanyaku datar, tanpa menoleh. Kepalaku sengaja kutundukkan lebih dalam ke naskah, berpura-pura sibuk."Lihatlah, karakter utama kita ini. Sangat cantik dan jelita," katanya dengan nada memuji—atau mungkin mencemooh.Tanpa permisi, Celine duduk di kursi di sampingku. Mungkin dia sedang menunggu giliran dirias, atau lebih mungkin, dia hanya ingin memancing perhatianku. Aku meliriknya sekilas. Rambut pirangnya yang mencolok, seperti biasa, mampu menarik pandangan siapa saja di ruangan ini."Kau tahu, Maria? Aku sama sekali tidak ingin bermain di film ini. Film ini bodoh. Naskahnya? Hah, siapa pula itu Amira? Dia bahkan tidak ada di lokasi syuting adaptasi tulisannya sendiri," katanya sambil tertawa kecil.Aku menahan diri untuk tidak bereaksi. Rasanya dia tidak punya filter, bahkan untuk menghina film yang sedang kami kerjakan di lokasi syutingnya sendiri."Kalau begitu, kenapa kau tanda tangan kontrak main film ini?" tanyaku akhirnya, mencoba tetap tenang.Dia berdiri dan menghampiriku. Dengan sengaja, dia mengambil paksa naskah di tanganku hingga aku terpaksa menatapnya. Wajahnya kini tepat di depanku."Karena aku ingin menjadi musuhmu," bisiknya dengan nada penuh kemenangan.Celine tertawa kecil, terdengar seperti tokoh antagonis sungguhan. Tangannya terulur, memegang daguku dengan gerakan yang nyaris provokatif."Kau tahu, Maria? Kalau kau membenciku, aku juga membencimu—sejak kita debut idol dulu. Eh tidak, apakah dari kau jadi brand ambassador produk bayi itu? Entah lah aku lupa. Pokoknya, mari kita nikmati permainan ini. Kau pahlawannya, aku penjahatnya. Menarik, bukan?" ujarnya sinis.Aku tidak menjawab. Hanya menatapnya tajam. Di dalam hatiku, aku selalu membenci gadis ini.Gadis yang menghancurkan Red Ribbons, grup idol kami.Dia pun pergi begitu saja. Aku ingin sekali memukulnya, kepala gadis gila itu. Namun, tidak ada waktu untuk berlama-lama tenggelam dalam kebencian. Pekerjaan harus diselesaikan. Syuting dimulai. Tidak lama, beberapa adegan berhasil kuselesaikan dalam sekali take, sementara yang lain terpaksa ditunda karena berbagai alasan teknis. Aku tidak terlalu peduli dengan detailnya. Yang ada di pikiranku hanya satu: semakin cepat syuting ini selesai, semakin lega rasanya aku bisa menjauh dari Celine dan semua rasa benciku padanya."Lady Mary, scene 32. Nona Maria, Nona Celine, bersiap di posisi!" teriak sutradara.Aku melangkah ke tempatku, diikuti Celine yang berperan sebagai Revenger, musuh utama Lady Mary dalam cerita ini. Adegan ini sederhana tapi intens—Revenger akan menembakku dengan sebuah revolver properti syuting. Dari sudut mataku, kulihat senyumnya yang mengerikan. Aku tidak tahu apakah dia terlalu menjiwai perannya atau benar-benar menikmati momen ini."M. A. R. I. A," bisiknya dari kejauhan, cukup untuk membuat bulu kudukku berdiri."Lady Mary, scene 32," suara sutradara mengisi ruang studio."Tiga.""Dua.""Satu.""ACTION!"Tiba-tiba, suara tembakan revolver memecah keheningan.DORR!***