18 Oktober 2024, waktu menunjukkan pukul 05.39.
Aku mulai mengemasi barang-barangku karena hari ini aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Semalam, aku menerima kabar mengejutkan dari keluargaku: ayah terkena sakit keras.
Mendengar kabar itu, tanpa berpikir panjang, aku langsung bersiap-siap untuk pulang dan melihat keadaan ayahku.
Oh ya, perkenalkan, namaku Kaelan Raihananta, anak tunggal dari keluarga Raihananta. Umurku 17 tahun, dengan tinggi badan 187 cm dan berat badan 65 kg.
Sebenarnya, aku bersekolah jauh dari pengawasan orang tuaku. Tepatnya, aku tinggal di Jakarta untuk menempuh pendidikan. Orang tuaku memang menyuruhku bersekolah di luar daerah. Kata ayah, itu agar aku bisa belajar hidup mandiri.
Walaupun jauh dari orang tua, aku tetap berada di bawah pengawasan pamanku, adik dari ayahku. Beliau seorang pengusaha yang juga tinggal di Jakarta. Aku menetap di rumah milik orang tuaku yang berada di sana, tepat di sebelah rumah paman.
Saat aku sibuk mengemasi barang-barangku, terdengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi berulang kali.
"Sebentar!" seruku.
Aku segera bergegas ke pintu depan dan membukanya. Di sana, seorang pria paruh baya berdiri sambil tersenyum.
"Selamat pagi, Nak Kaelan. Barang-barangnya sudah siap?" tanya pria tersebut.
"Oh, Pak Dwi! Iya, sudah. Hanya satu koper saja," jawabku, menyadari bahwa yang berdiri di hadapanku adalah Pak Dwi, supir pribadi ayahku.
Setelah berbincang singkat, Pak Dwi mengambil koperku dan memasukkannya ke bagasi mobil. Aku pun naik ke dalam mobil dan duduk di sebelah kursi kemudi.
Semua sudah siap, dan kami segera berangkat.
Untuk sampai di rumah orang tuaku, perlu waktu sekitar 1-2 jam perjalanan. Dalam waktu sepanjang itu, aku memutuskan untuk tidur.
Pukul 06.56, aku terbangun. Ketika membuka mata, kami sedang melewati perkebunan teh yang luas, menandakan bahwa rumah orang tuaku sudah dekat.
Bisnis keluarga kami memang turun-temurun adalah bisnis teh. Sejak zaman kakek, keluarga kami tinggal di tengah perkebunan teh yang luas, nyaris terisolasi dari dunia luar. Tapi justru karena itu, setiap kali aku pulang, ada rasa nostalgia yang menghangatkan hati.
Dari kejauhan, aku melihat rumah keluarga kami yang lebih mirip mansion, berdiri megah di puncak bukit.
Ya, itulah rumah orang tuaku.
Perkebunan teh ini pula yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga, membuat kami hidup berkecukupan.
Mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan rumah.
Rumah dua lantai yang megah itu tampak indah seperti biasa. Aku turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan ayah.
Sulit untuk tidak merasa cemas. Aku langsung memeluk ibu yang menjemputku di pintu, lalu kami berbincang sebentar. Setelah itu, ibu mengantarku ke kamar ayah.
Ketika pintu dibuka, aku melihat ayah terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Sebuah infus tergantung di sebelahnya. Ibu menjelaskan bahwa ayah sudah sakit keras selama dua minggu terakhir. Berbagai upaya telah dilakukan, namun tidak ada hasil yang memuaskan. Di meja samping tempat tidur, terlihat deretan obat-obatan yang diberikan dokter.
Aku tak bisa menahan isak tangis melihat keadaan ayahku.
Namun ibu mengingatkanku untuk tidak terlalu lama di kamar, agar ayah tidak terbangun karena kehadiranku.
Aku keluar dari kamar ayah dan mulai membereskan barang-barangku di kamar yang biasa kutempati.
Sepanjang hari, aku tidak bisa berbuat banyak. Ayah hanya terbangun sesaat, lalu kembali tertidur.
Tak terasa waktu sudah beranjak malam. Aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar punya energi cukup keesokan harinya.
Malam itu, aku tidur pulas. Namun, tiba-tiba aku terbangun karena suara badai yang cukup kuat dari luar. Rasanya hujan lebat akan segera turun.
Karena sudah terbangun, aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah itu, aku ke dapur mencari segelas air untuk menghilangkan dahaga.
Ketika sedang meminum air, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah kamar ayah.
Aku meletakkan gelas dengan tergesa-gesa dan berlari menuju kamar ayah.
Pintu kamar kubuka, dan betapa terkejutnya aku...