Fajar menyingsing di atas desa kecil itu, membawa suara kokok ayam dan angin pagi yang lembut. Aluna membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa lelah meskipun ia tidur sepanjang malam. Ia mencoba mengingat mimpi-mimpi yang datang kepadanya, tetapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang saat ia mencoba menggenggamnya.
Namun, satu perasaan tetap tertinggal,sebuah kegelisahan yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan itu mengingatkannya pada tanaman-tanaman di kebun yang tumbuh tak wajar.
"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" pikir Aluna, menghela napas panjang.
Hari itu, ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan kejadian-kejadian aneh tersebut. Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin perasaan ganjil itu menguasai dirinya. Setelah menyalakan api kecil untuk merebus air, ia duduk di lantai rumah kayunya yang sederhana, menatap jendela yang menghadap ke ladang-ladang kosong.
Ketukan pelan di pintu mengejutkan Aluna. Ia bergegas membukanya dan menemukan Tuan Baros, seorang petani tua yang sering memberinya pekerjaan kecil.
"Aluna, pagi ini aku butuh bantuanmu di ladang," katanya. "Ada beberapa tanaman yang layu mendadak. Entah kenapa, tanahnya juga terasa aneh."
Aluna mengangguk, mengambil keranjang kecil, dan mengikuti Tuan Baros ke ladangnya. Ia tidak pernah menolak permintaan tolong dari siapa pun, meskipun tubuhnya masih terasa berat pagi itu.
.
.
Sesampainya di ladang, Aluna langsung melihat apa yang dimaksud Tuan Baros. Tanaman jagung yang biasanya tumbuh subur tampak kering, seolah-olah terserap habis oleh sesuatu. Tuan Baros mengerutkan kening, menatap tanah dengan cemas.
"Aneh sekali, ya," gumamnya.
Aluna berjongkok, mencoba menyentuh salah satu batang jagung yang sudah mati. Saat jarinya menyentuh tanaman itu, ia merasakan sesuatu yang aneh,seolah-olah ada aliran energi yang mengalir melalui tubuhnya. Tiba-tiba, batang jagung itu berubah menjadi hijau kembali, seperti hidup kembali.
"Aluna! Apa yang kau lakukan?" seru Tuan Baros dengan nada terkejut.
Aluna kaget, langsung menarik tangannya. Ia menatap batang jagung itu, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Aku… aku tidak tahu, Tuan," jawabnya, suaranya gemetar.
Tuan Baros mundur perlahan, tatapannya berubah dari keheranan menjadi ketakutan. "Kau… kau bukan aluna yang kukenal, Aluna. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
"Aku tidak tahu," ulang Aluna, merasa semakin cemas.
.
.
Setelah kejadian itu, Tuan Baros meminta Aluna untuk pulang lebih awal, dengan alasan ia ingin membereskan ladangnya sendiri. Namun, dari cara ia memandang Aluna, jelas bahwa petani tua itu merasa tidak nyaman.
Sepanjang perjalanan pulang, Aluna terus memikirkan apa yang terjadi. Ia menggenggam erat tangannya, mencoba memahami apa yang ia rasakan. Kekuatan itu,atau apa pun itu,sepertinya bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan.
Sesampainya di rumah, ia duduk di sudut ruangan dan menatap tangannya yang gemetar. "Apakah ini yang dirasakan para penyihir dulu?" pikirnya.
Ia teringat cerita tentang para penyihir yang diceritakan oleh para orang tua. Mereka memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanaman, memanggil hujan, bahkan mengendalikan elemen-elemen alam. Namun, semua itu hanya dianggap legenda. Tidak ada satu pun orang di desa ini yang pernah mengaku melihat sihir secara langsung.
Malamnya, saat ia mencoba tidur, pikirannya terus terganggu oleh kejadian di ladang. Ia tahu bahwa orang-orang desa mungkin akan mulai mencurigainya, terutama jika kejadian aneh itu terus berlanjut.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Aluna merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan misterius ini.