Pohon Rama, sebatang pohon yang berdiri sendiri dengan tegak dan kokoh dipusat kota. Memiliki tinggi sekitar 132 meter, daun daun pohon yang lebat membuat daerah sekitarnya teduh. Terdapat banyak orang yang berteduh dibawah pohon itu, dengan sinar matahari menyinari pohon itu menciptakan pantulan cahaya yang indah.
Dimomen itu, waktu berjalan mundur. Seakan segala yang telah terjadi, tidak pernah terjadi.
Dalam suara hening, suara samar terdengar lagi.
Suara wanita tidak diketahui:
"Waktu berjalan, waktu berhenti. Apakah dia tahu?"
Suara pria tidak diketahui:
"Dia mungkin tahu, karena dia sang pencipta."
Penulis:
"Diam, biarkan aku mengerjakan tugas ku."
Waktu berjalan disaat Vin, Renz dan Jeannie tiba di Pohon Rama. Keadaan begitu tenang, seperti tidak terjadi apapun. Tetapi, Vin merasakan sesuatu yang janggal.
"(Tunggu, bukankah ini telah terjadi?)"
Suara Vin dalam hati mempertanyakan kejadian yang berulang, wajahnya dingin dan datar, tapi pikirannya masih sama.
"(Seharusnya ini telah terjadi.)"
"(Sesuatu telah terjadi, lagi.)"
Alisnya mengkerut, tatapannya mulai serius memandang sekitarnya.
Vin membalikkan badannya kebelakang, dia melihat kalau Renz dan Jeannie masih diposisi tepat sebelum Vin mengucapkan kalimat.
Renz masih terpana dengan keindahan Pohon Rama, wajahnya kagum dan matanya fokus pada pohon itu.
Jeannie masih murung dan sedih, wajahnya masih menunduk. Dia tidak terpana akan keindahan Pohon Rama, tidak seperti Renz. Jari jemari Jeannie meremas rok hijau khas ras elf miliknya, seakan kesal dan sedih disaat yang bersamaan.
Vin melihat mereka berdua dengan seksama, tatapannya tajam memandang kearah mereka.
"Kalian, ayolah. Jangan hanya berdiam diri, lebih baik kita berteduh."
Suara Vin yang dingin, tatapannya serius.
Renz yang sedang terpana itu tiba tiba terbangun, lalu dengan senyum kecil menjawab Vin.
"Maaf maaf, ayo kita kesana. Ayo Jeannie."
Setelah melihat kearah Vin, pandangannya tertuju pada Jeannie. Dengan suaranya yang ceria membujuk Jeannie ikut bersama Vin dan Renz.
Jeannie yang tadinya menundukkan kepalanya, setelah mendengar Renz, dia secara perlahan memperlihatkan wajahnya. Wajah Jeannie yang sayu dan sedih terlihat jelas oleh Vin.
Melihat itu, Vin sedikit menghela nafas. Lalu membujuk Jeannie untuk ikut.
"Ayo, kita juga perlu istirahat, Jen."
Suara Vin sambil mengayunkan jempolnya kearah bawah Pohon Rama.
Jeannie tanpa berkata apapun, berjalan menghampiri Vin.
Renz yang tadinya diam, kini berjalan juga dibelakang Jeannie. Melihat mereka berdua, Vin membalikkan badannya, dan berjalan menuju bawah Pohon Rama diikuti Jeannie dan Renz.
Singkat waktu, mereka tiba dibawah pohon itu. Disana terdapat beberapa orang yang beristirahat dan ada sekitar 10 orang penjaga yang mengamankan lokasi sekitar Pohon Rama.
Dibawah pohon itu ada semacam altar, dipusat altar itulah dimana tempat akar Pohon Rama berada.
Vin, Renz dan Jeannie berjalan menghampiri sebelah pusat altar, disana ada tempat untuk beristirahat. Disana ada lahan kosong yang beralaskan kayu dan diatasnya ada daun dari Pohon Rama sebagai alas mereka.
Mereka tiba disana, mereka duduk bersama dengan wajah sedikit lega. Vin melepaskan pelindung dada kiri dan pelindung bahunya, sementara Renz melepas tameng kayu berlapis logam dari punggungnya.
"Akhirnya bisa istirahat sejenak, punggungku pegal karena membawa ini dari tadi pagi."
Renz dengan suara lega dan wajah bahagia setelah melepaskan tameng dari punggungnya.
Vin melihat sahabat baiknya terlihat bahagia begitu istirahat, lalu bertanya dengan nada sedikit bercanda.
"Kau pakai itu saat makan juga kan?"
Vin tersenyum kecil di ujung bibirnya, sambil meletakkan pedangnya disamping badannya.
Sementara itu, Jeannie duduk tanpa berbicara apapun. Telinga panjangnya juga sedikit turun kebawah, menandakan kalau Jeannie sedang lemas.
Vin melihat Jeannie yang sedang murung, kemudian bertanya dengan santai kepada Jeannie.
"Jen, kamu tidak melepaskan perlengkapan mu?"
Vin dan Renz melihat kearah Jeannie secara bersamaan, mereka melihat Jeannie dengan fokus.
Jeannie dengan suara pelan menjawab pertanyaan Vin.
"Tidak perlu..., aku baik baik saja."
Dengan suara pelan dan matanya tidak berani melihat kearah Vin dan Renz.
Vin dan Renz melihat satu sama lain, mereka berdua bertukar pikiran tanpa ada dialog apapun.
Renz menghela nafas, lalu meminta Vin untuk minta maaf kepada Jeannie.
"Ayolah, Vin. Minta maaf saja."
Suara Renz yang mencoba membujuk Vin untuk minta maaf kepada Jeannie.
Vin mendengar kalimat sahabatnya, lalu Vin menoleh kearah Jeannie yang sedang murung.
"Jen, maaf ya. Aku tidak bermaksud jahat."
Mata Vin tertuju pada wajah Jeannie yang masih sama.
Jeannie sedikit demi sedikit menoleh kearah Vin yang berada dikirinya, matanya melihat kearah Vin sejenak.
"Iya..., aku maafkan."
Setelah menjawab, Jeannie menurunkan matanya kembali, seakan tidak ingin menatap Vin.
Renz dengan kesal membalas Vin, dengan suara yang kesal.
"Ini salahmu, Vin. Harusnya kamu lebih peka."
Sambil menunjuk dengan jarinya kearah wajah Vin.
Vin menoleh kearah Renz setelah mendengar kalimat itu.
"Ya maaf, aku kan sudah berusaha."
Setelah menjawab Renz dengan jawaban seakan menganggap sepele masalah ini, Vin menoleh kearah atas melihat daun daun Pohon Rama yang bergoyang karena diterpa angin.
Renz menarik kembali tangannya, kemudian dengan singkat dia membalas Vin.
"Oh begitu ya?, apa karena itu juga kamu tidak bisa bergaul, Vin?."
"Kamu selalu saja menganggap hal disekitar mu dengan remeh."
Kalimat Renz yang kesal membalas jawaban Vin dengan nada yang mengejek.
Vin menoleh kembali kearah Renz, dia sedikit menghela nafas.
"Begini ya, aku bukan tidak ingin bergaul atau menganggap remeh."
"Tapi, aku yakin ada suatu hal yang memaksa ku untuk melakukan itu."
Vin melihat keara Renz dengan wajah serius.
Sementara itu Jeannie mulai tertarik dengan Vin lagi, wajahnya yang tadinya sayu dan sedih, kini terlihat normal. Telinga panjangnya juga mulai menaik.
"(Apa yang dimaksud Vin?)"
Dimomen itu, Jeannie mulai melihat kedekatan Vin dan Renz yang terlihat jelas.
Renz dengan nada kesal bertanya kepada Vin.
"Suatu hal?, ayolah. Jangan disembunyikan, kita kan sahabat."
Matanya fokus, menunggu jawaban dari Vin.
Vin yang melihat kalau Renz mulai terlihat fokus, dia menjawab dengan jawaban singkat.
"Malas."
"Itu aja."
Setelah menjawab itu, Vin tersenyum kecil diwajahnya.
Renz terkejut dengan jawaban aneh dari Vin, dia mulai kesal, urat kepalanya terlihat sedikit ketika Renz marah.
"HAH, ITU AJA!?."
Dengan nada tinggi bertanya kembali kepada Vin.
Vin dengan wajah polos dan dingin, menjawab pertanyaan Renz lagi.
"Ya."
Jawaban singkat dan padat keluar dari mulutnya.
Renz sedikit membuka mulutnya karena kesal, dia menggenggam erat tangannya. Sambil mengerutu dengan jawaban Vin.
"Kau ya, emang pengen di-"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Renz terhenti karena mendengar suara tawa yang cukup dekat.
Vin juga melihat kearah yang sama seperti yang dilihat Renz.
Ternyata itu Jeannie yang tertawa melihat perilaku dua sahabat itu, karena Jeannie dari tadi mendengarkan obrolan Vin dan Renz.
"Hahaha"
Tawa yang lucu dan manis keluar dari wajah Jeannie, posisi Jeannie yang tadinya tegang, sekarang berubah menjadi santai.
Vin dan Renz disaat yang bersamaan mengucapkan kalimat yang sama.
"Apa yang lucu?"
Setelah menyadari kalau mereka mengucapkan kalimat yang sama, Vin dan Renz tertawa juga disaat yang bersama.
Vin dengan tawa kecil, Renz dengan tawa ceria dan Jeannie yang tertawa lucu, membuat hari itu menjadi cair. Ketegangan mulai hilang dan kebahagiaan mulai muncul dari wajah mereka semua.
Suara Vin, Renz dan Jeannie perlahan hilang.
Suara hening muncul begitu saja, tanpa peringatan apapun.
Author:
"Mutlak?, tidak ada kata "Mutlak". Karena kalian hanya sebuah ciptaan."