Suara gemuruh memenuhi ruangan ketika lantai batu di bawah mereka retak semakin lebar. Cahaya dari ukiran di dinding semakin menyilaukan, menciptakan bayangan-bayangan bergerak yang membuat suasana terasa semakin mencekam. Elios, Alira, dan Dren berdiri dengan kewaspadaan penuh, sementara sosok penjaga raksasa itu melangkah mendekati mereka, membuat tanah di bawahnya bergetar.
"Kalian akan menghadapi ujian keberanian dan kekuatan!" suara penjaga bergema, terdengar seperti guntur yang memecah kesunyian.
Elios menelan ludah, tetapi ia mencoba mempertahankan senyum percaya dirinya. "Ujian? Kami sudah siap. Jadi, apa yang harus kami lakukan?"
Penjaga itu mengangkat tangan besar berbentuk logam, dan cahaya merah mulai berputar di sekelilingnya. Tiba-tiba, ruangan itu berubah bentuk. Altar dan patung-patung di sekitarnya lenyap, digantikan oleh arena berbentuk lingkaran dengan dinding tinggi yang melingkari mereka. Di tengah arena, sebuah simbol bercahaya menyerupai daun fantasi terukir di lantai.
"Untuk melewati ujian ini, kalian harus mengalahkanku," kata penjaga, matanya bersinar merah terang. "Hanya yang memiliki keberanian sejati yang layak mendapatkan rahasia Pulau Kayangan."
Dren segera maju, menghunus pedangnya. "Baiklah, kalau itu maumu. Ayo, kita akhiri ini."
"Elios," bisik Alira, menarik perhatian pemuda itu, "kita harus bekerja sama. Jangan gegabah. Kekuatanmu mungkin dibutuhkan."
Elios mengangguk, meskipun ada keraguan di wajahnya. Ia tahu bahwa kekuatannya dari daun fantasi masih sulit dikendalikan. Tetapi sekarang bukan waktunya untuk meragukan dirinya sendiri.
Penjaga itu menggeram, dan tubuhnya mulai memancarkan aura merah. Dengan kecepatan yang tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar, ia melompat ke tengah arena dan menghantam tanah dengan tinjunya. Gelombang kejut menyebar, memaksa Elios dan teman-temannya melompat mundur.
"Serangannya cepat!" seru Dren, sambil melompat maju. Dengan satu ayunan cepat, pedangnya mengenai lengan penjaga, tetapi suara denting logam terdengar, dan pedang itu terpental.
"Tubuhnya sekeras baja!" Dren mengumpat, mencoba mencari celah.
Penjaga itu berbalik dengan cepat, mencoba menghantam Dren dengan tinju raksasanya. Namun, Alira bergerak dengan gesit, menarik Dren mundur tepat waktu.
"Kita tidak bisa melawannya dengan kekuatan fisik saja," kata Alira, menarik busur panah kecil dari punggungnya. Ia melepaskan anak panah ke arah mata penjaga, tetapi penjaga itu dengan mudah memblokirnya menggunakan lengannya.
Elios berdiri di belakang, mengepalkan tangan. Ia merasakan energi daun fantasi dalam dirinya, tetapi kekuatan itu terasa seperti api liar—berbahaya dan sulit dikendalikan.
"Aku harus mencoba," gumamnya. Ia menutup matanya sejenak, mencoba memusatkan pikirannya. Ia membayangkan daun fantasi itu, mengingat bagaimana kekuatan itu mengalir di tubuhnya.
"Elios! Cepat bantu kami!" seru Dren, yang terpojok oleh penjaga.
Elios membuka matanya, dan cahaya hijau samar mulai bersinar dari tangannya. "Baiklah. Ayo coba ini!"
Dengan satu gerakan, Elios melompat ke depan. Ia mengangkat tangannya, dan dari telapak tangannya, muncul angin kencang yang berputar seperti badai kecil. Penjaga itu terhenti sejenak, matanya menatap Elios dengan penuh kewaspadaan.
"Anak daun fantasi..." gumam penjaga itu, suaranya terdengar berbeda kali ini, seperti ada rasa hormat.
Elios tidak berhenti. Ia melompat ke arah penjaga, angin di sekitarnya semakin kuat, menciptakan tekanan yang membuat penjaga itu harus mundur beberapa langkah. Dengan satu pukulan kuat, Elios mengarahkan badai angin itu langsung ke dada penjaga.
BOOM!
Penjaga itu terlempar ke belakang, menghantam dinding arena. Namun, ia tidak tampak terluka. Sebaliknya, ia tertawa, suaranya menggema di seluruh ruangan.
"Hahaha! Anak muda, kau memang memiliki kekuatan yang luar biasa," kata penjaga, bangkit dengan mudah. "Tapi itu belum cukup untuk mengalahkanku."
Elios terengah-engah, merasa energinya terkuras. "Kenapa dia tidak terluka sama sekali?" gumamnya, frustrasi.
"Karena kekuatanmu belum lengkap," jawab penjaga, matanya bersinar lebih terang. "Ujian ini bukan hanya tentang kekuatan fisik atau keberanian. Ini tentang memahami apa yang kau miliki. Jika kau tidak mengerti kekuatanmu, kau tidak akan pernah bisa melewati ujian ini."
Elios terdiam, mencoba mencerna kata-kata penjaga. Alira mendekatinya, meletakkan tangan di bahunya. "Elios, dengarkan aku. Jangan fokus pada apa yang kau tidak bisa kendalikan. Fokus pada apa yang kau rasakan. Biarkan kekuatan itu membimbingmu."
Elios mengangguk perlahan. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan energi dalam dirinya. Kali ini, ia tidak mencoba memaksa kekuatan itu keluar. Sebaliknya, ia membiarkan kekuatan itu mengalir dengan sendirinya.
Cahaya hijau di sekitarnya menjadi lebih terang, dan angin mulai berputar lembut di sekelilingnya. Ia membuka matanya, dan seketika, penjaga itu berhenti bergerak. Matanya yang merah perlahan memudar.
"Sudah cukup," kata penjaga, suaranya berubah menjadi tenang. Ia membungkuk hormat. "Kau telah menunjukkan bahwa kau mulai memahami kekuatanmu. Ujian ini berakhir."
Ruangan itu kembali berubah. Arena lenyap, dan mereka kembali berdiri di depan altar dengan artefak kecil yang bercahaya.
"Ambillah artefak itu," kata penjaga. "Ini adalah kunci untuk perjalananmu selanjutnya. Tapi ingat, perjalananmu baru saja dimulai."
Elios melangkah maju, mengambil artefak itu. Benda itu terasa hangat di tangannya, seperti menyimpan energi yang sangat besar. Ia menoleh ke arah Alira dan Dren, tersenyum tipis.
"Ayo lanjutkan perjalanan kita," katanya. "Ini baru awal."