Di sebuah desa yang bernama Ashcroft, hidup seorang pemuda berusia 14 tahun yang bernama Alto Vaelcrest. Keseharian Alto adalah membantu kedua orang tuanya mengelola ladang kecil mereka, dan mengganggu adik perempuannya, Selene yang merupakan seorang kutu buku.
"Kakak! Apa lagi yang kau lakukan?!" Ucap Selene dengan nada kesal kepada Alto.
Alto berlarian di sekitar rumah, melarikan diri dari kejaran adiknya, "Buku apa ini, sepertinya menarik, hahaha." Ucap Alto sembari berlari.
"Kembalikan buku ku!" Teriak Selene sambil mengejar Alto dengan kaki kecilnya.
"Alto, hentikan itu. Lebih baik kamu membantu ayah memanen hasil tahun ini." Ucap Eldrick dengan pakaian lusuhnya.
"Benarkah? Asyik! Akhirnya waktu panen kita telah tiba. Langsung saja, ayah!" Ucap Alto sambil melempar buku milik Selene.
Selene melihat buku itu melayang, lalu dengan cepat merngambilnya sambil menggerutu, "dasar tukang ganggu..."
Alto kemudian mengikuti ayahnya, pergi ke ladang mereka untuk memanen hasil ladangnya tahun ini. Di bawah matahari yang terik, mereka berdua mulai memanen sayur-sayuran dengan semangat. Dengan tangan mungilnya, Alto mengambil satu per satu sayuran di ladangnya, sementara ayahnya memanen gandum di ladang yang lainnya.
"Mantap. Sayur-sayuran tahun ini pun sangat segar." Ucap Alto sambil terus memanen sayuran.
Pada siang yang terik itu, burung-burung berkicau, menciptakan suasana damai dan tenang di desa Ashcroft. Tak peduli seberapa panas hari pada siang itu, Alto dan ayahnya memanen dengan suka cita, berharap bisa mengekspor hasil panen tahun ini ke pusat kota di Kerajaan Arcadia.
Saat itu, Alto dan ayahnya sedang merapikan hasil panen sayur-sayuran dan gandum di sebuah gubuk kecil di tengah ladang mereka. Matahari mulai terbenam, menciptakan pemandangan cahaya jingga keemasan yang menenangkan hati. Mereka berdua duduk di gubuk kecil itu sambil menikmati pemandangan matahari terbenam.
"Kau tahu, Alto..." Ucap ayahnya sambil mengusap keringat di dahinya sambil melihat hasil panen mereka tahun ini. "Jika panen ini sangat bagus dan bisa kita jual di ibu kota kerajaan, mungkin kita bisa membangun rumah yang lebih besar, dan mungkin kamu dan Selene bisa belajar lebih banyak, seperti bersekolah di akademi penyihir."
Mendengar hal itu, Mata Alto melebar, membayangkan kehidupan akademi yang selalu ia impikan. Namun, Alto sedikit bimbang karena akhir-akhir ini ia mendapat mimpi-mimpi aneh dan seringkali bermimpi bertemu dengan seekor naga berwarna merah yang perkasa, tetapi Alto masih bingung apakah ia harus menceritakan ini atau tidak.
Saat mereka selesai mengumpulkan hasil panen dan memindahkannya ke gudang, seorang bertopeng dengan jubah hitam muncul di ujung ladang mereka. Orang itu mendekati Alto dan ayahnya, sorot matanya tajam mengamati Alto. Eldrick sesaat merasakan keanehan, lalu segera berdiri di depan Alto untuk melindungi putranya.
"Maaf, tuan. Kami hanyalah petani di desa ini," Ucap Alto dengan nada tenang, meskipun ada sedikit ketegangan dalam suaranya. "Ada yang bisa kami bantu?"
Gadis bertopeng itu terus menatap Alto, "Aku merasakan bahwa ada Soul Seal di desa ini, jadi aku mengunjungi desa ini..." Ucap gadis bertopeng itu dengan nada tenang. Gadis itu lalu menunjuk Alto, "Bocah, aku merasakan Soul Seal itu pada dirimu."
"Kami tak tahu apa maksudmu, Tuan." Ucap Eldrick sambil menggenggam tangan Alto. "Anak ini hanyalah anak desa biasa, dan kami sekeluarga bahkan tidak memiliki sihir." Lanjut Eldrick dengan nada tegang.
"Anak desa biasa ya... Hm... Itu tidak masalah. Soul Seal jenis ini tak ada kaitannya dengan semua itu." Gadis itu terus menatap Alto, lalu berbalik meninggalkan Alto dan ayahnya. "Semoga kau tetap tegar, bocah..." Ucap gadis itu sambil perlahan menghilang dalam bayang-bayang.
Eldrick memperhatikan gadis itu, lalu bernafas lega setelah gadis itu menghilang namun masih menggenggam tangan Alto. Alto yang kebingungan hanya bisa menatap ayahnya yang tampak rapuh dari biasanya.
"Siapa dia, ayah? Apa itu Soul Seal?" Tanya Alto dengan polosnya.
"Ayah tak tahu... Namun jika sebuah Soul Seal ada padamu, itu adalah pertanda baik, namun bisa juga pertanda buruk." Ucap Eldrick dengan nafas berat.
Eldrick menatap anaknya dengan perasaan cemas, namun ia menutupinya dengan senyum tipis. Ia kemudian berlutut, lalu memegang bahu Alto dengan kedua tangannya.
"Alto, terkadang dunia ini menyimpan hal-hal yang sulit dimengerti oleh kita yang hidup sederhana di desa terpencil," Ucap Eldrick dengan suara serak. "Tapi kamu tak perlu takut. Ayah ada di sini untuk melindungimu, seperti janjiku kepada Elara saat menikahinya."
Alto bisa merasakan tangan ayahnya yang gemetaran. Ia merasa kata-kata gadis bertopeng tadi bukanlah peringatan biasa. Ia merasa ada beban besar yang baru saja menimpanya, beban yang sangat berat dan tak tahu bagaimana cara menanganinya.
Keesokan paginya, Alto mencoba menghilangkan pikiran tentang apa yang dikatakan oleh gadis bertopeng itu. Ia mengalihkan pikirannya dengan membantu ayahnya mengurus ladang seperti biasa, membawa ember-ember air dari sungai, dan bermain bersama teman-teman sebayanya di sekitar hutan.
Pada sore hari, Alto duduk di tepi sungai sambil melempar beberapa kerikil ke air. Ia masih mengingat kejadian kemarin, saat bertemu dengan gadis bertopeng itu. Tiba-tiba, Selene mendekatinya dengan sebuah buku tebal di pangkuannya.
"Ada apa, kak? Kamu keliatan murung banget hari ini," Tanya Selene dengan nada khawatir sambil duduk di sebuah batu disamping Alto.
"Ga ada kok. Cuman lagi mikir sesuatu aja." Ucap Alto, menatap adiknya sambil tersenyum tipis.
"Kau... tau tentang itu?" Alto sedikit terkejut.
Selene mengangguk, "Aku mendengar pembicaraan ayah dan ibu tadi malam. Mereka keliatan sangat khawatir." Selene lalu membuka buku tebal di pangkuannya. "Jadi aku penasaran dan akhirnya aku nyari-nyari di buku kunoku."
Alto menggeser posisi duduknya agar bisa melihat buku Selene. "Terus? Kamu nemuin sesuatu gak?"
"Kalo di buku ini sih," Selene mulai membaca, "Soul Seal adalah tanda yang muncul pada orang yang terpilih. Mereka yang memiliki Soul Seal biasanya adalah penyihir atau ksatria hebat. Bukan... uhm..."
"Bukan anak desa kaya aku?" Alto tertawa kecil.
Selene mengangguk malu-malu. "Maaf, kak."
Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Dedaunan pohon beterbangan di sekitar mereka, langit yang tadinya cerah mulai digantikan oleh awan gelap. Alto merasa ada yang aneh, perasaan yang sama seperti saat ia bertemu dengan gadis bertopeng itu.
Suara gemuruh terdengar dari arah desa. Alto seketika berdiri. "Aku mau balik ke desa. Perasaaku ga enak..."
Belum sempat Alto melangkah, sebuah ledakan besar terdengar dari arah desa. Asap hitam bertebaran di langit desa, diiringi dengan sayup-sayup teriakan penduduk desa.
"Selene, tunggu disini ya?" Ucap Alto sambil mulai melangkah.
"Nggak! Aku ikut!" Selene mengejar kakaknya.
"Kamu tunggu di sini aja. Ntar aku balik lagi kok, aku janji." Ucap Alto dengan senyuman yang dipaksakan.
"Beneran? Janji ya?" Ucap Selene sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
"Iya, aku janji." Alto menempelkan jari kelingkingnya ke adiknya, lalu berlari ke arah desa.
Setelah Alto pergi, Selene mencari tempat persembunyian di semak belukar. Namun, belum lama ia bersembunyi, sebuah suara datang dari belakangnya.
"Hai," Ucap Suara itu. Selene berbalik, lalu melihat gadis bertopeng yang kemarin menemui kakaknya.
"Kau..."
Gadis itu melepas topengnya, memperlihatkan wajah gadis elf cantik bermata biru dan rambut putih dengan bekas luka di pipi kanannya.
"Aku Ezra, seorang pengembara yang kebetulan punya sedikit pengetahuan tentang Soul Seal," Ucapnya sambil duduk di sebelah Selene. "Udah berapa tahun ya? Aku mengawasi gerak-gerik pemburu Aphoteosis..."
Selene menatap Ezra dengan rasa ingin tahu. Ada sesuatu yang misterius dari Ezra, seperti membawa beban rahasia yang sangat berat.
"Selene, kamu tau gak? Yang diburu oleh banyak orang itu hanya pemegang Soul Seal Aphoteosis." Ucap Ezra dengan nada tenang.
"Kenapa hanya Aphoteosis?" Tanya Selene, masih memangku erat buku tebalnya.
"Karena cuma Soul Seal Aphoteosis yang difitnah oleh semua orang. Soul Seal Aphoteosis adalah 8 kekuatan legendaris yang terbagi dalam dua kelompok. Empat dari mereka adalah Naga Surgawi, ya salah satunya si Ignis yang bersemayam di tubuh kakakmu" Ucap Ezra sambil mengusap lembut kepala Selene.
Sementara itu, Alto yang akhirnya sampai di desa dibuat terkejut dengan pemandangan di hadapannya. Pasukan berbaju zirah dengan lambang kerajaan Arcadia memenuhi desa dengan senjata.
"Dimana bocah itu?!" Teriak salah satu komandan. "Cari dia!"
Alto melihat ayah dan ibunya berlutut di tengah desa, dikelilingi para prajurit. Eldrick, meskipun terluka masih melindungi Elara.
"Kami sudah bilang kepadamu tuan, kami tidak tahu siapa yang anda cari." Ucap Eldrick.
"Menjijikkan. Rakyat jelata seperti kalian mencoba untuk membohongi kami?!" Komandan itu menghunus pedangnya.
"Lebih baik kami mati daripada menyerahkan anak kami kepada manusia keji seperti kalian!" teriak Elara dengan berani.
Alto ingin berteriak, berlari menyelamatkan mereka, namun kakinya tidak bisa digerakkan. Ia hanya bisa terpaku melihat komandan itu mengayunkan pedangnya.
Darah bercipratan, dan tubuh Eldrick dan Elara jatuh ke tanah. Seketika itu penglihatan Alto mulai gelap. Dalam kegelapan itu, Alto mulai mendengar suara gema yang samar.
"Bocah... Kau marah? Pasti rasanya sakit melihat kedua orang tuamu dibunuh di depan matamu, bukan?" Suara itu menggema dalam benaknya. "Amarahmu telah membuatku bisa berinteraksi dengan dikau yang lemah! Akulah Ignis, sang Naga Kehancuran!"
Alto mengangkat tangannya ke atas. Api merah kehitaman membentuk sepasang sayap naga di punggungnya. "Kalian mau Soul Seal ini kan?" Suara Alto bercampur dengan gema suara Ignis. "Majulah! Biar kutunjukkan siapa yang kalian hadapi! Raging Dragon, Eclipse Form!"