Kegelapan menyelimuti pikiran Johan. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan yang tak berujung, hingga tiba-tiba sebuah rasa sakit menusuk seluruh tubuhnya. Matanya terbuka perlahan, dan ia mendapati dirinya berbaring di atas tempat tidur yang keras dan usang. Aroma besi bercampur darah memenuhi udara, membuat kepalanya semakin berdenyut.
"Di mana aku?" gumam Johan, suaranya serak dan asing di telinganya sendiri.
Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa berat dan penuh luka. Kemeja putih yang ia kenakan sudah berubah menjadi kain kumal yang berlumuran darah. Bekas luka sayatan menghiasi lengan dan dadanya, sementara lebam besar menghitam di sisi rusuknya. Di sekelilingnya, ruangan kecil dengan dinding batu bata kusam dan jendela kecil berdebu memancarkan suasana dingin dan kumuh.
Johan mengangkat tangannya perlahan, memperhatikan jari-jarinya yang kurus dan penuh bekas luka. Ini bukan tangannya. Bukan tubuhnya. Sebuah cermin retak di sudut ruangan menangkap perhatiannya. Dengan sisa tenaga, ia merangkak mendekati cermin itu.
Refleksi yang ia lihat membuatnya terkejut. Wajah yang menatap balik dari cermin adalah milik seorang pria yang tak ia kenali. Rambut hitam yang berantakan, mata coklat yang tajam, dan garis-garis kasar di wajahnya menunjukkan bahwa pria ini telah melalui kehidupan yang keras.
"Ini... bukan aku," bisiknya, matanya melebar.
Sebuah pintu kayu tua di belakangnya berderit, terbuka perlahan. Seorang pria tua dengan jas kumal dan kacamata bulat berdiri di ambang pintu, membawa baskom berisi air dan kain bersih.
"Anda akhirnya sadar, Tuan Hermits," kata pria itu dengan nada lega. "Kami hampir kehilangan Anda."
"Hermits?" Johan bergumam, merasa nama itu begitu asing. Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, rasa pusing yang luar biasa kembali menyerang. Dunia di sekitarnya berputar, dan kegelapan pun kembali menelan kesadarannya.