---
Suasana kampus pagi itu tidak berbeda jauh dengan hari-hari sebelumnya.
Hyejin melangkah perlahan melewati gerbang utama, dengan tas punggung di bahu dan rambut panjang yang tergerai rapi. Suara langkah kakinya berpadu dengan hiruk-pikuk mahasiswa lain yang sibuk memulai aktivitas mereka. Ia tak terlalu peduli dengan keramaian itu. Semua yang ada di sekitarnya terasa begitu biasa, begitu sering ia lewati—hingga ia tak lagi merasa perlu untuk menatapnya dengan sepenuh hati.
Setelah beberapa jam penuh dengan pelajaran yang memeras otak, bel istirahat akhirnya berbunyi, memberi kesempatan bagi para mahasiswa untuk sedikit melepaskan penat. Hyejin menuruni tangga dengan langkah ringan, diikuti oleh dua sahabatnya, Mi Sun dan Yoon Hee. Ketiganya berjalan ke kantin kampus yang terletak di sudut gedung. Udara segar yang datang dari luar membawa sedikit kelegaan, dan sejenak Hyejin merasa bisa menghirup napas dengan lebih lega.
"Yah, akhirnya bisa makan dengan tenang!" Mi Sun berkata sambil menepuk perutnya yang mulai berbunyi. "Aku lapar banget, dari tadi cuma mikirin tugas!"
Yoon Hee, yang biasanya lebih cerewet, mengangguk setuju. "Iya, kita harus cepat-cepat cari tempat duduk. Kalau nggak, nanti nggak kebagian meja!" Ia berjalan lebih cepat, seolah sudah tahu betul betapa penuh sesaknya kantin itu.
Hyejin hanya tersenyum tipis, mengikuti langkah mereka. Ia tak merasa begitu terburu-buru untuk duduk atau makan. Baginya, makan di kantin adalah rutinitas yang sudah tidak menarik lagi, namun ia selalu menikmatinya karena ini adalah waktu yang bisa ia habiskan bersama sahabat-sahabatnya.
Setibanya di kantin, mereka duduk di meja pojok dekat jendela. Mi Sun segera memesan makanan, sementara Yoon Hee memulai obrolan ringan tentang tugas-tugas yang menumpuk. Hyejin menatap mereka sekilas, namun pikirannya mulai mengembara, memikirkan hal-hal lain yang seringkali tak ia ungkapkan. Ia selalu merasa sedikit terasing dari keramaian yang ada di sekitarnya. Meskipun dikelilingi teman-temannya, ada bagian dari dirinya yang sering merasa kesepian.
Yoon Hee yang menyadari Hyejin sedang tidak terlalu fokus, menoleh dan bertanya, "Hyejin, kamu oke? Kamu kok kelihatan jauh banget pikirannya?"
Hyejin tersenyum sedikit, mengangkat bahunya. "Aku hanya lelah saja," jawabnya pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai mengusik hatinya.
Tiba-tiba, suara riuh mulai terdengar dari arah pintu masuk kantin. Sejumlah mahasiswa berlarian, mata mereka berbinar-binar dengan semangat. Mi Sun dan Yoon Hee pun terdiam, mengikuti arah pandangan mereka yang mengarah ke tengah kantin.
"Ada apa, ya?" Mi Sun bertanya sambil berdiri dan melongokkan kepalanya.
Yoon Hee juga ikut berdiri, penasaran. "Apa ada acara spesial?"
Tepat saat itu, seorang pengurus acara datang ke tengah kantin dan berteriak, "Grup idola terkenal akan tampil di kampus kita hari ini! Jangan lewatkan kesempatan ini!"
Mi Sun dan Yoon Hee langsung menatap satu sama lain dengan mata berbinar. Mereka berdua histeris, berteriak hampir bersamaan, "Aduh, beneran?! Idolnya bakal tampil di sini?! Kita harus nonton!"
Mereka lalu berbalik ke arah Hyejin yang masih duduk tenang. "Hyejin, kita nonton, ya!" Mi Sun menyeru sambil menarik tangan Hyejin.
Hyejin hanya mengangkat bahu, sedikit acuh. "Tapi kita belum makan," ujarnya dengan suara lembut, berusaha menahan diri.
Namun, Yoon Hee sudah tidak sabar lagi. "Ayo dong, cuma sebentar! Kita bisa makan nanti!" Ia terus menarik-narik tangan Hyejin.
"Ya, ya," akhirnya Hyejin mengalah. Walaupun sebenarnya dia tidak terlalu tertarik, ia tahu betul bahwa sahabat-sahabatnya akan terus memaksanya, dan ia tidak mau membuat mereka kecewa.
Mereka bertiga akhirnya bergerak menuju ruang teater yang disediakan untuk acara tersebut. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh mahasiswa lain yang tampak antusias, namun Mi Sun dan Yoon Hee berhasil mendapatkan tempat duduk di barisan paling depan, sedangkan Hyejin ikut duduk di samping mereka meski agak ragu.
Sementara mereka menunggu, Hyejin merasakan ketegangan dalam dirinya. Di tengah kebahagiaan sahabat-sahabatnya, pikirannya teralihkan dengan sebuah pesan masuk dari pamannya. Dengan cepat, ia mengeluarkan ponselnya dan melihat pesan yang membuat hatinya terhenyak.
"Hyejin, tolong cepat pulang setelah ini. Nenek sedang sakit, paman harus bekerja dan tidak bisa menjaganya.
Wajah Hyejin mendadak serius. Ia mengetik balasan singkat:
"Aku akan segera pulang setelah acara selesai."
Setelah mengirim pesan, Hyejin kembali menatap ke depan, berusaha menenangkan pikirannya. Tiba-tiba, sebuah suara yang tak asing terdengar di telinganya. Jantung Hyejin berdetak lebih cepat, dan perlahan ia mengangkat kepalanya, mengarahkan pandangannya ke panggung.
Dan benar saja, di atas panggung itu, berdiri seorang pria yang tidak asing bagi Hyejin—Na Jun, sosok yang selama ini ia kagumi. Selama ini, ia hanya bisa melihatnya di layar Hp dan Tv, namun sekarang, di hadapannya, ada Na Jun yang sedang berdiri di atas panggung.
Hatinya berdebar lebih kencang, dan ia hanya bisa terdiam, menatap pria itu dengan pandangan yang begitu dalam. Semua suara di sekitarnya—teriakan sahabatnya, sorakan mahasiswa lain—seolah menghilang begitu saja. Hyejin hanya fokus pada Na Jun.
Tiba-tiba, Na Jun secara tidak sengaja menoleh ke arah barisan depan, dan matanya bertemu dengan mata Hyejin. Tanpa sadar, senyuman kecil terukir di wajahnya, dan itu membuat hati Hyejin semakin berdebar. Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya terperangah menatap senyuman itu.
tiba-tiba Hyejin teringat dengan oesan pamannya. Meskipun acara di depan matanya berlangsung begitu meriah, Hyejin masih merasa sedih mengingat nenek nya yang sedang sakit. ia tidak benar-benar bisa sepenuhnya menikmati momen itu. Ketika melihat kedua sahabatnya yang duduk dengan penuh semangat, hatinya tiba-tiba dipenuhi dengan kerisauan. Sahabat-sahabatnya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidupnya.
Hyejin tahu betul bahwa ia harus menjaga neneknya yang sudah lanjut usia, sementara pamannya yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hyejin telah terbiasa dengan beban itu sejak kecil, namun kali ini, entah kenapa, ia merasa lebih tertekan, Mungkin karena sosok nenek yang selama ini kuat dan tangguh baginya jatuh sakit. Namun, meskipun semuanya tampak begitu berat, ia tetap berusaha untuk tersenyum dan menjaga segala sesuatunya tetap baik-baik saja termasuk di hadapan sahabat-sahabat yang begitu ceria dan penuh semangat.
PERTEMUAN TAK DI DUGA
Setelah acara selesai, Hyejin segera berpamitan kepada kedua sahabatnya. Ia tersenyum tipis sambil berkata, "Aku pulang duluan, ya. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan di rumah."
Mi Sun menatapnya dengan raut penasaran. "Kamu nggak mau minta tanda tangan atau foto dulu sama mereka? Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali, lho!"
Namun, Hyejin hanya menggeleng pelan. "Nggak usah. Lain kali saja kalau ada kesempatan lagi. Aku benar-benar harus segera pergi," jawabnya singkat, mencoba meyakinkan sahabatnya.
Yoon Hee mengangguk dengan wajah sedikit kecewa. "Baiklah, hati-hati di jalan, ya."
"Terima kasih, kalian juga," balas Hyejin sambil melambaikan tangan, lalu melangkah cepat keluar dari keramaian.
Hyejin mulai berlari secepat mungkin, hatinya penuh kekhawatiran. Ia memikirkan neneknya yang sedang sendirian di rumah. Namun, di tengah jalan, tanpa diduga—brukk!!!
Hyejin menabrak sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang.
Ia terjatuh ke belakang, namun segera berdiri dan membungkukkan badan sambil meminta maaf tanpa melihat siapa yang ditabraknya. "Maaf, saya tidak senga...ja..."
Saat Hyejin mendengok, matanya membulat. Di depannya berdiri Na Jun, pria yang baru saja ia lihat di atas panggung.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Na Jun ramah.
Hyejin hanya terdiam, masih terkejut.
"Halo?" Na Jun melambaikan tangannya di depan wajah Ji Eun, mencoba mengembalikan kesadarannya.
"Aku... maaf," Hyejin akhirnya bicara, lalu buru-buru pergi tanpa menoleh lagi.
Na Jun, yang masih berdiri di tempatnya, hanya bisa mengerutkan kening. "Aneh sekali... gumamnya dengan nada bingung.
----
Sesampainya di rumah, Hyejin langsung masuk ke kamar neneknya untuk melihat keadaannya namun tidak menemukan neneknya di kamar, lalu ia mencari dan memanggil neneknya.
"Nek! Nenek di mana?"
Tidak ada jawaban. Hyejin mulai panik. Ia mencari neneknya di setiap sudut rumah—dapur, ruang tamu, bahkan halaman belakang. Namun, neneknya tidak ada di sana.
Akhirnya, Hyejin membuka pintu kamarnya sendiri, dan di sana ia melihat neneknya sedang membereskan kamar yang berantakan.
Hyejin mendekat dengan napas yang masih terengah-engah.
"Nenek, apa yang nenek lakukan di sini?"
Neneknya menoleh dan tersenyum kecil.
"Aku hanya membereskan kamarmu. Berantakan sekali, Hyejin. Anak perempuan itu harus bersih dan rapi."
Hyejin merasa bersalah.
"Iya, Hyejin tahu... tapi nenek nggak perlu melakukannya. Harusnya nenek istirahat. Nenek kan lagi sakit,"
ucap Hyejin dengan nada cemas.
Namun, neneknya hanya tersenyum hangat, mencoba menenangkan cucunya.
"Nenek tidak apa-apa, Nak. ucap nenek yang tidak ingin cucunya khawatir."
Hyejin duduk di tepi kasur, menggenggam tangan neneknya dengan lembut.
"Nenek, Hyejin nggak mau nenek sakit tambah parah. Mulai sekarang, biar Hyejin saja yang membereskan semuanya, ya."
Neneknya menatap Hyejin dengan penuh kasih sayang. "Baiklah, kalau itu bisa membuatmu tenang. Tapi jangan lupa, kamu juga harus menjaga kesehatanmu, Nak."
"Iya, Nek. Hyejin janji," jawab Hyejin dengan senyuman tipis.
Dalam hati, Hyejin bersyukur karena neneknya masih ada di sisinya. Ia bertekad untuk menjadi lebih kuat dan tidak akan membiarkan neneknya merasa terbebani lagi.
---
Setelah mengantar neneknya beristirahat, Hyejin segera mengganti pakaian dan bersiap untuk menyiapkan makan malam. Ia masih merasa cemas memikirkan kondisi neneknya, namun harus tetap melanjutkan tugasnya di rumah. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan pamannya, yang baru pulang dari bekerja, masuk dengan wajah yang tampak lelah dan sedikit murung.
"Hyejin, nenek sudah makan dan minum obat?" tanya pamannya dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.
"Belum, paman. Aku baru saja menyiapkan bubur untuknya dan akan segera memberinya obat," jawab Hyejin, sambil mengatur peralatan di dapur.
"Baiklah..." jawab pamannya, sambil menunduk sedikit. Hyejin merasa ada yang aneh dengan sikap pamannya. Biasanya, pamannya tidak pernah tampak seperti ini.
Hyejin merasa bingung dan bertanya dengan hati-hati, "Paman, apakah paman baik-baik saja? Apa ada masalah?"
Namun, pamannya hanya tersenyum lemah dan berkata, "Tidak ada, Hyejin. Jangan khawatirkan paman."
Setelah memberikan bubur dan obat kepada neneknya, Hyejin kembali ke dapur dan mengajak pamannya makan malam. "Paman, ayo makan malam," ajaknya.
"Baik, paman akan segera datang," jawab pamannya, meski dengan wajah yang masih tampak lesu.
Mereka duduk bersama di meja makan, suasana yang biasanya nyaman terasa sedikit hampa. Sambil makan, pamannya bertanya, "Bagaimana kuliahmu, Hyejin? Semua baik-baik saja?"
"ya, paman. Semua baik-baik saja," jawab Hyejin dengan senyuman tipis.
Pamannya mengangguk, lalu berkata dengan serius, "Bagus. Kamu harus belajar dengan giat, Hyejin. Belajar yang keras agar sukses di masa depan, agar tidak seperti paman ini."
Hyejin memandang pamannya dengan tatapan penuh hormat. "Bagi Hyejin, paman adalah orang yang sukses. Paman pekerja keras, paman mencukupi kebutuhan kami, merawat nenek dan aku dengan baik. Jika ada kehidupan selanjutnya, aku ingin bertemu orang seperti paman."
Ucapan Hyejin membuat pamannya terdiam, lalu ia tersenyum dengan wajah yang sedikit sedih. Ia menunduk, menyembunyikan perasaan yang begitu berat di dalam hatinya. Sesungguhnya, pamannya baru saja dipecat dari pekerjaannya karena difitnah oleh teman kerjanya sendiri. Namun, pamannya memilih untuk menyimpan semuanya dan tidak ingin membuat Hyejin dan neneknya khawatir.
---
Setelah selesai makan malam, Hyejin mencuci piring dan sendoknya lalu meletakkannya.
lalu berkata. "Paman, aku sudah selesai makan. Aku akan menjenguk nenek dulu, lalu kembali ke kamar untuk belajar," ucap Hyejin sambil tersenyum.
Pamannya mengangguk dengan wajah penuh perhatian. "Baiklah, jangan lupa untuk beristirahat yang cukup setelah belajar, ya."
Hyejin mengangguk. "Iya, paman. Paman juga, ya. Jaga kesehatan," jawabnya dengan lembut, lalu melangkah menuju kamar nenek.
Pamannya hanya tersenyum kecil dan mengangguk, meski perasaan berat masih menghantuinya. Ia tahu betapa kerasnya Hyejin berusaha untuk mengimbangi semua tugasnya di rumah, sekaligus kuliah. Namun, pamannya juga khawatir tentang dirinya sendiri—terutama dengan keadaan yang semakin tidak pasti.
Hyejin membuka pintu kamar nenek, lalu masuk dengan hati-hati."
Neneknya tersenyum lembut. "Terima kasih, Nak. Nenek sudah merasa lebih baik."
Hyejin duduk di samping ranjang nenek, menatapnya dengan penuh perhatian. Setelah nenek selesai makan, Hyejin kembali keluar dan menuju kamarnya, siap melanjutkan belajarnya dengan tekun. Namun, di dalam hati, ia tak bisa menahan kekhawatirannya tentang keadaan nenek dan pamannya.
Hyejin membuka pintu kamar nenek dan masuk dengan hati-hati. Ketika melihat neneknya yang sudah tertidur nyenyak, Hyejin mendekat dan duduk di tepi ranjang. Dengan lembut, ia memegang tangan neneknya yang sudah menua, merasakan kehangatan dari tangan yang selalu memberi kasih sayang tanpa syarat.
"Nek, Tuhan itu adil ya" ucap Hyejin,
"Tuhan mungkin tidak memberikan aku orang tua yang baik, tapi Dia memberi aku paman dan nenek yang sangat baik sebagai penggantinya."
Selama ini, Hyejin selalu merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki orang tua lengkap, merasakan kasih sayang orang tua yang hangat dan penuh perhatian.
"Hyejin sering bertanya-tanya dalam hati, Mengapa aku? Apa salah aku? Apakah Tuhan membenciku?
Hyejin juga ingin merasakan kasih sayang seperti yang dirasakan anak-anak lain, bisa berbagi kebahagiaan dengan orang tua mereka."
"Tanpa hyejin sadari , selama ini hyejin telah menerima kasih sayang itu, kasih yang luar biasa dari paman dan nenek, Kasih sayang begitu besar."
"Terima kasih, Nek, sudah menyayangi Hyejin," ujar Hyejin dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maafkan Hyejin yang sering merepotkan dan membuat khawatir paman dan nenek. Selamat tidur, Nek, semoga cepat sembuh ya."
Dengan lembut, Hyejin mencium kening neneknya, merasakan kehangatan dan kedamaian yang memeluk hatinya. Meskipun hidup tidak selalu seperti yang ia harapkan, ia tahu ada cinta yang tulus di sekitarnya—dari paman dan nenek yang selalu mendukungnya, tanpa pernah mengeluh.
---
Pamannya yang sedari tadi berdiri di luar pintu kamar nenek, memperhatikan Hyejin dengan hati-hati. Ia mendengar dengan jelas setiap kata yang terucap dari mulut Hyejin. Dengarannya begitu tulus, penuh haru, dan penuh rasa syukur meskipun hidupnya tidak seperti yang diinginkannya. Mendengar itu, air mata mulai menetes di pipi pamannya, yang selama ini berusaha keras untuk tidak membuat Hyejin tahu akan kesedihannya.
Pamannya merasa kasihan dengan Hyejin, merasa begitu berat hati melihat cucunya yang begitu malang. Meski Hyejin tidak pernah mengeluh, pamannya tahu betul betapa sulitnya hidup bagi Hyejin yang telah di tinggalkan orang tuanya yang tidak bertanggung jawab, dan harus bergantung pada orang yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Namun, di balik kesulitan itu, Hyejin selalu berusaha tegar dan tidak pernah menyusahkan siapa pun. Hal itu membuat hati pamannya semakin teriris, karena meskipun hidupnya penuh tantangan, Hyejin selalu menunjukkan rasa syukur yang besar.
Dengan perasaan berat, pamannya berbalik dan perlahan pergi menuju ruang tamu, mengusap air mata yang jatuh. Ia berdoa dalam hati agar Hyejin selalu diberi kekuatan, kebahagiaan, dan selalu bertemu orang orang baik yang menyainginya di sekelilingnya.
---
Setelah beberapa saat, Hyejin kembali ke kamarnya untuk belajar. Ia duduk di meja belajarnya dengan penuh konsentrasi, mencoba mengerjakan tugas kuliah yang sudah menumpuk. Hyejin berusaha keras untuk fokus pada pelajaran. Malam itu, ia bertekad untuk belajar dengan sungguh-sungguh, meski tubuhnya mulai merasa lelah.
Setelah beberapa jam belajar, Hyejin akhirnya merasa ngantuk. Ia menutup bukunya dan meregangkan tubuh. Dengan langkah perlahan, Hyejin menghapus sisa-sisa rasa lelah dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tak lama kemudian, ia terlelap dalam tidur yang tenang, merasa sedikit lebih ringan, dengan perasaan penuh syukur meskipun hidupnya penuh cobaan.
NEXT>>>