Chereads / Sistem Pemberian Dewa / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

"Buang-buang waktu saja...!?" Wein melihat seorang gadis cantik yang selalu menolaknya tengah bekerja disalah satu cafe.

Seketika dia tersenyum tipis dan memutar mobilnya berhenti diparkiran sana.

Wein duduk sendiri, dan tentu saja berberapa wanita yang melihatnya langsung teralihkan, karena ketampannya tidak diragukan lagi namun dia selalu saja berbuat yang bodoh.

"Anda ingin memesan apa tuan..." ucap pelayan dengan tersenyum, melihat itu bukan gadis yang dia inginkan Wein mengelengkan kepalanya.

"Bawa Sena kemari..." Wein menutup matanya mengatakan itu dengan tenang.

"Anu tuan, dicafe ini tidak melayani...!" Pelayannitu melihat wein memberinya 500 dolar.

"Saya akan memanggilnya tuan!" Dia bergegas masuk, dan tak lama setelah itu Sena keluar.

"Kau!!" Sena tidak percaya, pria yang selalu menggodanya dikelas ternyata ada disini.

"Yo gadisku." ucap Wein, karena memang sudah dicap sebagai playboy mau gimana lagi dia, ya dia hanya perlu melanjutkan peran itu.

"Cih..." Sena hendak pergi.

"Temani aku disini, atau mungkin saja kau kehilangan pekerjaanmu." ucap Wein menghentikan langkah Sena.

Dengan terpaksa Sena duduk dikursi kosong dekat dengan pemuda itu.

Dia tahu siapa pemuda itu, dan tentu saja ucapannya tidak main-main.

"Apa maumu?" Tanya sena Sinis.

"Tidak banyak, temani saja aku malam ini sampai Cafe tutup." wein tersenyum, dan biasanya senyumannya itu akan memikat wanita manapun, namun...

Sena berbeda.

"Hentikan itu, kau membuatku jijik..." Bahkan jelas Sena menunjukan wajah tidak suka.

"Bukankah dia sangat menarik..." pikir wein pantas saja dirinya selalu ditolak, mungkin karena memang dirinya yang brengsek dan suka main wanita.

Pelayan yang sempat diberi tip oleh wein, kembali disana bersama seorang manager cafe.

Melihat aksesoris yang wein kenakan yaitu jam tangan rolex, bahkan Manager itu sekali lihat tahu harga aslinya.

"Itu... 10 juta dolar... sepertinya aku bertemu seorang tuan muda." pikirnya.

"Ada yang bisa saya bantu tuan?" ucap manager dengan sangat sopan.

Bahkan bukan hanya jam tangan saja, melihat mobil yang terparkir diluar sudah jelas milik siapa,ditambah selain jam tangan, kalung wein slterlihat sangat mahal, beserta cincinnya.

"Hmm... Kakau begitu pesankan saja aku menu yang sama dengannya." Wein tersenyum kearah Sena.

Manager itu segera melihat sena yang menahan kekesalannya, namun dia tahan, kalau mengacau tentu dia akan dipecat.

Melihat sena yang paham situasinya dan memesan makanan dan tanpa minuman wein tidak heran namun.

Ada niat terselubung dibalik itu.

"Sekalian saja aku kerjaiin..." pikir sena hampir saja dia tertawa, di memesan ramen pedas yang sangat pedas disana, karena dia tahan pedas dia pikir wein pasti tidak tahan pedas.

"Jadi apa maumu?" tanya Sena.

"Tidak ada, hanya ingin melihat wajah cantikmu saja." ucap Wein.

Jelas kata-kata seekor buaya darat, bahkan dia tidak menyangka seorang yang dulunya selaku sendirian bisa bicara seperti itu.

Mungkin faktor karena ini bukan tubuh asalnya.

"Buaya..." gumam Sena terdengar dinulut Wein.

"Sudah kuputuskan... Dia kadidat nomor 1 sebagai istriku... dengan sedikit rias saja aku yakin ibu bakal senang." pikir Wein.

Ibunya sudah dari dulu menginginkan anak perempuan, namun hanya dia satu-satunya anak mereka dan bahkan tidak dia kira menjadi seorang sampah.

Setelah 5 menit pesanannya tiba, dan tentu saja mencium aroma aneh dia melirik makanan yang dipesan oleh Sena.

"Tunggu..." Pikirnya, mengingat lidah Wein hanres sangat sensitif terhadap makanan pedas dia seketika panik.

[Tenang saja tuan!]

[Berkat ketahanan anda meningkat, tingkat kepedasan biasa bukan masalah.]

"Ah begitu..." Wein menjadi tenang kembali.

Melihat tidak ada reaksi apapun Sena bingung, padahal itu sangat pedas, bahkan dia sampai sedikit berkeringat, namun Wein menghabiskannya bahkan dengan kuah pedas itu sampai tidak tersisa.

"Jadi kau suka makanan pedas ya... bagus lah selera kita sama." ucap Wein bahkan dia tidak merasakan itu pedas atau tidak.

"Kau tahan pedas?" Ucap sena tidak percaya.

"Lumayan." Wein mengangjat kedua bahunya, dan melihat rambut sena yang awalnya terurai dia ikat memperlihatkan leher seputih salju yang berkeringat membuat Wein menelan ludahnya.

"Sial... Apa dia menggodaku?" Hasrat yang sudah otomatis yang dimiliki seorang pria, tentu saja hampir aktif kalau dia tidak menahannya.

"?? Ada apa?" ucap Sena

"Bukan apa-apa, dan apa kau pulang sendiri?"

Pertanyaan yang membuat Sena Menatapnya dengan sinis.

"Aku bisa naik taksi." Jawabnya dengan dingin.

"Berbahaya loh, bagi gadis cantik sendirian."

"Apa maksudnya? Justru yang berbahaya itu bersamamu, pria mesum!" Hina Sena didalam benaknya.

"Aku antar kau pulang."

"Tidak, tidak perlu."

"Apa perlu aku mengulangi ucapanku?" Wein terkekeh.

"...." Sena menghela nafas.

"Kalau kau melakukan sesuatu yang tidak senonoh, Awas saja." ucapnya

Wein habya menggelengkan kepalanya.

"Kita pulang sekarang." ucap Wein berdiri.

"Hei! Aku masih sedang bekerja-!!?"

Sena melihat Wein berbicara dengan manager cafe dan memberinya segepok uang yang entah dari mana bisa dia bawa.

"Sena kau bisa pulang dengan tuan Wein lebih awal." ucap Manager tersenyum berterima kasih terhadapnya.

"Kau... apa kau menyogoknya?"

"Siapa yang tahu..." Wein menuju mobilnya dan membukakan pintu mobil untuk Sena.

Mobil mewah, bahkan sangat mewah, Sena tidak mengira hari dimana dia bisa duduk dikursi mobil yang hampir mencapai 100 juta itu.

"... Didalamnya juga mewah..." Pikirnya.

Wein melihat gerak-gerik Sena yang seperti takut menyentuh bagian mobil itu.

Wein mendekat kearah Sena, yang membuat pihak lain mengira dia akan dipermalukan.

Namun Wein hanya mengenakan Sabuk pengaman kepada Sena.

"Apa kau berharap yang lain?" Wein tersenyum.

"Di-Diamlah..." Sena sudah tidak tenang, bahkan dia takut kalau Wein menyerangnya tiba-tiba, apalagi didalam mobil tidak terlihat dari luar.

"Kalau menantikan hal itu, mau kehotel dulu?"

"Diamlah bajingan! cepat jalan!" Sena sudah sangat kesal.

"Cium dulu..." ucap Wein.

"...?!!! Hahh???" Sena tidak mengira itu akan keluar dari mulut pria buaya ini.

"Aku bilang cium dulu, nih disini." Wein menunjuk pipinya.

Sena ingin keluar, namun pintu mobil telah terkunci rapat.

"Kau!!!" Dia tambah kesal terhadap Wein.

"Apa? Mau memukul?" Wein sebenarnya hanya bercanda, namun.

Tik...

"??!!!" Air mata Sena terjatuh, dia menangis.

"Eh?" Wein seketika panik.

"Huhu~!"

"He-Hei aku hanya bercanda!" Wein segera menyalakan mobil dan pergi, dia sengaja memperlambat kecepatan mobil sampai Sena mau diam dari tangisnya.

Canggung...

Tidak ada yang mau memulai pembicaraan, bahkan wein sangat merasa bersalah.

"Maaf..." Ucap wein namun tidak diperdulikan.

"Hei, sena, aku minta maaf...?"

"Dia tidur?" Sena bersandar kepintu mobil dan tertidur nyenyak.

Wein tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan mengambil gambar Sena yang tertidur.

Tentu saja dia tersenyum, sena mode tidur...

Pria manapun akan Melakukan hal yang tidak senonoh, namun Wein tidak, dia ingin menikmati momen itu lebih lama.

Apalagi Wajah Lelah Sena jelas terukir, itu membuat Wein tidak tega kalau melakukan hal yang jelas hanya merugikan sena.

"Hahh..." Wein menghela nafas, ketika sudah tiba diparkiran apartemen yang disewa Sena.

"Jadi... apa aku harus semalaman disini?" Gumam Wein.

"Apa aku bawa saja dia keapartemennya? tidak-tidak itu tindakan terlarang, apalagi bagaimana aku bisa membuka pintunya." Dia berbicara sendiri.

Namun tanpa dia sadari Sena dari awal mereka tiba disana sudah bangun, dan berpura-pura tidur agar melihat apa yang dilakukan pria bajingan disampingnya itu.

Dia pikir akan dilecehkan dan tentu saja dia akan melawan, namun mendengar pria yang dia anggap bajingan atau memang bajingan kebingungan, dia memilih bangun dan pura pura tidak mendengar apapun.

"? Syukurlah kau sudah bangun." ucap Wein keluar dari mobilnya dan membukakan pintu mobil untuk sena.

"Hump..." Sena mendengus dan melewati wein tanpa mengucapkan apapun.

"Tunggu..." Wein memegang tangan Sena.

"Mau apa lagi?" Sena matanya jelas menunjukan habis menangis.

"Ambil..."

Wein menyerahkan sebuah kartu rekening, membuat Tatapan Sena gelap seketika.