Sebuah ruangan selebar 2 x 2 M dengan tembok yang lusu dan kotor. Didalamnya ada satu meja kayu yang sudah keropos berdiri di ujung ruangan. Terlihat di ujung ruangan ada segerombolan semut hitam yang berjalan bersama dengan kawanannya.
Di tembok ada sekitar tiga kecoa yang sedang berdiam diri saling tatap entah apa yang mereka lakukan. Sebuah tikus besar lewat di pinggir ruangan dengan sangat cepat.
Ran yang sedang duduk meringkuk meletakkan kepalanya di antara kedua lututnya mendongak memperhatikan sekitar ia melihat puluhan atau bahkan ratusan semut yang sedang berjalan keluar ruangan lewat lubang kecil bersama dengan kawanan-kawanannya. Ia mendongak mengalihkan pandangannya sekarang pandangannya berada pada dinding yang dihinggapi tiga kecoa yang sekarang terbang keluar lewat jendela tanpa kaca yang ada di dinding kanan ruangan.
Ia berdiri dari posisinya yang berada di dinding yang berhadapan dengan pintu kemudian melangkah mendekati jendela tempat ketiga kecoa tadi keluar. Saat Ran melihat keluar, matanya terbelalak berbinar-binar seperti orang yang baru pertama kali melihat langit. Saat ini ia sedang menyaksikan langit malam yang indah dengan cahaya taburan bintang dan bulan purnama yang begitu indah, meskipun tempat ia melihat langit saat ini sangat sempit, tetapi rasanya ia seperti bisa melihat langit dengan sangat jelas.
Dari luar ruangan, samar terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat semakin lama suara itu semakin jelas itu berarti seseorang sedang mendatanginya. Suara langkah kaki kini berhenti. Terdengar suara gemerincing tapi itu sepertinya bukan suara lonceng, tak lama terdengar suara gembok dibuka kemudian BRAK!
"Oi Ran dimana kau jangan coba-coba kabur buatkan aku makan malam sekarang!" Orang yang barusan membuka pintu dan meneriaki Ran adalah Ayahnya, lebih tepatnya adalah Ayah tirinya.
Ayah kandung Ran meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, dua tahun kemudian Ibunya memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki yang "terlihat" mapan dan bertanggung jawab. Di awal pernikahan memang tidak terjadi apa-apa pria itu nampak baik kepada Ibunya dan dirinya tapi enam bulan kemudian Ayah tiri Ran mulai memunculkan sifat aslinya ternyata dia hanyalah seorang pria yang suka bermain wanita dan memandang rendah wanita tak jarang Ran melihat Ibunya disiksa oleh Ayah tirinya tapi dia memilih diam karena takut. Saat genap tujuh bulan pernikahan Ibunya dan Ayah tirinya, Ran melihat mayat ibunya yang tergeletak didapur dengan satu pisau dapur yang tertancap di dada sebelah kiri.
Saat melihat itu Ran sangat terkejut bahkan ia mencoba membangunkan ibunya ia pikir bahwa ibunya hanya pingsan namun tentu saja dia sudah meninggal. Dilihat dari situasi sepertinya Ibu Ran bunuh diri karena saat itu Ayah tiri Ran sedang keluar dari pagi sampai malam dan Ran menemukan tubuh Ibunya tergeletak di lantai dapur saat sore hari.
"Hei Bocah jangan hanya bengong memangnya apa yang kau lihat dasar sampah" Ayah tiri Ran mendekatinya kemudian menjabak rambutnya dengan sangat keras membuat Ran merintih kesakitan, "Buatkan aku makanan pergi ke dapur sekarang bocah" Ayah tirinya menghantan kepala Ran ke dinding, memang tidak terlalu keras tapi pasti itu terasa sangat sakit.
Anak laki-laki itu tidak punya pilihan lain selain menuruti Ayah tirinya. Ia berjalan keluar dengan sempoyongan sambil memegangi kepalanya. Ran keluar dari ruangan 2 x 2 M itu yang berada di belakang rumah. Ia masuk ke rumah dengan susah payah sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.
Saat ia berdiri didepan kompor Ayah tirinya memperhatikannya memasak dari meja makan yang tak jauh dari dapur. Ran mencoba mengambil sebutir telur yang ada di lemari, tangannya bergetar sehingga membuat telur yang digenggamnya terjatuh dan pecah berceceran di lantai.
"Hei bangsat harga telur sekarang itu mahal jangan kau jatuhkan seenaknya memangnya kau mampu menggantinya kau saja tidak punya uang" Ayah tiri Ran berteriak dari meja makan kemudian terdengar suara meja yang dipukul kencang dari arah meja makan.
"Maaf" Ucap Ran dengan lirih, kedua tangannya kini sibuk memegang dua butir telur baru yang dia ambil dari tempat yang sama. Ia memecakan kedua butir telur tersebut kemudian memasukannya ke wajan yang sudah diisi dengan sedikit minyak. Sembari menunggu telur matang Ran mengambil satu buah piring dan satu sendok dari dalam lemari, Ran kembali ke wajan dengan membawa piring dan sendok di tangan kanannya. Dia mengambil spatula yang tergantung tak jauh dari tungku kemudian memindahkan telur dari wajan ke piring.
Ran berjalan ke meja makan dengan telur ceplok yang baru matang di tangan kanannya. Ayah tiri Ran yang tak sabaran langsung mengambil piring yang berisi dua telur ceplok dari tangan Ran dengan kasar. "Ambilkan aku alkohol dari lemari" Ayah tiri Ran menunjuk kearah lemari yang ada disebelah kiri Ran. "CEPAT!" Ayah tiri Ran berseru keras sambil menggebrak meja dengan kencang membuat meja dan apapun yang ada diatasnya bergeser sedikit.
Ran tersentak kemudian segera berjalan mengambil gelas kaca dan sebotol alkohol dari dalam lemari yang sebelumnya ditunjuk oleh Ayah tirinya.
"Tuangkan" Ucap Ayah tiri Ran, kali ini nada bicaranya terdengar lebih rendah.
"Baik" Ran membuka botol alkohol kemudian menuangkannya ke gelas kaca yang diambilnya dari lemari tempat menyimpan alat makan.
Sebagai imbalan Ayah tirinya hanya membaginya seperempat dari satu telur yang terhidang di piringnya. Ran menatap seperempat telur ceplok yang ada ditangannya kemudian memasukkannya kedalam mulut.
Ayah tirinya meneguk gelas yang diisi dengan alkohol. Wajah Ayah tiri Ran berubah menjadi agak kemerahan, mungkin karena efek dari alkohol tersebut.
Beberapa menit kemudian telur di piring telah tandas. Ayah tiri Ran sedang meneguk alkohol kali ini langsung dari botolnya. Setelah selesai meneguk sebotol alkohol ia melemparkan sendok besi kearah Ran yang berdiri disampingnya. "Cuci ini semua" setelah berbicara Ayah tiri Ran berjalan melangkah menuju lemari yang berisi botol-botol alkohol. Ia mengambil satu botol lagi kemudian berjalan kemeja dan lanjut minum.
Ran mengambil sendok besi dan piring yang sudah kotor, ia membawanya ke kamar mandi yang berada di pojok dapur. Disaat Ran sibuk mencuci piring Ayah tirinya sibuk meneguk botol alkohol, ia berhenti meletakkan botol dimeja kemudian berdiri.
Ayah tiri Ran melangkah ke kamar mandi, tepat saat ia berada di depan kamar mandi Ran keluar dengan membawa piring dan sendok yang sudah dicuci. Ayah tiri Ran menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Apa itu?" Tanya Ayah tiri Ran.
"Eh" Ia tersentak kemudian gelagapan melihat tangan Ayah tirinya mulai mendekat. Ternyata ia mengambil sendok yang sudah dicuci.
"Apa ini heh?" Ayah tiri Ran menunjuk sendok yang terlihat masih ada sisa sedikit makanan mungkin terlewat saat Ran sedang mencucinya tadi.
"Eum... Itu" Ran terdiam tak mampu menjelaskan badannya bergetar, ekspresi wajahnya tampak panik.
BUK! Satu tamparan melayang mendarat tepat di pipi Ran, membuat Ran bergeser sedikit.
"Ah" Ran merintih kesakitan sambil memegangi pipinya yang baru saja ditampar.
"Kau sudah kuberi makan, lakukan perkejaanmu dengan benar bangsat" Nada bicara Ayah tiri Ran meninggi.
"Maaf" Ran mengucapkannya dengan bibir yang bergetar.
Tapi sayangnya Ayah tirinya tidak mendengarkan, dia malah melayangkan tinju dan mendarat tepat di wajah Ran. Tubuh Ran yang lemah dan ringkih perlahan terjatuh kelantai.
"Dasar lemah kau itu sama lemahnya dengan ibumu padahal kau itu laki-laki. Payah." Ayah tiri Ran meludahi wajah Ran yang penuh luka memar. Ia kemudian menginjak perut Ran kemudian menekannya.
"AHH SAKIT" Ran berteriak kencang, bahkan suaranya terdengar sampai keluar rumah.
Ayah tiri Ran berhenti menginjak perut anaknya, kali ini ia mendekati Ran yang terbaring di lantai kamar mandi mencekik leher putra tirinya dengan tangan kirinya yang kurus.
Ran sebenarnya ingin berteriak hanya saja suaranya tidak keluar karena tercekik oleh tangan Ayah tirinya. Ia mencoba melepaskan diri dari cekikan Ayah tirinya sekuat tenaga namun sia-sia tubuhnya yang lemah tak bisa berbuat apa-apa. Ran ingin mencakar tangan Ayah tirinya agar melepaskan tengan yang mencekik lehernya namun sayang Ran sudah tidak memiliki kuku, beberapa Minggu lalu kesepuluh kuku tangan Ran dicabut dengan keras oleh ayah tirinya sampai membuat tangan Ran dipenuhi lumuran darah.
Ran terus mencoba melepas tangan yang mencekik dirinya, ia tahu itu sia-sia tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain ini sekarang. Pandangan Ran mulai kabur kepalanya seperti berputar-putar. Napas Ran terengah-engah ia tidak bisa bernapas dengan normal karena saluran pernapasan di lehernya tertekan sehingga menghalangi aliran udara masuk ke paru-paru. Ran mulai kehilangan kesadaran mungkin karena aliran udaranya ditekan sehingga membuatnya menjadi kekurangan oksigen.
"Kenapa? Kau tidak bisa berteriak?" Ayah tiri Ran mengencangkan cekikannya untuk sesaat kemudian melepaskannya.
Tepat saat cekikan itu dilepas penglihatan Ran kembali normal cekikan yang sebelumnya menekan aliran udara masuk ke paru-paru kini telah hilang, kesadaran Ran mulai kembali. Ia terbaruk sambil memegangi lehernya yang membiru dengan tangan kanannya. Piring yang sebelumnya ia bawa tergeletak di lantai kamar mandi tak jauh dari piring tersebut juga ada sendok yang sebelumnya dilempar kearah Ran oleh Ayah tirinya.
Ayah tiri Ran berjalan melangkah menjauhi Ran dengan langkah lebar. Ran mengambil piring dan sendok yang sebelumnya dilempar kearahnya oleh ayah tirinya kemudian mencucinya lagi. Setelah selesai ia mengembalikannya ke rak dengan hati-hati.
Ran mengalihkan pandangannya keseluruhan ruangan. Rumah itu tidak terlalu besar namun cukup untuk satu keluarga tinggal didalamnya.
Dinding rumah itu dihiasi oleh berbagai lukisan dengan ukuran yang beragam, ada lukisan dengan aliran kubisme yang dilukis diatas kanvas dengan berukuran 30×30 sentimeter, ada juga lukisan pemandangan alam dengan aliran impresionisme yang dilukis landscape diatas kanvas berukuran 40×60 dan masih ada beberapa lukisan-lukisan lainnya.
Tak lama terlihat seseorang membuka pintu dari suatu ruangan. Ran sangat mengenali wajah orang itu, wajah seseorang yang sebelumnya mencekiknya sampai Ran hampir kehilangan nyawanya.
Tubuh Ran kembali bergetar, keringat dingin mengucur deras dari dalam tubuhnya membasahi bajunya yang lusu. Ia mengingat kembali sensasi saat sebelumnya ia dicekik sampai hampir mati.
Ayah tiri Ran keluar ruangan menutup kembali pintu kemudian melangkah mendekati Ran. Ran semakin panik itu terlihat jelas dari wajahnya, ia sedang berpikir siksaan apa lagi yang akan diberikan oleh Ayah tirinya.
"Kembali ke kamarmu sana ayo cepat kalau tidak akan kusiksa kau brengsek" Tapi segala hal yang dipikirkan Ran itu salah ternyata Ayah tirinya hanya menyuruhnya untuk kembali ke "kamar"nya. Ya meskipun memberi ancaman untuk menyiksa Ran, tapi selama ia mau menuruti permintaannya dengan benar Ayah tirinya tidak akan menyiksa.
Ran berlari-lari kecil menuju ruangan 2×2 M yang terletak dibelakang rumah disusul dengan Ayah tirinya yang mengambil kunci dari saku celananya sambil berjalan dengan langkah lebar dibelakang Ran.
Ran tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan Ayah tirinya karena jika dia melawan dia tidak bisa melakukan apapun selain disiksa. Fisik Ran sangat lemah ia juga tidak memiliki senjata untuk melawan, dia seperti samsak bisa dipukul kapan saja.
Ran masuk ke ruangan 2×2 M yang lusu dan kotor. Ayah Ran menutup pintu dengan keras. Tak lama terdengar suara gembok yang dikunci, Ceklek!
Ran berpikir ia tidak bisa seperti ini terus, dia harus keluar dari kekangan Ayah tirinya, tapi bagaimana caranya? Itu adalah pertanyaan yang saat ini terulang-ulang dikepalanya. Ran duduk, menaikkan kedua lututnya kemudian ia meringkuk memasukkan kepalanya kedalam celah diantara kedua lututnya.
Ran sepertinya mendapat ide ia mengangkat kepalanya kemudian berdiri kearah lubang yang ada di dinding, dinding tersebut berada disebelah kiri dari pintu masuk ke ruangan. Ran mendongak menatap indahnya langit malam.
Saat ini ia sedang menyaksikan langit malam yang indah dengan taburan cahaya bintang dan bulan purnama yang begitu indah, meskipun tempat ia melihat langit saat ini sangat sempit, tetapi rasanya ia seperti bisa melihat langit dengan sangat jelas.
Ran mengucapkan sebuah kalimat dalam pikirannya haruskah aku melakukan itu? Tanyanya kepada dirinya sendiri. Hanya itu cara yang bisa kulakukan untuk bebas dari kekangan ini. Meskipun sulit aku akan mencobanya dan tidak boleh gagal jika aku gagal yang ada aku yang mati, kesempatanku hanya satu, jika dia melawan habis aku. Aku harus melakukannya dengan tenang dan senyap. Ran mengangguk dengan yakin.
Wajah Ayah tirinya terbayang dibenaknya. Wajah yang sangat dibencinya wajah orang yang mencabut habis kukunya, wajah yang membuat ibunya mengalami penderitaan, wajah yang membuat ibunya bunuh diri. Dan wajah yang membuatnya mengalami pernderitaan.
Wajah Ran bersinar terang diterpa cahaya bulan purnama. Kubunuh kau Ran mengatakan kalimat tersebut di dalam pikirannya sambil mengepalkan tangannya dengan keras.
Bersambung...