Bab 1: Panggilan Sang Pendekar
Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, menyinari sawah-sawah luas yang mengelilingi Desa Kemuning. Embun pagi masih menempel di daun-daun padi, berkilau bak permata. Di tengah suasana pedesaan yang tenang itu, seorang pemuda bernama Rangga tengah bersiap untuk bekerja.
Usianya baru 18 tahun, namun tubuhnya sudah cukup kekar karena sering membantu orang tuanya di sawah. Wajahnya tampan dengan sepasang mata hitam yang berbinar. Namun, di balik senyumnya yang ramah, tersimpan sebuah keraguan.
Rangga selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Ia bosan dengan rutinitas sehari-hari yang monoton. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti, sesuatu yang bisa membuatnya merasa hidup.
Suatu pagi, saat Rangga sedang mencangkul di sawah, ia mendengar suara gamelan yang merdu dari kejauhan. Suara itu membawanya pada kenangan masa kecil, ketika ia sering menyelinap ke belakang rumah untuk mengintip latihan pencak silat.
Dulu, Rangga sangat mengagumi para pendekar dengan gerakan mereka yang lincah dan penuh kekuatan. Namun, karena ejekan teman-temannya, ia mengurungkan niatnya untuk belajar pencak silat.
"Ah, sudahlah. Apa gunanya memikirkan hal yang tidak mungkin?" gumam Rangga dalam hati.
Namun, suara gamelan itu terus memanggil-manggilnya. Rangga merasa gelisah. Ia ingin sekali merasakan sensasi berlatih pencak silat.
Setelah selesai bekerja, Rangga memberanikan diri untuk pergi ke tempat latihan pencak silat. Sesampainya di sana, ia melihat banyak orang sedang berlatih dengan serius. Di tengah kerumunan itu, ada seorang pria tua dengan rambut putih yang sedang mengajarkan gerakan dasar pencak silat.
Pria tua itu adalah Guru Haris, seorang pendekar yang sangat dihormati di desa. Rangga ragu-ragu untuk mendekat, tapi akhirnya ia memberanikan diri.
"Permisi, Pak Guru," sapa Rangga.
Guru Haris menatap Rangga dengan senyum ramah. "Ada apa, Nak?"
"Saya ingin belajar pencak silat, Pak," jawab Rangga dengan suara pelan.
Guru Haris mengangguk. "Bagus sekali, Nak. Setiap orang berhak untuk belajar dan mengembangkan diri."
Rangga merasa sangat senang mendengar kata-kata Guru Haris. Sejak saat itu, Rangga mulai belajar pencak silat dengan sungguh-sungguh. Ia berlatih setiap hari, bahkan ketika badannya lelah.
Namun, tidak semua orang mendukung keputusan Rangga. Teman-temannya sering mengejeknya dan menganggap pencak silat sebagai kegiatan yang kuno.
"Hahaha, mau jadi pendekar? Lucu sekali!" ejek Beni, teman sekelas Rangga.
Rangga berusaha untuk tidak menghiraukan ejekan teman-temannya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah benar.