Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

destiny under one roof

carita_julias
--
chs / week
--
NOT RATINGS
826
Views
Synopsis
#bl#bxb#brothership#remaja
VIEW MORE

Chapter 1 - CHAPTER 1: Kecanggungan

___________

Hari itu terasa cerah, seperti biasanya. Langit biru cerah menghiasi pekarangan sekolah, dan suara riuh teman-teman sekelas mengisi suasana. Di antara kerumunan siswa, satu sosok tampak sedikit terpisah dari yang lain. Raka, atau lebih akrab dipanggil Aska, berdiri di sudut lapangan, menatap kakak tirinya, Dimas, yang sedang tertawa bersama teman-temannya.

"Eh, Aska! Kenapa cengengesan sendiri?" Nadya, teman sekelasnya, mendekat dengan senyuman. Rambutnya yang panjang tergerai, menambah pesona wajah cerahnya.

Aska cepat-cepat memalingkan wajahnya, berusaha menutupi perasaannya. "Nggak kok, Nad. Cuma lagi mikir." Suaranya pelan, tetapi Nadya tampaknya tidak percaya.

"Pasti lagi mikirin si Dimas, ya? Muka kamu aja udah merah!" Ia tertawa, menyingkirkan rambutnya dari wajah.

Aska menggeram pelan. "Nggak! Dia itu kakakku, Nad. Nggak mungkin aku mikirin dia kayak gitu." Ia mencoba terdengar meyakinkan, meski hatinya berkata lain.

"Ya, ya. Makanya, jangan cuma diam di sini. Ayo gabung sama yang lain." Nadya mengajaknya, tetapi Aska hanya menggelengkan kepala. Dia lebih suka mengamati Dimas dari jauh.

Dimas, dengan senyum menawannya, melambai ke arah Aska. Jantung Aska berdegup kencang. "Ayo, Aska! Ikut sini!"

Aska nyaris menjerit. "Ah, ya ampun!" Ia berusaha mengatur napas, tetapi semua mata terasa tertuju padanya. Dengan langkah pelan, ia berjalan mendekat.

Satu langkah ke depan. Lalu dua. Dan saat ia sampai di dekat Dimas, semua teman-teman Dimas menatapnya dengan berbagai ekspresi, mulai dari penasaran hingga menggoda.

"Nih, kakakmu datang! Siapa yang mau nanya tentang adiknya?" Dimas bersikap santai, tetapi wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia merasa bangga.

Aska merasa pipinya memanas lagi. "Ayo, Dimas! Jangan bercanda gitu." Suaranya nyaris bergetar. Semua orang tertawa, dan Aska berharap bisa menghilang ke dalam tanah.

Dimas menepuk punggungnya. "Tenang saja, Aska. Mereka cuma bercanda."

Namun, suasana kembali tegang saat seorang siswa baru bernama Adrian bergabung dengan mereka. Wajahnya tampak dingin dan misterius, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian Aska.

"Eh, siapa nih?" tanya Dimas, melihat Adrian dengan rasa ingin tahu.

"Adrian, baru pindah ke sini," jawab Adrian dengan nada santai, tetapi tatapannya tajam, seolah sedang mengamati seluruh kelompok.

Nadya langsung tertarik. "Keren, ya. Selamat datang! Jadi, kamu juga suka basket?"

"Lumayan," jawab Adrian singkat.

Aska merasa ada sesuatu yang aneh. Kenapa dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Adrian? Seolah ada magnet yang menarik perhatian semua orang, tetapi ia tidak bisa menjelaskan kenapa.

"Yuk, kita main basket!" seru Dimas, bersemangat. "Aska, kamu juga ikut!"

Aska ragu sejenak. Ia lebih suka menjadi penonton, tetapi tatapan Dimas membuatnya merasa bahwa ia tidak bisa menolak. "Oke deh, tapi aku main di pinggir aja."

Pertandingan pun dimulai, dan suasana semakin ramai. Aska berusaha berkonsentrasi pada permainan, tetapi pikirannya terus melayang. Bagaimana rasanya jika Dimas tahu tentang perasaannya? Atau tentang betapa ia sangat mengagumi sosok kakaknya?

Adrian terus bergerak di lapangan, dengan gerakan yang lincah dan percaya diri. Aska merasa sedikit terintimidasi, tetapi saat Dimas meliriknya, senyumnya memberi kekuatan.

"Hey, Aska! Ayo main!" Dimas memanggilnya. Aska merasa bersemangat dan berlari untuk bergabung, meskipun ia masih merasa canggung.

Seiring berjalannya waktu, Aska mulai merasakan ketegangan di antara Adrian dan Dimas. Mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar permainan. Atau mungkin ini hanya perasaannya yang berlebihan? Dia tidak bisa memastikan, tetapi satu hal yang pasti—dia harus menjaga perasaannya agar tidak terungkap.

Saat permainan berlanjut, suasana semakin intens. Dimas memimpin timnya dengan semangat, sementara Aska hanya berusaha mengikuti alur permainan. Dia tidak dapat mengalihkan pandangannya dari kakaknya, yang terlihat begitu menawan di lapangan. Setiap kali Dimas mencetak poin, suara sorakan dari teman-teman mereka membuat jantung Aska berdebar lebih cepat.

"Cmon, Aska! Ganti tempat!" seru Nadya, menariknya dari lamunan. "Kamu bisa lebih baik dari ini!"

"Y-ya, baiklah!" Aska mencoba tersenyum, meski perasaannya masih campur aduk. Saat ia melangkah ke lapangan, ia melihat Adrian berlari dengan gesit, menembakkan bola ke keranjang. Gerakannya anggun dan penuh percaya diri. Tiba-tiba, Aska merasa tertekan. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya—terus membandingkan dirinya dengan orang lain.

Setelah beberapa putaran, tim mereka akhirnya menang. Dimas berlari ke arah Aska, wajahnya bersinar. "Kamu lihat betapa serunya? Ayo, kita rayakan!"

"Rayakan?" Aska sedikit bingung, tetapi senyum Dimas membuatnya merasa lebih baik.

"Ya, kita harus pergi ke kafe setelah ini. Semuanya ikut!" Dimas berkata, dan teman-temannya langsung setuju.

Aska merasa terjebak antara kebahagiaan dan kecemasan. Bagaimana bisa dia pergi bersama mereka, terutama dengan Adrian di dekatnya? Namun, senyuman Dimas seakan memberi dorongan. "Baiklah, aku ikut."

Saat mereka berjalan menuju kafe, Nadya terus berbincang dan bercanda dengan Adrian, yang tampak semakin dekat dengan Dimas. Aska merasa seolah ada dinding pemisah yang tiba-tiba muncul antara mereka. Kenapa semua ini terasa begitu rumit?

Di kafe, suasana terasa lebih santai. Mereka duduk di meja panjang, dengan minuman dan makanan ringan terhidang. Dimas duduk di samping Aska, dan dia merasa sedikit lebih tenang. Namun, saat Adrian duduk di seberang, pandangan mereka bertemu, dan Aska merasa ada sesuatu yang menyengat di antara mereka.

"Jadi, Adrian," Dimas mulai, "kamu suka olahraga apa lagi selain basket?"

Aska menyandarkan punggungnya pada kursi, berusaha mendengarkan sambil menyembunyikan ketidaknyamanannya.

"Sepak bola, sih. Tapi basket tetap jadi favoritku," jawab Adrian sambil menyeka peluh di dahinya. "Aku juga suka melukis."

"Oh ya? Keren! Aku pengen lihat hasil lukisanmu!" Nadya antusias.

Adrian tersenyum tipis. "Nanti aku tunjukkan. Tapi, ini masih tahap awal."

Aska merasakan kecemburuan yang tidak bisa dijelaskan. Mengapa ia merasa harus bersaing dengan Adrian? Bukankah yang terpenting adalah hubungan yang baik antara mereka?

Saat mereka berbincang-bincang, Dimas bercanda dan menyenggol bahu Aska. "Kamu harus lebih banyak bicara, Aska! Nanti aku kabarin orang tua tentang perkembanganmu!"

Aska nyaris tersedak. "Eh, enggak perlu, kak!" Ia berusaha terdengar santai, meski rasa malu menghanguskan wajahnya.

Setelah beberapa lama, Nadya mulai menyudutkan Aska dengan pertanyaan yang konyol. "Aska, kamu suka siapa sih? Ada yang kamu suka di sekolah ini?"

Aska merasa seolah seluruh dunia berputar di sekelilingnya. "Aku… um, nggak ada." Ia berusaha terdengar yakin, tetapi suara itu nyaris hilang.

"Jangan bohong, pasti ada!" Nadya menggoda, dan semua orang ikut tertawa.

Saat itu, Adrian menatapnya dengan serius. "Atau mungkin kamu suka seseorang yang lebih dekat dari yang kamu pikirkan?"

Aska tertegun. Apakah dia tahu? Tatapan Adrian terasa menembus ke dalam jiwanya, dan Aska merasakan jantungnya berdegup kencang. Tidak mungkin. Dia harus menyembunyikan perasaannya.

Dimas melihat Aska dengan penuh perhatian. "Jangan dengarkan dia, Aska. Dia cuma berusaha menggoda."

Tapi Adrian hanya tersenyum, seperti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui Aska. "Atau mungkin aku hanya penasaran dengan apa yang orang lain sembunyikan."

Setelah beberapa saat canggung, Dimas mengubah topik pembicaraan. "Bagaimana kalau kita main game setelah ini? Seru banget!"

Aska mengangguk, merasa lega. "Oke, tapi jangan ada yang curang ya!"

Malam itu, mereka semua menghabiskan waktu bersama, tawa dan canda menghiasi suasana. Namun, di sudut hati Aska, perasaan tidak nyaman itu masih ada. Apakah perasaannya terhadap Dimas akan selalu terpendam? Dan apa yang sebenarnya ada di pikiran Adrian?

Ketika malam beranjak larut, Aska berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan jawaban. Dia tidak bisa terus hidup dalam kebingungan.