Pada sore menjelang malam di hari minggu yang teramat suram. Harin menghela napasnya berat untuk menjalani sisa hidup yang seterusnya akan diatur oleh Ibu tiri yang telah menjual tubuhnya kepada seorang psikopat.
Pria yang terduga telah membunuh orangtuanya dan hidup sendirian di ujung kota. Harin akan menjadi pengurus psikopat tersebut atau menjadi bahan mutilasi selanjutnya. Ibunya akan mengabari dia sebulan sekali jika Harin masih hidup, katanya.
Harin merunduk, meratapi kedua kaki telanjang memarnya dengan tetesan darah mengucur dari pelipis. Entah sampai kapan, ia harus bertahan menghadapi siksaan dari ibu tirinya.
Ayahnya pun sudah tidak peduli apa dia masih hidup atau sudah menyusul ibunya yang meninggal tanpa sebab.
Dilaporkan dari rumah sakit, ibunya terkena serangan jantung saat terpleset di kamar mandi. Namun selama ini, Harin lebih mengetahui apapun mengenai beliau, Ibunya sehat dan tidak mungkin terkena serangan jantung. Terakhir kali, Ibunya terlelap tidur di meja tempat ia menulis naskah terakhirnya. Namun Ayahnya juga tidak mau menyelidiki kematian ibunya lebih lanjut.
Pandangan Harin semakin mengabur, napasnya memendek sebab ia pun belum diberi makan selama lima hari di ruang sekap yang hanya di lengkapi lampu kuning temaram dan juga toilet saja.
Sampai akhirnya ia bisa memejamkan mata tenang, melepas semua rasa sakit yang ia derita. Harin yang tengah dilanda keputusasaan ini pun, terkejut saat air menyiprat—jelas, memberikan tamparan yang membuat tubuhnya basah kuyup seketika.
Bersama dengan lemparan sebuah buku peninggalan ibunya yang menghantam tubuh, Harin dengan cepat memeluk buku tersebut sebelum ibu tirinya merampas kembali, benda kesayangan Harin. Buku berisikan naskah kerajaan Cadfael yang belum selesai ibunya tulis.
"Mandi dan bersiap berangkat," ucap Ibu tirinya. Harin menggigil saat air yang sepertinya di campur garam itu telah meresap masuk ke semua luka yang membuat tubuhnya terasa sangat perih.
Ia juga baru menyadari, jika ada satu presensi manusia yang datang bersama dengan ibunya, tatkala sepatu pentopel hitam itu mendekati dirinya. Harin lantas menengadah, saling mematri atensi dengan seorang psikopat yang akan menjadi dunia penderitaan baru untuknya.
"Kau ikut aku malam ini," jelasnya dingin. Hawa membunuh terhantar mengerikan sampai di telinga Harin yang hanya mengangguk pasrah.
"Anda mau makan malam dahulu sembari menunggu Harin bersiap?" tawar Sabrina.
"Aku langsung pergi sekarang, tunggu diluar," timpalnya. Harin lantas memaksakan diri untuk segera bangkit, sebab tuan barunya tidak mau menunggu dia untuk membersihkan diri. Sabrina pun meninggalkan kedua insan yang tersisa di ruangan untuk berbincang sebentar.
"Panggil aku Nathan," ucapnya memperkenalkan diri. Sontak saja, hal tersebut membuat Harin terkejut, sebab Nathan adalah tokoh utama yang ibunya tulis di buku peninggalan terakhirnya.
Kisah pangeran perang yang bersaing dengan kedua saudaranya untuk menjadi kepala keluarga di kerajaan Cadfael.
"Hmm?"
"Namamu?" tanya Nathan.
"Harin..." Lagipula, nama Nathan bukan hanya ada di naskah yang ibunya tulis saja. Kenapa Harin sampai berdebar dan seterkejut ini.
"Okay, dengarkan aku. Aku mempunyai seorang paman yang selalu menginginkan semua milikku. Baru-baru ini, aku tidak sengaja menabrak seorang wanita yang memakai gaun tempo jaman dulu. Entah siapa, yang jelas dia cantik dan aku tidur dengannya, kemudian saat aku bangun dia menghilang," jelas Nathan.
Harin berkedip polos dengan tetesan air menetes dari pakaiannya. Rasanya pria ini tidak cocok menjadi tipe manusia banyak bicara.
"Pamanku mendengar kabar aku mempunyai wanita. Dia menginginkannya, entah menjadi budak atau mungkin dia bunuh aku tidak tahu, yang jelas dia mau apapun milikku."
"Lalu? Hubungannya denganku?" rintih Harin lemas.
"Pamanku mau bertukar, senjata dengan wanita yang tidur denganku. Tapi aku kehilangan dia. Jadi kucari wanita di tempat bordir. Lalu kutemukan foto wanita yang mirip dengannya, calon jalang yang akan hadir minggu depan," jelasnya. Nathan mematri atensi intens pada Harin yang sudah mengetahui inti maksud dari yang dibicarakan pria ini.
"Aku mengerti, aku wanita yang mirip dengan wanita yang tidur denganmu, lalu kamu menemukan foto aku di rumah bordil. Ibuku akan menjual aku ke rumah bordil minggu depan, tapi karena kamu datang, jadinya ibu menjual aku padamu, dan kamu akan menggunakan aku untuk bertukar dengan senjata, lalu aku jadi budak atau bisa saja di bunuh pamanmu, begitu?"
Nathan menganggukkan kepala, seringaian Harin juga langsung terpancar dengan jelas. Betapa sangat, tidak berartinya hidup dia sekarang ini. Seperti boneka saja.
"Aku tidak akan memaksa, kau bisa pilih, berguna untukku, atau menjadi jalang minggu depan," jelasnya. Harin terkekeh dengan getir, mataya berkaca-kaca seolah semesta sungguh tidak peduli dengan rasa sakitnya.
"Menurutmu, apa aku punya pilihan?" rintihnya. Nathan tidak punya waktu untuk mengasihani orang, ia pun kesulitan mengasihani diri sendiri. Rintihan Harin tidak cukup untuk membuatnya luluh hanya dalam waktu singkat.
"Ayo," ajaknya. Nathan meraih jemari lengan Harin yang masih memeluk buku ibunya. Membawa Harin keluar dari penderitaan untuk masuk ke lubang neraka berikutnya.
Genggaman lengan Nathan sangat lembut dan hangat, sampai membuat Harin tidak kuat menangisi keadaan dirinya.
Mereka berdua akhirnya keluar dari ruang bawah tanah keluarga Harin. Memasuki mobil seorang pengusaha makanan beku, yang entah kenapa bisa berurusan dengan senjata ilegal.
Harin memasang sabuk pengaman tatkala Nathan masih berbicara dengan ibunya dan menyerahkan sekoper uang. Ia menggulirkan pandangan kepada supir yang tiba-tiba saja mengulas senyum jahat saat hanya ada mereka berdua di dalam kendaraan tersebut.
"Jadi, ini wanita yang berhasil menarik perhatian Nathan?" gumamnya. Harin melebarkan manik, sebab pengawal tersebut menurunkan kaca mobilnya dan mengarahkan moncong pistol kepada Nathan, hingga satu tembakan cepat yang mengenai jantung Nathan langsung memecahkan suasana sebab Sabrina menjerit.
Sedetik kemudian, peluru menembus kepala ibunya, kejadian ini begitu cepat, sampai Harin tidak bisa mencerna situasi yang terjadi, sebab kini, moncong pistol juga mengarah ke pelipis memarnya. Harin memeluk erat buku berisikan naskah cerita yang belum ibunya selesaikan sampai beliau meninggal.
"Selamat tinggal." Harin memejamkan mata tatkala peluru pistol menembus kepalanya. Dunia terasa sunyi sebab kedamaian menyergapnya dalam waktu singkat. Rasanya cukup menyenangkan dan menyedihkan. Harin merasa lega ia tidak perlu merasakan sakit lagi.
Tapi kematiannya juga, cukup membuat ia kecewa karena Harin ingin menyelesaikan naskah yang ibunya buat. Akan tetapi, maut lebih cepat menjemputnya dan ia tidak punya kesempatan untuk menjalani hidup dengan layak.
***
"Nona Harin..." sayup-sayup terdengar suara seorang wanita memanggil dirinya.
"Nona!" bentak pelayan. Harin sontak terkejut, ia bangkit —terengah tatkala kebisingan pun meriuhkan gendang telinganya. Sorak ramai dan suara gendang serta peluit membuat jantung Harin ikut berdebar cepat.
"Bangun Nona, kita terlambat untuk festival."
"Festival?" Harin memperhatikan suasana ruangan asing yang cukup membuatnya mengerutkan kening, ia ingat, terakhir kali, dirinya ditembak oleh musuh Nathan yang menyamar menjadi supir.
Ia juga memperhatikan dirinya yang terbalut dengan jubah putih dan rambut panjang yang tergerai urak-urakan. Kasur nyaman dengan nuansa modern klasik ini semakin sukses besar membuat Harin semakin kalang kabut.
"Ayo nona, saya akan siapkan gaun paling cantik untuk Nona di festival."
"Festival apa?" tanya Harin.
"Festival kemenangan perang kerajaan Cadfael yang dipimpin Jendral keluarga Virendra Fael. Tuan Nathan."
"Hah?!" Harin kelabakan, ia tidak mengerti dengan situasi yang terjadi sekarang ini. Karena seingatnya. Festival kemenangan perang dan kerajaan Cadfael maupun keluarga Virendra Fael hanya ada di naskah yang ibunya tulis sebelum meninggal.
"A-aku... Siapa?" tanya Harin.
"Tentu saja pewaris tunggal keluarga Narendra Fael. Anda lupa? Sepertinya demam tinggi yang anda alami semalam membuat anda linglung. Nona."
"Hah? Aku...? Tuan Puteri?"
To Be Continued...