Sakit di kepala Arya terasa menusuk, seperti ratusan jarum menghujam tengkoraknya. Dalam keadaan setengah sadar, dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Kilasan-kilasan ingatan berkelebat di benaknya, seperti potongan film yang buram. Sebuah kecelakaan… ya, kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya.
Itu terjadi ketika Arya berusia 10 tahun, tepat di hari pertama masuk sekolah setelah liburan tahun baru. Hari itu cerah, dan semua anak tampak bersemangat untuk kembali ke sekolah. Arya masih ingat betapa ia senang mengenakan seragam yang baru dicuci ibunya, dan membawa tas yang berisi buku-buku yang ia susun rapi sendiri.
Ketika bel pulang berbunyi, Arya berjalan bersama teman-temannya menuju gerbang sekolah. Ia berdiri di tepi jalan, menunggu giliran untuk menyeberang. Tetapi tanpa diduga, seseorang tiba-tiba mendorongnya ke tengah jalan.
Arya terkejut dan tidak punya waktu untuk bereaksi. Dari sudut matanya, ia melihat sebuah bus melaju dari arah kanan. Walau kecepatannya tidak terlalu tinggi karena berada di dekat sekolah, benturan itu tetap keras. Tubuh kecil Arya terpental beberapa meter sebelum menghantam aspal. Ia merasakan tulangnya remuk, tangan kirinya patah, tulang rusuknya retak, dan wajahnya penuh luka goresan akibat terseret di jalanan.
"Dika… itu pasti Dika." Nama itu muncul dalam benaknya saat ia terbaring tak berdaya di jalan.
Dika adalah anak seorang pengusaha kaya di kota Sekayu. Dia terkenal nakal dan sombong, selalu iri pada Arya yang lebih pintar darinya. Setelah bertahun-tahun, seorang teman SD Arya mengungkapkan bahwa Dika-lah yang mendorong Arya waktu itu. Itu bukan kecelakaan, tetapi balas dendam atas kekalahannya dalam prestasi akademik.
Namun, ada yang aneh. Kini, Arya tidak merasakan luka yang sama seperti dulu. Memang kepalanya diperban, tetapi tubuhnya terasa jauh lebih kuat, dan pikirannya lebih jernih. Ingatannya kini begitu jelas, bahkan dia dapat mengingat hal-hal kecil dari masa lalu dan masa depan.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semuanya terasa berbeda?" pikir Arya sambil memeriksa tubuhnya.
---
Tiba-tiba, suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Arya. Seorang pria gagah dengan seragam polisi masuk, diikuti seorang wanita cantik berwajah lembut, dan seorang gadis kecil dengan mata besar yang berkaca-kaca.
"Arya, kamu sudah sadar? Bagaimana perasaanmu, Nak? Apakah ada yang sakit?" Wanita itu langsung mendekati Arya dengan wajah cemas. Tangannya yang lembut memegang tubuh Arya, seolah memastikan bahwa dia benar-benar ada di sana.
Arya terpaku. Wanita itu adalah ibunya. Namun, dia tampak berbeda dari yang Arya ingat. Di kehidupannya sebelumnya, ibunya tampak kurus dan lemah akibat komplikasi saat melahirkan. Tapi sekarang, wanita ini sehat, cantik, dan penuh aura heroik.
"Tak apa-apa, Bu. Arya baik-baik saja," jawab Arya dengan suara serak, meski hatinya penuh kebingungan.
"Apakah kamu ingin Ibu panggilkan dokter?" Ibunya masih tampak cemas.
"Tidak perlu, Bu. Arya cuma mau istirahat sebentar," ujarnya sambil mencoba tersenyum, meski pikirannya terus berputar.
"Tak apa, Sayang. Kamu butuh istirahat. Ayah dan Ibu akan mengurus obat untukmu. Amanda, temani Kak Arya sebentar, ya," ucap ayahnya sambil menatap anak perempuan kecil di sampingnya.
---
Setelah kedua orang tuanya keluar, gadis kecil itu mendekati ranjang Arya. Wajahnya yang mungil tampak penuh kekhawatiran. Matanya yang besar dipenuhi air mata, seperti akan menangis kapan saja.
"Kakak… Kakak jangan mati meninggalkan Amanda. Amanda masih mau main di sungai sama Kak Arya," ucap gadis itu dengan suara gemetar.
Arya menatap gadis kecil itu dengan bingung. Amanda? Siapa dia? Aku tidak punya adik di kehidupan sebelumnya.
Namun, melihat ketulusan di mata gadis itu, Arya hanya bisa menjawab dengan canggung, "Kakak tidak akan mati, Amanda. Jangan khawatir."
Amanda mengangguk pelan, tetapi air matanya tetap menetes. Arya merasa dunia ini benar-benar aneh. Di kehidupannya sebelumnya, dia adalah anak tunggal. Ibunya tampak berbeda, ayahnya lebih gagah dan karismatik, dan mereka bahkan punya seorang adik kecil yang lucu. Semuanya tidak sesuai dengan ingatannya.
Arya mengamati sekeliling. Ruangan tempatnya dirawat adalah ruang VVIP, lengkap dengan fasilitas modern. Tempat tidur yang empuk, meja kecil dengan vas bunga, dan televisi di sudut ruangan tampak mewah. "Tidak mungkin. Pada saat ini, ayahku hanya seorang polisi dengan gaji kecil. Kami bahkan bergantung pada beras dari nenek untuk makan sehari-hari," pikirnya. "Apakah ini dunia paralel? Atau aku benar-benar mendapat kehidupan baru?"
---
Arya mencoba mencari tahu lebih banyak. Sambil mencoba tetap tenang, dia bertanya kepada Amanda, "Amanda, Kakak mau bertanya. Apa pekerjaan Ayah sekarang?"
Amanda menjawab dengan suara cedal, "Poici."
Arya tersenyum kecil. "Polisi maksudnya? Kalau begitu, apakah kita punya rumah?"
"Iya, kita punya rumah, dan halamannya luas sekali," jawab Amanda dengan semangat sambil mengangguk-angguk.
"Apakah kita juga punya mobil atau motor?" Arya terus berlanjut pada amanda dengan rasa penasaran.
"Ayah punya satu motor dan satu mobil, ibu tidak punya motor, tapi banyak sekali mobil," Amanda mencoba menjelaskan sambil pura-pura menghitung jumlah mobil ibunya.
" Mobil ibu yang kecil sedikit, tapi yang besar banyak sekali, jari-jari manda tak cukup menghitungnya," Ucap amanda menunjukkan jari tangan dan kakinya kepada Arya.
Arya hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu adiknya amanda.
Arya semakin bingung. Di kehidupannya sebelumnya, mereka tinggal di asrama polisi kecil dengan luas rumah tak lebih dari 36 meter persegi dan dindingnya menyatu dengan dinding tetangga. Tetapi sekarang? Rumah luas? Ruang VVIP? Semuanya terasa seperti mimpi.
Sebelum Arya bisa bertanya lebih jauh, pintu kembali terbuka. Brata, ayahnya, masuk bersama Sulastri, ibunya. Amanda langsung berlari ke arah mereka.
"Ayah! Kakak jadi aneh!" teriak Amanda dengan suara cemprengnya.
"Aneh kenapa, Amanda?" tanya Sulastri sambil tersenyum, mencoba menenangkan putrinya.
"Kakak bertanya apakah kita punya rumah. Itu kan aneh, Kakak seperti tidak ingat apa-apa!"
Mendengar aduan Amanda, jantung Arya berdegup kencang. "Apakah mereka curiga?" pikirnya. Namun, ketika dia melihat ke arah kedua orang tuanya, senyuman hangat yang mereka tunjukkan membuatnya sedikit tenang.
Brata berjalan mendekat dan menatap Arya dengan mata tajam namun penuh kasih sayang. Sambil duduk di tepi ranjang, dia berkata dengan tenang, "Arya, sepertinya kamu juga..."
Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan rasa penasaran yang membakar di hati Arya.
"Juga apa, Ayah?" Arya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. Namun sebelum Brata menjawab, Sulastri memotong dengan lembut, "Sudah, Sayang. Jangan terlalu banyak bicara. Biarkan Arya istirahat dulu. Dia masih butuh waktu untuk pulih."
Tetapi Arya tidak ingin menunggu lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda di dunia ini, dan ia harus segera mengetahuinya.
—Bersambung ke Bab Berikutnya—