Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Beginning of the Ruler [Indo]

Like_ikan
--
chs / week
--
NOT RATINGS
221
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Aku tidak dikendalikan oleh siapapun!!

Di rumah tua kecil di hutan belantara.

"SAKITTTTTttttt..." Suara tinggi lalu merendah.

"Sakit... sakit... sakit..." Suara rendah terdengar menggema di ruang sempit itu.

"SaKITTTTTTT!" Gadis itu berteriak histeris sambil memegang jantungnya, air mata bercucuran. Dia merasa hidupnya tidak lama lagi.

"KYAAA!!! Hah... hah... hah..." Nafasnya terengah-engah sambil memegang dadanya.

"Apa aku masih hidup? Bukankah tadi seperti ajalku?" Ia masih merasakan rasa sakit samar-samar di tubuhnya. Wajahnya lesu, matanya kosong, dan air mata mulai mengalir perlahan.

"Well, well, well." Suara lembut dan dingin terdengar.

Seorang wanita muncul, memiliki dua tanduk hitam di atas alisnya yang sedikit melengkung dan menjulang ke atas sepanjang 10 hingga 15 cm. Ia mengenakan gaun panjang yang memancarkan kesan elegan dan misterius. Gaunnya berwarna hitam pekat, dengan detail ornamen halus yang menyerupai pola flora tersembunyi dalam bayangan. Potongan gaunnya melebar dari pinggang ke bawah, menciptakan efek aliran lembut saat ia duduk.

Lengan gaunnya sedikit menggembung di bagian bahu, memberikan sentuhan aristokratik. Pada bagian kerah terdapat pola renda hitam, menyelimuti area dadanya dengan elegan tanpa mengurangi kesan dingin dari dirinya. Rambut panjangnya yang berwarna perak menjuntai indah, kontras dengan kegelapan pakaiannya, menambah aura misterius yang menyelubungi dirinya. Sepasang tanduk hitam itu memberikan kesan bahwa ia bukan manusia biasa—mungkin seorang bangsawan dari dunia lain atau makhluk dari dimensi gelap.

Wanita itu duduk dengan anggun di sebuah kursi plastik putih, menatap gadis muda di depannya dengan senyum samar.

"!! Siapa kamu?!" Gadis itu terkejut.

"Siapa aku? Aku adalah dirimu. Kamu adalah aku."

"Apa maksudmu?" Gadis itu menunjukkan ekspresi kebingungan.

"Kamu masih muda. Tandukmu pun belum berada di dahi atas alis mata."

Ekspresi gadis itu berubah, menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras.

"Kamu... diriku di ma-sa de-pan?" Ia menjawab dengan suara pelan dan gagap.

"Sudah kuduga. Aku memang pintar sejak kecil. Sekarang, aku akan menyiksamu demi kebaikan diri kita sendiri, supaya kuat di masa depan. Kita adalah orang yang sama."

"A-apa?" Gadis itu menunjukkan ekspresi terkejut dan ketakutan. Wanita di depannya memancarkan aura yang sangat mengintimidasi.

Wanita bertanduk itu tiba-tiba memegang salah satu tanduk gadis muda itu, lalu menyeretnya menuju portal yang mengerikan.

"Aaargh!... Tolong, berhenti! Sakit... sakit... kumohon!" Wajah gadis itu meringis kesakitan, matanya berkaca-kaca sambil mengeluarkan air mata. Bibirnya gemetar, dan sebuah isakan tertahan lolos dari tenggorokannya.

Bagi ras naga, tanduk adalah simbol kehormatan. Bahkan menyentuhnya bisa dianggap penghinaan besar yang dapat memicu perang antar suku atau ras, terutama jika tanduk itu milik pemimpin atau anggota keluarga kerajaan naga, meskipun hanya anak kecil.

Setelah memasuki portal, gadis itu disuguhi ilusi mengerikan seperti simulasi. Ia melihat Naga Demon King yang mengamuk, peperangan brutal, kepala manusia dipenggal oleh algojo, tawanan disiksa dan dimutilasi hidup-hidup, anak-anak korban perang kelaparan hingga memakan tanah yang dibentuk seperti roti.

Gadis itu menangis histeris. Suara patahan tulang terdengar jelas ketika wanita bertanduk itu memukul tangan dan kakinya dengan pedang yang masih bersarung.

"Krek! Krek! Krek!" Suara itu membuat bulu kuduk meremang.

"Kyaa!" Gadis itu berteriak histeris. "Kumohon, hentikan! Sa-sakit!"

"Masih belum." Wanita itu tersenyum dingin, lalu mengangkat gadis itu yang sudah tak berdaya. Ia membalik tubuhnya ke posisi tengkurap, lalu menungganginya. Tangan kirinya melingkari leher gadis itu, memaksanya membuka mulut, sementara tangan kanannya memegang tang forceps yang dingin.

"Kriiit... pluk!" Suara gesekan mengerikan terdengar, diikuti suara basah seperti akar dicabut paksa dari tanah.

"Ayah... ibu... tolong!"  Gadis itu menangis. Setelah semua giginya tercabut, air matanya bercampur darah. Pupil matanya berubah merah.

"Sing! Sing!" Suara pedang berdesing.

"Kyaaaa! Sakit!" Gadis itu menjerit histeris ketika kedua telinganya ditebas. Ia menutupi tempat telinganya yang berdarah dengan kedua tangannya, menggigil kesakitan.

Namun, siksaan itu tidak berhenti. Setiap luka langsung sembuh secara instan, hanya untuk dilukai lagi. Kejadian itu terus berulang selama seratus tahun.

Gadis kecil itu tumbuh menjadi wanita muda dengan tubuh yang kuat dan penuh dendam. Ia menatap wanita bertanduk itu dengan mata penuh kebencian.

"Aku pasti akan membunuhmu! Ingat itu!" teriaknya dengan keras.

Wanita bertanduk itu tersenyum dingin. "Coba saja kalau bisa. Oh, tidak... aku bakal kalah dari gadis kecil?" ucapnya dengan nada sarkasme.

"Coba saja kalau bisa." Wanita bertanduk itu melipat kedua tangannya di dada, ekspresinya penuh keyakinan. "Oh, aku lupa. Aku bukan sekadar pelatihmu... aku adalah penguasa rasa sakitmu."

Gadis itu mengepalkan kedua tangannya, tubuhnya bergetar penuh emosi. Namun, ia tahu, tidak ada gunanya menyerang sekarang. Aura intimidasi wanita bertanduk itu masih jauh di atasnya.

"Kenapa... kenapa kamu melakukan ini?" tanyanya dengan suara parau, matanya dipenuhi kebencian. "Aku adalah dirimu. Aku tidak pantas disiksa oleh diriku sendiri."

Wanita itu mendekat, membungkuk sehingga wajah mereka hampir sejajar. "Oh, tapi bukankah itu inti dari semua ini? Dirimu yang lemah perlu dihancurkan, agar kelak kita tidak hanya bertahan, tetapi mendominasi."

Dengan gerakan cepat, wanita itu mencengkeram rahang gadis itu, memaksanya menatap langsung ke matanya. Mata merah tajam seperti bara api menyala terang.

"Aku melakukan ini untuk kebaikan kita berdua, untuk membentuk dirimu menjadi seseorang yang pantas memikul kekuatan besar ini." Ia menyeringai lebar, menunjuk ke arah tanduk gadis muda itu yang masih kecil. "Ketika tandukmu tumbuh penuh di dahi atas alis, ketika tubuhmu menjadi lebih kuat, dan ketika pikiranmu akhirnya siap, kau akan menyadari... bahwa rasa sakit ini adalah hadiah terbesar yang bisa kuberikan untukmu."

Gadis itu mengertakkan giginya, mencoba menahan amarah yang mendidih dalam dirinya.

"Kalau begitu, apa yang kau tunggu? Hancurkan aku sekarang kalau itu yang kau mau!" teriaknya dengan penuh tantangan.

Wanita itu tertawa kecil, suara tawanya menggema, dingin dan menusuk. "Ah, betapa menghibur. Kau mulai menunjukkan sedikit keberanian. Tapi itu belum cukup. Belum cukup."

Ia melepaskan cengkeramannya dan melangkah mundur. Dengan satu jentikan jari, ruang di sekeliling mereka berubah. Api neraka menyala-nyala di segala arah, dan suara jeritan penderitaan terdengar tanpa henti.

"Inilah The Lowest Realm of Hell," ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya. "Tempat di mana kau akan dibentuk, di mana setiap tetes kelemahanmu akan terbakar habis. Selama dua ratus tahun, kau akan belajar apa artinya menjadi aku."

Sebuah cambuk muncul di tangan wanita itu, terbuat dari api hitam yang berkilauan. Dengan satu ayunan, ia mencambuk udara, menciptakan suara ledakan yang membuat gadis itu gemetar.

"Sekarang, mari kita mulai latihan pondasi power-mu."

"Bajingan..." Gadis itu meludah, tapi tubuhnya tak bisa menghindar saat cambuk pertama melayang ke arahnya.

"Arrrghhh!" Teriakannya menggema di ruang neraka itu.

Namun, meski rasa sakitnya luar biasa, gadis itu bertekad untuk bertahan. Dalam hatinya, ia berjanji, "Aku akan membunuhmu... Aku akan membunuhmu..."

"ARRRGH!" Teriakan gadis itu kembali menggema, cambuk berapi itu terus menghantam tubuhnya tanpa ampun. Setiap serangan meninggalkan jejak luka yang segera pulih oleh kekuatan misterius dari neraka itu. Tapi rasa sakitnya tidak pernah hilang—selalu seperti pertama kali, membakar daging dan tulang.

Gadis itu berlutut, napasnya terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat dan darah yang tidak pernah benar-benar menodai kulitnya karena regenerasi instan. Namun matanya, yang awalnya penuh ketakutan, kini mulai berubah. Ada sesuatu yang mulai tumbuh di sana—api kecil dari kebencian dan ketabahan.

Wanita bertanduk itu mendekat, memandang rendah gadis itu sambil tersenyum dingin. "Kau mulai paham sekarang? Setiap rasa sakit ini adalah satu langkah menuju kekuatanmu. Jangan terlalu cepat menyerah, atau kita harus memulai semuanya dari awal."

Gadis itu mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang kini memerah karena air mata darah menatap langsung ke wanita itu. "Aku tidak akan menyerah... Dan aku tidak akan memaafkanmu."

Wanita itu tertawa kecil, suara tawanya seperti logam yang digesek keras. "Kebencianmu adalah kekuatanmu. Terus benci aku. Terus marah pada dirimu sendiri. Saat kau benar-benar memeluk rasa sakit ini, kau akan menjadi sesuatu yang bahkan aku takutkan."

Dengan gerakan ringan, ia menjentikkan jari, dan api di sekitar mereka berubah menjadi bilah-bilah tajam yang berputar seperti angin topan. Bilah itu mulai menghujani gadis muda itu tanpa ampun, memotong daging dan tulangnya, hanya untuk menyembuhkannya kembali dalam sekejap.

"Hentikan ini! Aku tidak bisa lagi... Aku tidak bisa!" Gadis itu merintih, tubuhnya gemetar karena rasa sakit yang tak henti-hentinya.

"Tidak ada kata 'tidak bisa' di dunia ini," ujar wanita itu dengan dingin. "Kau hanya belum mencoba cukup keras."

Saat bilah-bilah itu berhenti, gadis muda itu terbaring di tanah, tubuhnya bergetar seperti daun yang tertiup angin. Namun, dalam kesunyian itu, ia mendengar sesuatu—detak jantungnya sendiri. Suara itu, meskipun lemah, terdengar seperti genderang perang yang memanggilnya untuk berdiri.

"Lihatlah dirimu," wanita bertanduk itu berbisik sambil melingkarkan jarinya di udara. Sebuah cermin muncul di hadapan gadis itu, menunjukkan bayangannya. "Apakah ini orang yang pantas disebut naga? Atau ini hanyalah seorang anak kecil yang takut pada bayangannya sendiri?"

Gadis itu menatap bayangannya dengan mata yang penuh kebencian. Ia menggenggam tanah di bawahnya, mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. Perlahan, ia berdiri, meskipun kakinya gemetar hebat.

"Aku... bukan anak kecil..." katanya, suaranya pelan tapi penuh dengan tekad. "Aku adalah naga. Dan aku akan membuktikannya... dengan membunuhmu suatu hari nanti."

Wanita itu tersenyum tipis, tangannya melayang untuk menciptakan lingkaran sihir di udara. "Bagus. Simpan tekad itu. Tapi ingat, untuk membunuhku, kau harus menjadi aku. Dan untuk menjadi aku, kau harus melewati neraka ini tanpa kehilangan akalmu."

Lingkaran sihir itu memancarkan cahaya hitam, dan tiba-tiba, gadis muda itu merasa dirinya terhisap ke dalam jurang gelap yang tak berdasar. Suara jeritan dan tangisan mengelilinginya, namun ia tetap berdiri tegak.

"Aku akan bertahan... Tidak peduli apa pun yang kau lemparkan padaku!" teriaknya, suaranya menggema di kehampaan itu.

Wanita itu mengangguk dengan puas, menyaksikan gadis muda itu hilang dalam kegelapan. "Bagus. Ini baru permulaan."

Latihan itu berlangsung selama puluhan, ratusan tahun. Waktu di neraka berlalu dengan cara yang aneh, setiap detik terasa seperti seabad penderitaan. Namun gadis itu bertahan. Ia mulai belajar menikmati rasa sakit, menggunakan kebenciannya sebagai bahan bakar.

Setiap luka, setiap tulang yang patah, setiap gigi yang dicabut—semua itu menjadi pengingat akan tekadnya. Perlahan tapi pasti, ia mulai menguasai energi gelap yang melingkupi tubuhnya. Tanduknya, yang sebelumnya kecil, kini tumbuh menjulang, hitam dan berkilauan seperti obsidian.

Pada tahun ke-200, ia berdiri di puncak neraka, tubuhnya memancarkan aura yang begitu mengerikan sehingga bahkan bayangan di sekitarnya tampak mundur.

"Aku siap," katanya dengan suara yang dalam dan penuh kekuatan. "Sekarang, kembalikan aku ke dunia. Aku akan membuktikan bahwa aku lebih baik darimu."

Wanita bertanduk itu muncul di depannya, tersenyum bangga. "Selamat datang di puncak rasa sakit dan kekuatan, diriku yang muda."

Dengan satu jentikan jari, portal terbuka, membawanya kembali ke dunia nyata. Wanita itu memegang tanduk si gadis dikepala sisi kiri dengan tangan kanan lalu melempar gadis itu ke portal.

"Bajingan kamuuu diriku yang tuaaaa!!!." 

"Bye bye diriku yang manis." Menunjukkan senyum tulus tanpa memperlihatkan gigi.

[Wanita itu kembali ke masa depan 5000 tahun...]

Ia membuka matanya perlahan. Cahaya merah temaram dari lilin-lilin besar yang melingkari ruangan menyambutnya. Udara dingin menyentuh kulitnya, membawa aroma logam yang tajam—seperti darah yang sudah mengering. Ia duduk di kursi besar yang terbuat dari tulang dan logam hitam, tempat yang seharusnya kosong hingga ia kembali.

Tangannya masih gemetar, menggenggam pisau panjang yang entah sejak kapan ada di sana. Ujung pisau itu mengarah tepat ke jantungnya, nyaris menembus kulit. Ia menarik napas panjang, lalu meletakkan pisau itu dengan hati-hati ke atas meja di depannya.

"Rasa kebencian diriku sendiri sekuat ini rupanya..." bisiknya, suaranya penuh kelelahan. Ia menyandarkan kepala ke kursi, matanya terpejam sejenak. Namun saat ia mencoba rileks, kilasan ingatan menyerbu pikirannya.

Gambaran dirinya yang muda—tubuh kecil yang penuh luka, tangisan putus asa, dan tatapan penuh kebencian—berkecamuk dalam pikirannya. Ia melihat semuanya, seperti menonton layar besar yang terus-menerus memutar ulang momen-momen tergelapnya.

"Sakit..." gumamnya, suara rendahnya terdengar hampir seperti rintihan. "Aku telah menciptakan neraka untuk diriku sendiri. Tapi..."

Ia membuka matanya, menatap bayangannya di permukaan meja logam yang berkilauan. Matanya, yang kini sepenuhnya merah menyala, memancarkan kekuatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"...Aku berhasil."

Ia berdiri dari kursinya, kakinya terasa berat seolah-olah seluruh dunia bergantung pada tubuhnya. Setiap langkahnya terasa seperti menembus lapisan waktu, membawa jejak masa lalunya ke masa kini. Namun, meskipun tubuhnya dipenuhi rasa lelah, ia tidak membungkuk.

"Semua ini sepadan," katanya dengan tegas, menatap ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan dunia luar. Langit di luar gelap, penuh badai petir yang menggelegar. Di kejauhan, ia bisa melihat kota-kota besar yang berkilauan, tidak menyadari bahwa makhluk terkuat dari neraka telah kembali ke dunia mereka.

"Aku telah menciptakan diriku yang baru," bisiknya, suaranya dingin namun penuh kepastian. "Diriku yang lama... yang lemah, yang penuh rasa takut... sudah mati."

Namun di balik kata-katanya, ia tahu itu tidak sepenuhnya benar. Bagian dari dirinya yang muda—gadis kecil yang ia latih dengan brutal—masih ada di sana, mengintai di sudut pikirannya. Dan kebencian itu, kebencian pada dirinya sendiri, masih membara.

"Tapi kebencian ini..." katanya sambil menatap tangannya yang sekarang memancarkan aura hitam. "Adalah bahan bakar yang akan membawaku melampaui semua batas."

[Beberapa hari kemudian...]

Ia berdiri di atas balkon istananya, memandang dunia yang terbentang di bawahnya. Kota-kota, hutan-hutan, gunung-gunung—semuanya terasa begitu kecil dari tempatnya berdiri.

"Sekarang, semuanya adalah milikku," katanya dengan senyuman dingin. "Tapi ini baru permulaan."

Di belakangnya, pelayan-pelayannya yang setia, makhluk-makhluk kegelapan yang menyerupai bayangan hidup, membungkuk hormat.

"Ratu kami telah kembali," salah satu dari mereka berbisik dengan penuh hormat.

Namun ia tidak menanggapi. Pikirannya sibuk, memutar strategi untuk langkah berikutnya. Kekuatannya sekarang melampaui batas manusia atau makhluk fana mana pun, tapi ia tahu, dunia ini penuh dengan ancaman yang tidak bisa diremehkan.

Ia mengepalkan tangannya, merasakan energi yang mengalir di dalam tubuhnya. Energi itu berasal dari rasa sakit, kebencian, dan tekad yang ia kumpulkan selama ratusan tahun di neraka.

"Dunia ini belum tahu apa yang akan menghantam mereka," katanya dengan senyuman penuh arti. "Tapi mereka akan tahu... bahwa rasa sakit adalah alat paling kuat untuk menciptakan seorang penguasa."

----------

Di sudut istana, di dalam ruangan kecil yang gelap, terdapat sebuah cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya. Namun, bukan sosok dewasa yang terlihat di cermin itu.

Gadis muda dengan mata penuh kebencian, tubuh penuh luka, dan ekspresi penuh penderitaan menatap balik padanya.

"Aku akan tetap di sini," suara bayangan itu terdengar, dingin dan menusuk. "Aku adalah dirimu. Aku adalah alasanmu bertahan. Jangan pernah berpikir untuk melupakan aku."

Ia menatap bayangan itu dengan tatapan dingin. "Aku tidak akan melupakanmu," jawabnya pelan. "Kau adalah bagian dari diriku. Tapi aku telah melampaui dirimu. Dan sekarang, kita akan melangkah bersama."

Dengan itu, ia memalingkan wajah dari cermin dan meninggalkan ruangan itu, bersiap untuk menghadapi dunia dengan kekuatan baru yang ia bangun dari kehancuran dirinya sendiri.