Tok...tok perlahan Ari mengetuk pintu kamar dan datang menemuiku.
"Bu, sudah tidur?" Tanyanya.
"Belum, masuklah Ri," kataku.
Ari yang berstatus sebagai menantu begitu ramah dan perduli padaku, andai saja anak-anakku memiliki sifat sepertinya.
Padahal dulu aku sudah mengajarkan akhlak yang baik pada kelima anak-anakku, tapi sayangnya aku tidak menuai hasil yang selama ini aku tanam.
"Bu, maaf Ari tidak bawa apa-apa pulang kerja tadi, andai Ari tahu ibu datang pasti Ari bawakan martabak kesukaan ibu," jelasnya.
"Tidak usah repot-repot Ri, memang nya tadi kerja apa kok pulang nya sampai malam?" Tanyaku.
"Alhamdulillah Ari jadi tukang ojek, Ari juga kadang-kadang jadi kurir toko sembako, kalau lagi sepi Ari juga jadi kuli panggul di pasar," jelasnya.
Ari begitu bersemangat menceritakan pekerjaan yang menurutnya sangat beruntung karena masih banyak orang yang mau menggunakan tenaganya.
Jika dibandingkan dengan anak-anakku tentu sangat jauh berbeda, semuanya memiliki usaha dan delima anak perempuanku juga adalah wanita karier dan memiliki suami seorang polisi.
"Alhamdulillah semoga selalu lancar pekerjaanmu, sehat terus ya Ri," kataku seraya mendoakannya.
Ujung mataku melihat Farhan sedang mengintip dibalik pintu kamar, tapi saat aku melihatnya dia tiba-tiba pergi begitu saja.
"Ibu tidur saja ya ini sudah larut malam, kalau butuh apa-apa bilang saja," ujarnya.
Aku mengangguk dan Ari langsung pergi dari kamarku, aku tersenyum penuh rasa bersyukur karena Sulis anak bungsuku mendapatkan suami yang baik paras dan hatinya.
Pagi pagi sekali setelah sholat subuh, Ari sudah bersiap-siap untuk pergi kerja dan Sulis juga sudah sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga.
Perlahan aku pergi ke dapur dan tidak sengaja mendengar percakapan Sulis dan Ari.
"Lis, nanti masak ayam untuk ibu jangan buat ibu bosan makan, oh iya nanti ambil pepaya di belakang, ibu juga harus makan buah-buahan kan,"kata Ari.
" Mas, uang nya tidak cukup kalau untuk beli ayam mana sekarang harga ayam lagi naik," ucap Sulis pelan.
"Insyaallah rezeki akan selalu ada Lis, tidak akan miskin jika seorang anak menyisihkan uang nya untuk orang tua, kamu ngutang dulu ya insyaallah mas hari ini akan pulang dengan bawa uang lebih," jelas Ari.
Entah kenapa setiap kedua pasangan itu berbicara hatiku selalu teriris, bukan sakit hati tapi saking terharu dan kagum nya diriku pada mereka.
"Iya mas, hati-hati ya nanti dijalan," ucap Sulis.
Aku pura-pura baru datang dan memanggil nama Sulis agar mereka tidak kaget dan tidak berfikir kalau aku mendengar semua percakapan mereka.
"Lis," ucapku
"Eh ibu ada apa? Mau buat teh?" Tanyanya.
Aku duduk di kursi dan menunggu Sulis
membuatkan teh hangat.
"Ini Bu," kata Sulis.
Aku mengangkat teh itu namun tiba-tiba teh nya tumpah, untung saja Sulis dengan sigap langsung menangkapnya.
Sulis langsung mengambil sendok dan menyuapi teh hangat padaku, lagi-lagi aku melihat Farhan sedang memperhatikan kami.
'apa Farhan kesal karena perhatian ibunya terbagi, karena Sulis harus merawatku?' gumamku dalam hati.
"Lis, kalau kamu kerepotan ngurus ibu tidak apa-apa ibu ke panti jompo juga," kataku.
"Hust...ibu itu ngomong apa sih Sulis tidak merasa di repotkan," jawabnya santai.
"Ibu tahu kamu anak yang berbakti pasti tidak merasa di repotkan, tapi bagaiman dengan Ari dan Farhan mereka juga harus kamu urus kan?" Tanyaku.
"Sulis bisa membagi waktu kok Bu, kalian bertiga akan Sulis rawat sebaik mungkin," jelasnya.
Aku memegang erat tangan putriku, tangan kecil yang aku pegang kini sudah tumbuh besar.
Sulis dulu adalah anak yang manja dan cengeng, butuh kesabaran besar untuk merawatnya tapi aku sangat bersyukur karena jerih payah ku selama ini mengurusnya membuahkan hasil.