Hening malam di Kampung Cemara, cuma suara jangkrik dan tik-tok jam dinding yang bikin suasana makin aneh. Tapi, jangan kira ini kampung biasa. Kampung Cemara punya reputasi, bro—sering jadi sorotan karena kasus-kasus aneh yang nggak kelar-kelar.
Di salah satu sudut kampung, ada rumah kecil dengan papan nama reyot bertuliskan: "Biro Jasa Penyelidik Kusut—Eka & Fajar". Di dalemnya, dua cowok remaja duduk santai. Eka, si otak encer yang suka ngopi pake gelas kaleng, dan Fajar, temennya yang mageran tapi rada iseng, lagi berdebat soal sesuatu yang absurd.
"Aku bilang, Faj, kalo tangan kamu bisa masuk botol, artinya kamu pinter... atau kamu bodoh," kata Eka sambil ngaduk kopinya.
"Bodo amat, yang penting botolnya bisa gue buka lagi," jawab Fajar sambil nyengir, nunjuk botol kecap yang tadi dia jebolin.
Tiba-tiba, pintu rumah mereka digedor keras. BRAK!
"Woi, ada orang nggak?! Penting nih!" Suara cowok setengah ngos-ngosan bikin mereka langsung melek.
Eka lalu membuka pintu, dan muncul Bayu, anak kampung yang terkenal panikan. Wajahnya pucet kayak abis liat setan.
"Bayu? Apaan sih, rusuh banget!" protes Fajar.
"Ini serius, coy. Lu tau Pak Amin yang punya warung di ujung gang?" Bayu ngomong sambil ngos-ngosan.
"Tau lah. Emangnya kenapa?" tanya Eka sambil melipat tangannya.
"Pak Amin ilang. Warungnya kebuka gitu aja, tapi orangnya gak ada. Lu harus bantu gua cari dia. Polisi aja bingung!"
Eka langsung berdiri. "Polisi bingung? Itu kode keras buat aku."
Fajar ngangkat alis. "Kode keras buat apa? Kita detektif kelas receh, Ka."
"Tapi tetep aja. Kalo mereka nggak bisa, artinya kita punya peluang jadi pahlawan kampung," jawab Eka sambil ngambil jaketnya.
"Fine, asal abis ini kita makan gratis di warungnya," kata Fajar sambil bangkit.
---
Di warung Pak Amin, suasananya sepi. Lampu gantung yang biasanya terang sekarang cuma kedip-kedip kayak lampu disko rusak. Eka jongkok di depan pintu, ngeliatin bekas jejak kaki di lantai tanah.
"Faj, ini aneh. Jejak kaki ada dua arah—satu masuk, satu keluar. Tapi yang keluar cuma separo..."
"Separonya diapain? Dibawa alien?" Fajar nyelutuk, bikin Bayu geleng-geleng.
"Tuh kan, serius dikit napa!" Bayu ngomel.
"Lo gak ngerti seni investigasi, Bay," jawab Fajar enteng.
Eka memeriksa lebih lanjut, nunduk ke arah meja kasir. Dia nemuin sebuah catatan kecil yang setengah kebakar. Di situ tertulis sesuatu yang bikin suasana makin tegang: "Malam ini aku kembali untuk menuntaskan dendam."
Bayu langsung pucat. "Gila! Ini... ini kayak film horor!"
"Bukan horor, bro. Ini kerjaan orang sakit jiwa," kata Eka sambil narik napas. "Faj, bawa catatan ini ke Bu Tuti, guru Bahasa Indonesia. aku yakin tulisan ini pake sandi."
"Serius? Gue kira lo bakal nanya dukun." balas Fajar dengan sengklek
Eka cuma melotot, dan Fajar langsung kabur.
---
Malam itu, mereka balik lagi ke rumah Bu Tuti, yang ternyata lebih ngeri dari tempat kejadian perkara. Ruangan penuh buku, kucing berkeliaran, dan aroma minyak kayu putih bikin Fajar pengen muntah.
Bu Tuti ngeliat catatan itu sambil nyengir kecil. "Ini sandi lama, anak-anak. Biasanya dipake buat ngancem, tapi kalo kalian ngerti cara bacanya, gampang."
Eka langsung pasang telinga. "Jadi gimana, Bu?"
"ibu gak yakin, tapi ini kayak kode anagram. Coba kau urutin ulang hurufnya. ibu yakin ada nama orang di situ."
Eka cepet-cepet ngacak ulang huruf di catatan itu. Dalam waktu singkat, dia nemuin nama yang bikin dia merinding: "Darma."
"Darma? Bukannya itu mantan pegawai Pak Amin yang dipecat karena suka nyolong?" Bayu bersuara sambil ngelirik Eka.
"Bener banget. Dan kalo feeling aku gak salah, Darma pasti ada hubungannya sama hilangnya Pak Amin." balas Eka sambil menatap satu sama lain
---
Mereka bertiga langsung keluar rumah Bu Tuti, siap ngerampungin kasus ini. Tapi di tengah jalan, lampu-lampu jalan mati semua. Suasana kampung jadi gelap gulita.
"Tunggu, ini kenapa lagi?" Fajar panik.
Belum sempet Eka jawab, dari ujung jalan mereka denger suara langkah kaki berat. Bayang-bayang seseorang muncul pelan-pelan dari kegelapan, sambil bawa sesuatu di tangannya...
"Eka... Itu apaan?!" bisik Fajar sambil mundur.
Eka cuma menelan ludah. "Aku rasa, kita bakal dapet jawaban malam ini..."
Bersambung...