Chereads / Pesona Paman Seno / Chapter 2 - PPS | Mulai Beraksi

Chapter 2 - PPS | Mulai Beraksi

Kicauan burung yang hinggap di ranting-ranting pohon mengusik tidur seorang gadis cantik yang masih setia bergelung di dalam selimut tebal. Hawa dingin yang menerpa kulit karena hujan semalam yang turun dengan deras, membuat gadis itu enggan keluar dari tempat nyamannya.

Namun gedoran pintu kamar yang dia tempati, membuat sang gadis mau tidak mau akhirnya terbangun. Berdecak sebal karena tidurnya terganggu, sebelum kemudian menendang kasar selimut yang semula menutupi tubuhnya hingga terjatuh di atas lantai.

Ceklek

"Ada apa, Bibi?" tanya gadis bernama Rindu itu pada wanita yang telah mengganggu tidurnya.

Decakan samar dari wanita paruh baya di depannya ini membuat mata Rindu yang semula terasa lengket perlahan terlepas. Menyisakan benang-benang tipis yang mengganjal matanya.

"Ya Tuhan, Rindu.. ini sudah jam berapa? Kenapa kamu baru bangun tidur?" omel wanita bernama Hanum itu pada keponakannya.

Gadis muda berparas cantik itu diam-diam memutar bola matanya malas. Selalu saja setiap pagi dia akan mendengar ocehan dari bibinya ini. Membuat kepalanya pening dengan telinga berdengung karena harus mendengar lengkingan dari Hanum.

"Iya-iya, Rindu bangun kesiangan. Ada perlu apa Bibi mencari Rindu?" tak ada yang lebih benar dilakukan oleh Rindu selain mengalah, agar Hanum tak lagi merecoki paginya.

"Antar bekal ini untuk pamanmu di bengkel. Dia pasti sudah kelaparan karena menunggu masakan Bibi matang." perintah Hanum pada keponakan cantiknya.

Menghela napas berat, Rindu lantas menyambar rantang berisi sarapan untuk pamannya, Seno. Tanpa mengganti pakaian tidurnya yang berupa celana pendek sebatas paha dan kaos sebahu, Rindu langsung keluar dari rumah bibinya dengan kunci motor yang ada di genggaman tangannya.

Hal seperti ini memang sudah biasa terjadi. Setiap paginya, Hanum akan menyuruh Rindu mengantarkan bekal makan siang untuk Seno yang bekerja di bengkel. Usaha bengkel yang digeluti pria berusia 45 tahun itu cukup ramai. Kini sudah ada 5 karyawan yang bekerja di bengkelnya.

Kembali pada Rindu, gadis cantik bersurai gelap panjang itu menghentikan motornya ketika sudah sampai di bengkel. Beberapa karyawan yang masih lajang tampak menyapanya dengan ramah dan menatapnya penuh minat. Wajar saja, di desa ini memang jarang sekali melihat gadis bening seperti Rindu.

Sebelumnya, Rindu adalah putri tunggal dari Heru Budiman, pemilik pabrik tebu yang cukup terkenal di wilayahnya. Karena sebuah kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya, membuat Rindu yang waktu itu masih berada di bangku akhir SMA sangat terpuruk.

Kehilangan orang tuanya membuat Rindu menutup diri dari dunia luar selama berminggu-minggu. Hal itu juga yang membuat dirinya enggan bersekolah. Untung saja ada teman ayahnya yang mengurus semuanya hingga Rindu bisa tetap bersekolah walau homeschooling.

Lalu beberapa bulan setelahnya, bibinya yang tinggal di desa datang menemuinya. Mengatakan jika dia bersedia merawat Rindu. Hal itu tentu saja disambut baik oleh Rindu. Namun tidak dengan sahabat ayahnya yang bernama Rudi.

Rudi yang selama ini bungkam, akhirnya mulai menceritakan permasalah yang terjadi antara Heru dan Hanum semasa masih hidup dulu. Rudi juga mengatakan jika bibinya diduga ikut andil dalam peristiwa kecelakaan yang terjadi pada kedua orang tuanya.

Mendengar cerita Rudi, Rindu awalnya tidak percaya. Tidak mungkin bibinya, Hanum tega melakukan itu pada kakaknya sendiri. Namun semua bukti yang Rudi dapatkan, membuat Rindu akhirnya percaya. Dan sejak saat itu dia mulai menyimpan dendam pada Hanum.

Rindu memutuskan untuk menerima tawaran Hanum dengan tinggal bersamanya di desa. Keputusan itu tidak Rindu pilih tanpa pertimbangan. Rindu yang memang ingin membalaskan dendamnya merasa terbantu dengan tawaran tersebut. Walau dia tahu jika Hanum pasti memiliki maksud lain dengan mau merawatnya secara cuma-cuma.

Setelah menyapa beberapa karyawan yang kedapatan menatapnya dengan pandangan nakal, Rindu bergegas menuju ruangan kerja pamannya, Seno. Tanpa mengetuk pintu, Rindu langsung masuk ke dalam ruangan Seno dan mendapati pria itu tengah berkutat dengan pekerjaannya.

"Siang, Paman." sapa Rindu dengan riang.

Gadis cantik itu berjalan berlenggak-lenggok mendekati Seno yang menatapnya dengan senyuman kecil. Rindu meletakkan rantang berisi bekal makan siang untuknya. Lalu dengan berani duduk di atas meja kerja Seno.

"Kenapa duduk di sini? Sana, duduk di sofa." kata Seno melihat keponakan istrinya yang duduk di sampingnya. Bedanya gadis itu duduk di atas meja.

Rindu hanya menganggap ucapan Seno angin lalu. Saat ini dia lebih tertarik menatap pria itu dengan seksama. Jika dilihat-lihat, Seno memang memiliki paras yang menawan. Kulitnya yang sawo matang dengan tubuhnya yang kekar menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap wanita yang melihatnya. Tak terkecuali Rindu yang memang memiliki maksud lain.

"Paman.." panggil Rindu dengan suara lembutnya.

Seno yang tengah berkutat dengan laporan keuangan bulan ini tampak menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar suara Rindu yang tidak biasanya memanggilnya dengan nada seperti itu.

"Ada apa, Rin? Kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Seno sembari meletakkan pulpennya dan menarik lepas kacamata yang sejak tadi membingkai wajahnya.

Pria itu menatap keponakan istrinya yang terlihat berwajah murung. Menghadirkan tanda tanya besar di pikiran Seno. Apa yang sedang dipikirkan oleh gadis cantik itu sekarang?

"Rindu merindukan Ayah dan Bunda." ujar gadis itu dengan suara lirih.

Seno yang merasa kebingungan harus bereaksi apa hanya bisa terdiam. Kehilangan kedua orang tua apalagi dengan cara yang sangat tragis pasti membuat setiap orang merasa terpukul. Dan saat ini Rindu sepertinya kembali bersedih ketika mengingat Heru dan Rinda.

"Rin.." lirih Seno yang membuat Rindu mendongakkan wajahnya yang sejak tadi menunduk. Menampilkan raut sedih yang membuat Seno bersimpati.

Tap

Tap

Bruk

Deg

Seno sontak berjengit saat tiba-tiba Rindu menjatuhkan tubuhnya di atas pangkuannya. Belum sampai Seno menyuarakan protesnya, Rindu sudah lebih dulu menubrukkan tubuhnya di dada Seno. Memeluk pria setengah baya itu dengan sesenggukan.

"Hiks.. kenapa Ayah dan Bunda harus pergi secepat ini, Paman?" isak Rindu yang terdengar jelas di telinga Seno karena jarak mereka yang begitu dekat. Bahkan posisi keduanya saat ini terlihat sangat intim.

Didorong oleh rasa simpati, Seno yang semula merasa tidak nyaman dengan kondisi mereka lantas mulai mendaratkan tangannya di punggung ringkih Rindu. Saat ini dia hanya ingin membuat Rindu kembali tenang dan tidak bersedih lagi.

"Sudah, jangan menangis lagi. Ada Paman dan Bibi Hanum yang akan selalu menemani kamu. Doakan saja semoga Ayah dan Bunda kamu tenang di surga." kata Seno tulus.

Rindu yang mendengarnya diam-diam tersenyum tipis. Sejak tadi dia sebenarnya pura-pura bersedih untuk menarik simpati pamannya. Namun ketika mengingat kedua orang tuanya, Rindu kembali merasa sedih. Sehingga dia benar-benar menangis untuk meluapkan perasaan rindunya pada Heru dan Rinda.

"Terimakasih, Paman sudah mau merawat Rindu. Sebagai ungkapan terimakasih, Rindu akan selalu menuruti semua permintaan Paman. Rindu akan jadi keponakan yang penurut dan membuat Paman senang." kata Rindu dengan semangat, tanpa sadar mengalungkan kedua lengan kecilnya di leher kokoh Seno.

Seno yang awalnya merasa senang karena Rindu tak lagi bersedih dibuat terkejut dengan apa yang gadis itu lakukan. Apalagi saat Rindu terus bergerak di atas pangkuannya seperti ini. Membuat sesuatu yang berada di bawah sana tiba-tiba saja mengeras dengan sempurna.

"R-Ri.."

"Paman, ini apa yang keras di bawah sini?" tanya Rindu dengan polos, yang membuat Seno seketika kehilangan kata-katanya.

***