Bab 3: Ujian Kepercayaan
Sejak memutuskan untuk membagi waktu antara berlatih pencak silat dan membantu orang tuanya di sawah, kehidupan Rangga menjadi lebih terstruktur. Namun, ia tetap merasa ada yang kurang. Orang tuanya, meski sudah lebih menerima pilihannya, masih khawatir akan keselamatan Rangga.
"Nak, jangan terlalu memaksakan diri," ujar Ibu Rangga suatu sore. "Biar Ibu saja yang mengurus sawah."
"Tidak, Bu. Saya ingin membantu Ibu," jawab Rangga tegas. "Lagipula, saya sudah terbiasa dengan kegiatan ini."
Rangga berusaha meyakinkan ibunya bahwa ia mampu mengimbangi keduanya. Namun, dalam hati, ia merasa bersalah karena belum bisa sepenuhnya membuat orang tuanya tenang.
Di sisi lain, ejekan teman-temannya semakin menjadi-jadi. Mereka sering mengejek Rangga sebagai "anak pendekar" yang sok hebat.
"Hei, Rangga! Lebih baik kamu fokus pada sawah saja daripada berlatih silat yang tidak berguna itu," ejek Beni, teman sekelasnya.
Rangga berusaha sabar menghadapi ejekan teman-temannya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah pikiran mereka dalam waktu singkat. Yang penting, ia tetap fokus pada tujuannya.
Suatu hari, desa mereka mengadakan lomba panen padi. Semua warga berlomba untuk mendapatkan hasil panen terbaik. Rangga pun ikut berpartisipasi.
"Ayo, Rangga! Tunjukkan pada mereka bahwa kamu bisa melakukan semuanya!" seru Guru Haris menyemangatinya.
Dengan semangat yang membara, Rangga bekerja keras bersama teman-temannya. Berkat latihan pencak silat yang rutin, tubuhnya menjadi lebih kuat dan tahan banting. Ia mampu mengangkat karung padi yang lebih berat dari teman-temannya.
Pada hari pengumuman pemenang, desa dipenuhi oleh suasana meriah. Semua warga berkumpul di lapangan untuk menyaksikan acara tersebut.
"Dan pemenang lomba panen padi tahun ini adalah... Rangga!" seru ketua panitia.
Seketika, seluruh mata tertuju pada Rangga. Ia merasa sangat senang dan bangga. Ia telah membuktikan kepada semua orang bahwa ia mampu menyeimbangkan antara minat dan tanggung jawabnya.
Setelah acara selesai, teman-teman Rangga datang kepadanya. Mereka terlihat malu dan menyesal telah mengejeknya selama ini.
"Maafkan aku, Rangga," ujar Beni. "Aku tidak menyangka kamu sekuat ini."
Rangga tersenyum. "Tidak apa-apa, Beni. Yang penting kita semua sudah saling memaafkan."
Sejak saat itu, hubungan Rangga dengan teman-temannya menjadi lebih baik. Mereka mulai menghormati pilihan Rangga untuk belajar pencak silat.