Prolog
Awal Dari Keseimbangan
Dalam kelamnya malam abadi, sebelum dunia mengenal kata "seimbang," para kutukan merajalela dengan kekuatan tak terbendung. Di setiap sudut bumi, roh-roh jahat ini mencengkram wilayah-wilayah mereka dengan cakar kegelapan, mengubah hutan lebat menjadi lautan bayangan, kota-kota menjadi reruntuhan sunyi, dan ladang-ladang menjadi medan kutukan. Manusia menjadi mangsa yang tak berdaya, hidup dalam ketakutan dan doa tanpa jawaban, memandang cakrawala dengan ngeri setiap kali matahari mulai terbenam.
Namun, legenda berubah ketika seorang manusia muncul dari kegelapan. Ia adalah Mordain Velka, pria bertubuh tinggi dengan tatapan tajam seperti baja yang baru ditempa. Ia tidak seperti yang lain, sebab di tangannya, ia membawa kekuatan misterius yang tak pernah terlihat sebelumnya—kekuatan yang mampu melukai dan bahkan menghancurkan kutukan. Inilah asal mula dari teknik yang kelak dikenal sebagai Curse Shambles.
Mordain memburu kutukan dengan kegigihan tanpa henti, menembus sarang-sarang roh jahat yang tak seorang pun berani dekati. Berbekal Curse Shambles, ia menghancurkan kutukan demi kutukan, menyegel energi jahat mereka dalam mantra kuno yang kini tersebar dalam mitos. Suaranya dikenal di seluruh penjuru, digambarkan seperti gemuruh badai, menantang setiap kutukan untuk menghadapi kemarahannya. Tak ada yang tahu pasti dari mana ia mendapatkan kekuatan ini atau mengapa ia memilih untuk melawan, namun dalam keberaniannya, manusia menemukan secercah harapan baru.
Di bawah pukulan Mordain, dunia perlahan berubah. Tempat-tempat yang dulunya penuh teror kini merasakan kembali hangatnya cahaya. Desa-desa mulai bangkit, dan manusia belajar untuk menghadapi ketakutan dengan keberanian. Meski begitu, Mordain tahu bahwa kemenangan total adalah ilusi—bahwa keseimbangan antara kutukan dan manusia adalah satu-satunya jalan untuk menghindari kehancuran dua belah pihak.
Setelah bertahun-tahun pertumpahan darah, Mordain berhenti dari pembantaiannya yang tiada akhir. Ia memilih untuk mengajarkan teknik Curse Shambles kepada mereka yang layak, dan membentuk generasi baru pelindung dunia. Dengan kekuatannya yang tak tertandingi dan pemahamannya akan kutukan, ia mengukuhkan tempatnya dalam legenda sebagai Curse Shambler pertama—pelindung dan penjaga keseimbangan.
Di dunia ini, wilayah-wilayah tersebar layaknya kerajaan kutukan yang berbeda. Setiap tempat dipenuhi dengan entitas dan atmosfernya masing-masing, memberikan manusia dan Curse Shambler tantangan unik. Pegunungan berkabut yang dijaga oleh kutukan yang menciptakan ilusi, rawa-rawa beracun yang menjadi rumah bagi makhluk berbentuk ular bayangan, dan reruntuhan kuno tempat roh-roh kuno bersemayam menjadi bagian dari teka-teki yang hanya sedikit berani untuk mendekati.
Manusia mulai belajar untuk hidup di bawah naungan kutukan, tetapi dengan kehati-hatian. Desa-desa membangun kuil dan totem pelindung, menempatkan pesona dan mantra untuk menjaga batas-batas mereka dari roh jahat. Di ibu kota, seorang pemimpin baru yang bijak bangkit dan menyusun dewan yang terdiri dari Curse Shambler terbaik untuk menjaga keseimbangan dan menyebarkan ajaran Mordain.
Seiring waktu, legenda Mordain Velka menjadi simbol, dan teknik Curse Shambles berubah menjadi warisan. Namun, dunia ini bukanlah tempat di mana semua berjalan mulus. Setiap generasi Curse Shambler menghadapi ancaman baru, kutukan yang kian cerdas dan licik. Di atas dunia yang bertumpu pada keseimbangan rapuh, manusia dan kutukan terus saling intai—sebuah pertarungan abadi yang diwariskan hingga kini.
Di Ambang Realitas
2 Januari, 2015
Bagi kebanyakan orang, segala sesuatu yang berbau mistis dan penuh kutukan adalah bualan, mitos yang hidup hanya di dalam buku cerita dan layar televisi. Kutukan dianggap tidak lebih dari lelucon, seperti legenda urban yang diceritakan untuk menakuti anak-anak yang sulit tidur. Velka Akimo, seorang pelajar yang malas menghadiri kelas dan lebih suka bermain game, juga menganggap semua itu omong kosong. Di kepalanya, yang nyata hanyalah dunia virtual dan dunianya sendiri.
Hari itu, Akimo memutuskan untuk bolos sekolah demi menyelesaikan quest penting di gamenya—sebuah tantangan yang sudah ditunggu sejak lama, dan tenggat waktunya kian dekat. Jalan menuju rumah terasa sepi, dan langit mendung membuat suasana agak mencekam. Namun, fokus Akimo hanyalah mencapai kamarnya secepat mungkin.
Tiba-tiba, suara petikan gitar listrik yang keras menggema dari kejauhan. Suara itu tidak cocok dengan lingkungan sekitar, seakan datang dari dimensi lain. "Apa ada orang gila yang main gitar di tengah hari begini?" pikir Akimo sambil mengernyitkan dahi.
Sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, pandangannya berubah gelap. Saat ia membuka mata, Akimo sudah berada di tempat yang asing—sebuah lorong panjang dengan pintu-pintu tak terbatas, mengapung di tengah kehampaan. Tiap pintu berkilau dengan cahaya aneh, beberapa di antaranya mengeluarkan suara mendesing yang membuat bulu kuduknya merinding.
Di hadapannya, seorang pria dengan jaket tebal dan gaya rock and roll berdiri dengan santai. Sosok itu tampak unik, tidak seperti siapa pun yang pernah Akimo lihat. Rambutnya kusut, tapi terawat, dan ia memegang gitar listrik yang kini bersandar di pundaknya. Zeiri Kinji—begitulah nama yang terpampang di badge kulit di jaketnya—memandang ke arah Akimo dengan tatapan tajam, lalu menyeringai kecil.
Saat itulah, dari salah satu pintu, makhluk mengerikan muncul. Tubuhnya terdiri dari bayangan yang terus bergerak, mata merahnya bersinar jahat, dan setiap langkahnya membuat lantai di bawahnya retak. Zeiri hanya mengangkat tangannya dengan santai, memasukkan satu tangan ke saku, lalu dengan gerakan yang terlihat asal, ia mulai bertarung melawan makhluk tersebut.
Serangan demi serangan Zeiri begitu cepat dan brutal. Ia bergerak seolah-olah sedang menari, menghindari cengkeraman makhluk itu, sementara pukulan dan tendangannya menembus bayangan yang melingkupi monster itu. Suara gitar elektrik yang mengiringi pertarungan tersebut memberikan aura yang semakin epik, seolah mengiringi setiap gerakan Zeiri.
Akimo terheran-heran, terpaku menyaksikan pertarungan yang bahkan tidak bisa ia pahami. "Apa… apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya, merasa bagai penonton dalam dunia yang tidak nyata.
Setelah beberapa saat, Zeiri akhirnya menuntaskan pertarungan dengan satu gerakan cepat yang menembus tubuh makhluk tersebut, dan sang monster pun lenyap menjadi debu. Zeiri menghela napas santai, dan tanpa berkata apa pun, berjalan menghampiri Akimo.
"Kau bisa melihatnya, ya?" tanya Zeiri, suaranya dalam namun tenang. "Kutukan…"
Akimo tercengang. "Kutukan? Maksudmu... monster itu?"
Zeiri tertawa kecil. "Sudah kuduga. Tak heran kalau kamu tercengang seperti ini. Kutukan biasanya hanya bisa dilihat oleh yang terpilih, atau mereka yang sudah terpapar cukup lama. Kebanyakan orang tidak bisa melihatnya… karena mereka telah beradaptasi dengan realitas yang lain."
Akimo menelan ludah. Seluruh logikanya berusaha memahami ucapan Zeiri, tapi semua itu terlalu sulit diterima. Ia mencoba mengingat kembali segala hal yang pernah ia ketahui tentang kutukan dan makhluk mistis, namun semuanya terasa tidak masuk akal. Kutukan hanyalah mitos, bukan?
Namun, sebelum Akimo bisa menanggapi, Zeiri mengeluarkan secarik kertas dari kantong jaketnya dan menyerahkannya kepada Akimo. "Ini. Datanglah ke SMA Negeri 21 kalau kau mengalami hal aneh saat pulang nanti. Kami… mungkin akan menerimamu sebagai murid baru."
Zeiri tersenyum tipis, lalu tanpa menunggu reaksi dari Akimo, ia berjalan menuju salah satu pintu, dan menghilang begitu saja ke dalam kegelapan.
Akimo berdiri diam, masih memegang kertas itu. Di sana tertulis, "SMA Negeri 21 – Kelas khusus." Akimo merasa ada yang salah, namun sekaligus ada perasaan aneh yang membuatnya tertarik. Ia tak tahu apa yang baru saja ia lihat, namun pertemuannya dengan Zeiri dan makhluk itu mengubah segalanya.
Pikirannya masih bergolak saat ia melangkah pulang, bertanya-tanya apakah kehidupannya yang biasa dan dunianya yang dianggap aman sebenarnya tidak pernah seaman itu.
Akimo tiba di depan rumahnya. Semua terasa sunyi—terlalu sunyi. Biasanya, suara tawa adiknya, obrolan santai ayahnya, dan sapaan hangat ibunya sudah menyambutnya begitu ia membuka pintu. Tapi kali ini, hanya kesunyian yang menyambut. Jantung Akimo berdetak cepat, dan perasaan tidak enak merayap di benaknya.
Pelan-pelan, ia melangkah masuk. Bau anyir yang tidak wajar memenuhi udara, menyengat sampai ke tenggorokannya. Matanya terbelalak ketika ia melihat ruangan itu—lantai dan dinding yang dicoreng darah. Kakinya bergetar saat menyusuri ruang keluarga, menemukan tubuh ayahnya tergeletak tak bernyawa, adiknya yang masih kecil tertutupi noda merah, dan ibunya... semua orang yang ia sayangi, kini hanyalah sosok-sosok beku tanpa kehidupan.
Tubuh Akimo terasa lumpuh. Lidahnya kelu, tak sanggup berkata apa-apa. Pikiran tentang game, tentang Zeiri, semuanya lenyap, berganti dengan rasa syok dan ketakutan yang mencekam. Matanya menatap kosong, mencoba menangkap realitas yang pahit ini. Namun, dari sudut mata, ia menangkap bayangan bergerak di pojok ruangan.
Sosok itu tersenyum dingin, memperlihatkan wajahnya yang menyeramkan—kulit pucat, gigi tajam, dan mata merah menyala yang penuh kebencian. Ia adalah Akako Lakako, kutukan dengan wujud menyerupai yokai, dengan aura kelam yang memenuhi ruangan. Rambutnya hitam panjang, melayang seakan ia adalah bagian dari bayangan di sekitarnya. Setiap langkahnya seolah menghirup semua cahaya, menenggelamkan segalanya dalam kegelapan.
Ketika mata mereka bertemu, Akako menyeringai dengan kejam. "Oh, kau pulang, rupanya," desisnya dengan nada suara berdesir, menggema penuh ejekan. "Sayang sekali aku harus pergi… untuk sekarang."
Sebelum Akimo sempat melakukan apa pun, Akako memudar, melarikan diri ke dalam kegelapan yang entah dari mana asalnya. Kutukan itu lenyap, meninggalkan Akimo sendirian di tengah kekacauan yang tak pernah ia bayangkan.
Sesaat setelahnya, tubuh Akimo terguncang hebat. Ia berusaha menarik napas, namun udara terasa terlalu pekat untuk dihirup. Matanya kabur, hatinya hancur, dan di dalam kekosongan itu hanya ada satu suara yang bergaung di pikirannya.
"SMA 21..."
---
Dalam keadaan yang hampir tidak sadar, Akimo berlari ke sekolah yang disebutkan Zeiri, kertas kecil itu masih tergenggam erat di tangannya. Dengan napas yang terengah-engah dan tubuh yang gemetar, ia tiba di depan gerbang SMA Negeri 21. Sekolah itu tampak biasa saja, seperti bangunan SMA lainnya, tetapi Akimo merasakan aura yang berbeda dari tempat ini. Entah kenapa, ia merasa seperti melangkah ke dunia lain begitu kakinya memasuki pekarangan sekolah.
Ia bergegas menuju pintu masuk, lalu tiba-tiba melihat seorang gadis berdiri di dekat tangga utama. Rambut hitamnya terikat rapi, sorot matanya tajam dan penuh percaya diri. Pakaian seragam sekolah yang ia kenakan terasa berbeda—ada lambang misterius yang terjahit di lengan bajunya. Gadis itu memandang Akimo dari atas ke bawah, lalu menyipitkan mata.
"Kau... baru saja bertemu kutukan, kan?" tanyanya dengan nada tegas, tanpa sedikit pun nada ramah dalam suaranya.
Akimo tidak tahu harus menjawab apa. Tenggorokannya tercekat, hanya bisa mengangguk pelan. Wajah gadis itu tidak menunjukkan ekspresi kaget atau terkejut. Sebaliknya, ia hanya menghela napas, seolah-olah ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari baginya.
"Kau harus ikut denganku," kata gadis itu dengan nada yang tidak bisa ditolak. Ia berbalik, memberi isyarat agar Akimo mengikutinya. "Nama aku Rei. Aku yang mengawasi murid-murid yang... mengalami kejadian seperti ini."
Akimo tidak punya pilihan lain selain mengikuti Rei. Mereka memasuki ruangan kecil yang terlihat seperti ruang kepala sekolah. Di sana, seorang pria tua duduk di balik meja, memandang Akimo dengan tatapan penuh perhatian. Dia tersenyum samar dan mengangguk ke arah Rei.
"Jadi, kau adalah anak baru yang direkomendasikan Zeiri?" tanyanya, suaranya dalam dan menenangkan. "Namaku adalah Rektor Yume, kepala sekolah ini. Jika kau di sini, berarti kau telah melihat apa yang kebanyakan manusia tidak bisa lihat… dunia kutukan."
Akimo menunduk, mencoba memproses semua yang terjadi. Gambar-gambar keluarganya yang tergeletak tak bernyawa masih menari-nari di benaknya. Ia merasakan amarah, ketakutan, dan kebingungan, semuanya berputar menjadi satu.
Rektor Yume memandangnya dengan penuh pengertian. "Aku mengerti bahwa ini mungkin sulit bagimu. Tapi ini bukan kebetulan. Kutukan-kutukan seperti Akako Lakako itu memang selalu mengincar mereka yang memiliki potensi melihat mereka."
"Potensi...?" Akimo akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata itu dari bibirnya, meski suaranya bergetar.
Rei menatapnya tajam. "Ya, bukan semua orang bisa melihat kutukan. Itu sebabnya mereka dianggap mitos. Tetapi, ada yang disebut sebagai Curse Shambler—pembasmi kutukan. Dan Zeiri Kinji, orang yang kau temui, adalah salah satu yang terbaik."
Rektor Yume menyela, "Jika kau ingin tahu lebih banyak, kami bisa memberimu pilihan. Bergabung dengan kami sebagai Curse Shambler—menggunakan kekuatan untuk melawan kutukan, atau..."
Rei melirik ke arah jendela, nada bicaranya mendadak rendah, "Atau tetap dalam kebingungan dan rasa takut, mungkin selamanya diincar oleh kutukan yang sama."
Akimo menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Ia mengingat keluarga yang telah diambil oleh makhluk jahat itu—perasaan tak berdaya yang menyiksa hatinya. Kini, ia hanya memiliki satu keinginan.
"Aku... aku ingin membalas dendam. Aku ingin menghancurkan kutukan itu." Akimo berbicara dengan suara penuh tekad, meski matanya masih memancarkan luka.
Rektor Yume tersenyum lembut. "Bagus, Akimo. Kau punya semangat yang tepat. Mulai sekarang, SMA Negeri 21 akan menjadi rumah dan tempat belajarmu. Kau akan mempelajari seni Curse Shambles dan segala rahasia dunia kutukan. Selamat datang di keluarga kami."
Rei menepuk bahu Akimo dengan perlahan, seolah menyambutnya dengan kehangatan yang sederhana namun tulus. "Kita akan latih kau, dari awal. Semoga kau siap untuk melihat dunia yang lebih kelam daripada yang pernah kau bayangkan."
Akimo menatap lurus ke depan, tak lagi ada ragu. Meski hatinya masih terluka, ia tahu bahwa ini adalah jalannya sekarang—jalan yang akan membawanya pada balas dendam, dan mungkin, suatu hari, pada kedamaian.