Kapal kecil mereka akhirnya mencapai pantai Pulau Kayangan. Pasir putih berkilauan di bawah sinar matahari pagi, dan suara burung-burung laut terdengar dari kejauhan. Hutan lebat membentang di depan mereka, dipenuhi dengan pohon-pohon raksasa yang batangnya tampak seperti berusia ratusan tahun. Aroma tanah basah dan tumbuhan liar menyeruak ke udara.
Elios melompat turun dari kapal, kakinya menyentuh pasir yang hangat. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar yang seakan membawa semangat baru. "Pulau Kayangan... tempat ini terasa seperti mimpi," gumamnya.
Alira melangkah mendekat, membawa sebuah tas kecil di punggungnya. Ia memperhatikan lingkungan sekitar dengan hati-hati. "Hati-hati. Pulau ini mungkin terlihat indah, tetapi siapa tahu apa yang tersembunyi di dalamnya."
Dren, dengan pedangnya yang terselip di pinggang, segera mengambil posisi terdepan. "Jangan terlalu lengah. Ada alasan kenapa tempat ini hanya menjadi legenda selama ini."
Ketiganya mulai berjalan, melewati pasir menuju hutan. Suasana berubah drastis saat mereka memasuki bayangan pepohonan besar. Cahaya matahari hanya sedikit menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola yang bergerak di tanah. Suara gemerisik dedaunan dan langkah kaki mereka menjadi satu-satunya yang terdengar.
Di tengah perjalanan, Elios berhenti. Ia menatap pohon besar di depannya. Batangnya lebar dengan akar yang mencuat ke permukaan, membentuk pola seperti jaring. Namun, yang menarik perhatian adalah ukiran-ukiran aneh yang tertoreh di kulit pohon. Simbol-simbol itu bercahaya samar, seolah menyimpan energi kuno.
"Alira, Dren, lihat ini!" seru Elios, menunjuk ke ukiran itu.
Alira mendekat, menyentuh salah satu ukiran dengan hati-hati. "Ini... ini bukan ukiran biasa. Simbol-simbol ini mungkin petunjuk."
"Tapi petunjuk untuk apa?" tanya Dren, mendekat sambil mengamati ukiran itu. "Ini bukan bahasa yang aku kenal."
Elios mendekat, mencoba mengingat sesuatu. "Aku merasa pernah melihat simbol-simbol ini sebelumnya... tapi di mana ya?"
Tiba-tiba, ukiran-ukiran itu mulai bercahaya lebih terang, dan suara gemuruh terdengar dari bawah tanah. Tanah di sekitar mereka mulai bergetar, membuat Alira melompat mundur dengan terkejut.
"Apa yang kau lakukan, Elios?" tanya Dren, bersiap dengan pedangnya.
"Aku? Aku tidak melakukan apa-apa!" balas Elios, bingung.
Sebuah celah besar terbuka di depan mereka, memperlihatkan sebuah tangga batu yang mengarah ke bawah. Angin dingin bertiup keluar dari dalam celah itu, membawa aroma tua yang sulit dijelaskan.
"Sepertinya... ini semacam pintu masuk," kata Alira, memandangi tangga dengan cemas.
Elios tersenyum kecil. "Mungkin ini petunjuk yang kita cari. Ayo masuk."
Dren menghela napas berat. "Kamu ini terlalu nekat. Tapi baiklah, aku akan berjaga di depan."
Mereka mulai menuruni tangga batu itu dengan hati-hati. Dinding di sekitar mereka dipenuhi dengan ukiran-ukiran serupa, bercahaya samar. Suasana menjadi semakin dingin dan gelap saat mereka turun lebih dalam.
Saat mereka sampai di dasar, sebuah ruangan besar terbentang di depan mereka. Di tengah ruangan itu, sebuah altar batu berdiri megah, dikelilingi oleh patung-patung berbentuk makhluk aneh—setengah manusia, setengah hewan. Di atas altar, sebuah benda kecil bercahaya terlihat melayang.
"Apakah itu... artefak yang kita cari?" tanya Alira, matanya terpaku pada benda bercahaya itu.
Elios melangkah mendekat, tetapi langkahnya terhenti ketika suara berat bergema di ruangan itu.
"Beraninya kalian menginjakkan kaki di tempat suci ini!"
Dari bayangan di sudut ruangan, sosok besar muncul. Tingginya hampir dua kali lipat manusia biasa, dengan tubuh berotot dan kulit yang bersinar seperti logam. Matanya yang merah menyala menatap mereka dengan penuh kemarahan.
"Siapa kau?" tanya Dren, mengangkat pedangnya.
"Aku adalah Penjaga Pulau Kayangan. Tidak ada yang bisa mengambil artefak ini tanpa melewati ujian!" suara sosok itu bergema, membuat ruangan terasa bergetar.
Elios tersenyum tipis, menatap penjaga itu dengan percaya diri. "Ujian, ya? Baiklah, kami siap. Tunjukkan pada kami apa yang harus kami lakukan."
Penjaga itu tertawa, suaranya menggelegar. "Kalian akan menyesal telah mengucapkan itu. Bersiaplah menghadapi kekuatan sejati dari Pulau Kayangan!"
Dengan suara gemuruh, penjaga itu melangkah maju, dan ruangan mulai berubah. Lantai batu di bawah mereka retak, dan dinding-dinding mulai memancarkan cahaya yang menyilaukan. Petualangan mereka di Pulau Kayangan baru saja dimulai, dan Elios tahu bahwa ini adalah ujian pertama dari banyak ujian yang akan mereka hadapi.