Langit malam itu gelap tanpa bintang, hanya dihiasi bulan sabit pucat yang tampak terbungkus kabut tipis. Rintik hujan turun perlahan, menciptakan irama menenangkan namun mengerikan di atas genteng rumah tua yang hampir runtuh di ujung desa. Rumah itu berdiri seperti makhluk yang terlupakan, ditelan waktu, dengan dindingnya yang penuh lumut dan jendela-jendela yang sudah retak, seolah-olah menyimpan rahasia gelap yang tak ingin dibuka.
Rumah tua itu telah lama ditinggalkan, dan cerita-cerita seram tentangnya menjadi bahan bisik-bisik di antara penduduk desa. Mereka mengatakan, siapa pun yang masuk ke dalamnya tidak akan pernah keluar dengan jiwa yang utuh. Namun bagi Alia, cerita itu tidak lebih dari omong kosong belaka.
"Aku tak percaya hantu," gumamnya, menyesuaikan ranselnya di pundak.
Dia berdiri di depan gerbang berkarat, memandang rumah itu dengan mata penuh rasa ingin tahu. Alia, seorang mahasiswa jurusan antropologi, sedang melakukan penelitian tentang mitos dan kepercayaan lokal. Rumah tua ini, dengan reputasi angkernya, adalah subjek sempurna untuk laporan akhirnya.
Ia membuka gembok gerbang dengan kunci yang ia dapat dari Pak Karta, penjaga desa yang ragu-ragu memberikannya.
"Hati-hati, Nak," kata Pak Karta tadi sore.
"Ada sesuatu di sana yang tidak akan kau pahami."
Alia hanya tertawa kecil saat mengingat peringatan itu. "Hanya ketakutan tanpa dasar," pikirnya.
Ketika ia melangkah masuk ke halaman, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih dingin, dan aroma lembap bercampur bau besi tua memenuhi hidungnya. Pohon-pohon besar yang melingkupi rumah itu tampak seperti bayangan gelap yang mengintai. Langkah kakinya di atas rerumputan yang basah terdengar nyaring di tengah keheningan.
Sesampainya di depan pintu utama, ia merasakan keraguan untuk pertama kali. Pintu kayu besar itu terlihat rapuh, tapi entah kenapa, ia memancarkan aura menakutkan yang membuat bulu kuduk Alia berdiri. Ia menggenggam gagang pintu dan menarik napas dalam-dalam sebelum mendorongnya perlahan.
Pintu itu berderit, menciptakan suara yang seakan menembus tulang. Di dalam, kegelapan menyambutnya seperti selimut pekat. Dengan senter di tangan, Alia menerangi lorong panjang yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba.
"Dingin sekali di sini," gumamnya, merapatkan jaket.
Dinding lorong dipenuhi foto-foto hitam-putih yang sudah menguning. Wajah-wajah di foto itu tampak memandang Alia, seolah-olah mengawasinya setiap kali ia melangkah. Salah satu foto menarik perhatiannya—seorang wanita muda dengan rambut panjang mengenakan gaun putih. Tatapan matanya tajam, namun ada sesuatu yang mengganggu; bibirnya melengkung dalam senyum yang tidak alami.
Alia mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahnya. Ia memasuki ruang tamu yang luas, dengan sofa tua dan meja kayu di tengahnya. Di salah satu sudut, ada jam antik yang berhenti di pukul tiga tepat.
Namun, sesuatu menarik perhatian Alia di balik sofa—sebuah buku tua tergeletak di lantai, setengah terbuka. Ia mendekati buku itu dan memungutnya. Halaman-halamannya dipenuhi tulisan tangan yang hampir tidak terbaca. Tapi di salah satu halaman, ada kalimat yang tertera dengan jelas: "Jangan lihat ke belakang."
Alia tersentak. Tubuhnya membeku sejenak, dan jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia merasa ada sesuatu yang bergerak di belakangnya, tetapi ia menolak untuk melihat.
"Hanya imajinasiku," katanya meyakinkan diri, meskipun keringat dingin mulai membasahi tengkuknya.
Namun, suara langkah kaki kecil tiba-tiba terdengar dari lorong. Alia berbalik cepat, menyorotkan senternya ke arah suara itu. Tidak ada apa-apa, hanya kegelapan. Tapi rasa takut mulai merayap masuk, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
"Siapa di sana?" tanyanya dengan suara gemetar.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang terasa semakin menekan. Ia memutuskan untuk tidak memikirkannya dan kembali ke ruang tamu. Namun, langkah kakinya terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menahannya.
Ketika ia kembali, ruangan itu tidak lagi sama. Sofa yang tadinya berada di tengah kini berpindah ke sudut lain. Buku yang ia pegang terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dengan bunyi keras.
Tiba-tiba, suara berderak terdengar dari atas, seperti seseorang berjalan di lantai dua. Alia mendongak, menyorotkan senter ke langit-langit. "Siapa di sana?" teriaknya, tapi tetap tidak ada jawaban.
Ia tahu ia seharusnya keluar dari rumah itu, tapi rasa penasaran lebih kuat daripada ketakutannya. Dengan langkah ragu, ia menaiki tangga kayu yang berderit di setiap pijakannya. Di lantai dua, lorong yang lebih sempit menyambutnya. Lampu gantung kecil bergoyang perlahan, meskipun tidak ada angin.
Di ujung lorong, ada sebuah pintu yang tertutup rapat. Pintu itu berbeda dari yang lain—lebih besar dan terbuat dari kayu yang tampak baru dibandingkan bagian lain rumah. Dengan tangan gemetar, Alia meraih gagang pintu itu. Sebelum ia sempat membukanya, ia mendengar suara berbisik.
"Pergi... Pergi..."
Suara itu pelan namun jelas, seperti dibisikkan langsung ke telinganya. Alia melangkah mundur, tapi pintu di belakangnya tiba-tiba tertutup dengan keras, membuatnya terperangkap.
Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba membuka pintu di belakangnya, tapi tidak bisa. Dengan panik, ia memutuskan untuk menghadapi pintu di depannya. Ia mendorongnya keras-keras, dan pintu itu terbuka dengan suara menggelegar.
Di dalam, ruangan itu kosong, kecuali sebuah cermin besar yang berdiri di tengah. Cermin itu tampak berkilauan, meskipun tidak ada cahaya yang menerangi ruangan. Namun, yang membuatnya bergidik adalah bayangan yang terlihat di cermin itu—bukan bayangannya sendiri, melainkan seorang wanita dengan gaun putih, berdiri diam, memandang Alia dengan senyum menyeramkan.
Alia terdiam, tidak bisa bergerak. Wanita itu mulai mendekat, bukan dari cermin, tapi dari belakangnya. Langkah kaki wanita itu terdengar semakin dekat, dan Alia bisa merasakan napas dingin di tengkuknya.
Sebelum ia sempat berteriak, cermin itu retak dengan suara keras, dan semuanya menjadi gelap.