Langit malam kota Kyoto bertabur putihnya salju, tahun ini menjadi lebih dingin dari tahun-tahun yang sudah terlewati.
"Samui…"
Lelaki itu bergumam, giginya menggertak dia sangat kedinginan. Tahun ini menjadi begitu kelabu, pada dasarnya dia tidak menyukai musim dingin, ditambah ini adalah momen terberat baginya. Segala macam benturan permasalahan membuatnya merasa lelah. Jika bukan karena keluarga mungkin dia sudah gila dibuatnya.
"Sial.."
Udara yang semakin dingin membuatnya begitu kesal. Dia berjalan gontai menuju tempat tinggalnya sambil sesekali menghembuskan nafas yang bercampur asap tembakau.
"Dari mana saja kamu ?"
Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berlalu. Seperti hembusan angin musim dingin yang perlahan berlalu. Meski begitu si penanya tidak kesal, dia sangat tahu penyebabnya.
Malam ini telah selesai baginya, dia hanya ingin melupakan semua sesak di dada, semua rasa lelah yang berkecamuk di seluruh rongga tubuhnya. Dia memejamkan mata, menunggu pagi datang, membiaskan semua kenangan buruk yang sudah terjadi.
Sulit baginya memejamkan mata, dia bahkan mengingat kembali saat ponselnya berbunyi seminggu yang lalu, panggilan suara dari sang Mama.
"Sudah saatnya kamu pulang Ken !"
"Hmm, tidakkah Mama bersedia memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya disini. Lagipula aku sudah lebih bahagia disini."
"Ken, lebih baik bersama Mama dan Papa sekarang."
"Baiklah"
Kenichi Al Faruq
~ Pagi Hari ~
Pagi itu, meski pikirannya masih bercampur aduk, Kenichi memutuskan untuk membantu Yoshiki dan Ayame menyiapkan bahan-bahan untuk kedai ramen. Ini sudah menjadi rutinitasnya, namun kali ini terasa berbeda, seolah-olah setiap gerakan tangannya lebih berat karena beban pikiran yang tak kunjung hilang.
Ken mulai dengan merapikan meja kerja di dapur, lalu mengambil beberapa sayuran segar dari lemari es. Saat dia memotong wortel dan daun bawang, Yoshiki berdiri di sebelahnya, mengiris daging dengan ketelitian yang luar biasa. Suara pisau yang beradu dengan talenan adalah satu-satunya yang terdengar selama beberapa saat.
"Jadi, kapan rencananya kamu akan membicarakan ini lebih lanjut dengan orang tuamu ?" tanya Yoshiki, akhirnya memecah keheningan. Tatapan Yoshiki tetap terfokus pada irisan daging di depannya.
Ken berhenti sejenak, menatap sayuran yang sudah hampir selesai dipotongnya. "Aku belum tahu, Paman. Aku belum siap."
Yoshiki mengangguk pelan, tidak memaksakan jawabannya. "Aku paham. Tapi cepat atau lambat, kamu harus membuat keputusan."
Sementara itu, Ayame yang berada di sisi lain dapur, sedang meracik kaldu ramen. Dia menoleh ke arah Kenichi dengan senyumnya yang lembut, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Ken-Chan, kamu tahu kami sangat peduli padamu. Apapun keputusanmu nanti, kami tetap disini untuk mendukungmu. Tapi yang terpenting, pikirkan baik-baik masa depanmu."
Kenichi menghela napas, mencoba meredakan rasa sesaknya. "Aku tahu, Bibi. Tapi, aku merasa seperti gagal."
Ayame meletakkan sendok besar yang dia gunakan untuk mengaduk kaldu, lalu menghampiri Ken dan meletakkan tangan di pundaknya. "Gagal itu bagian dari proses belajar, Ken-Chan. Tidak ada yang sempurna. Yang terpenting kamu mau bangkit dan terus mencoba. Kami tahu kamu mampu."
Ken menatap Bibinya itu, mencoba menelan kata-katanya. Ada kenyamanan di sana, tapi juga sebuah dorongan halus yang membuatnya berpikir lebih jauh tentang apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hidupnya.
Setelah beberapa menit dalam keheningan lagi, Yoshiki menghela napas panjang. "Hari ini sepertinya kita akan sibuk. Mungkin cuaca dingin membuat orang-orang ingin semangkuk ramen." Dia melirik Ken dengan senyuman tipis. "Kau masih ingat cara melayani pelanggan dengan baik, kan?"
Ken tersenyum kecil, mencoba melepaskan sedikit ketegangan. "Tentu saja. Aku tidak lupa."
Meski beban pikiran masih berat, setidaknya Ken merasa sedikit lebih ringan di antara orang-orang yang selalu mendukungnya. Sementara salju terus turun di luar, aroma ramen yang sedang dimasak mulai memenuhi udara, menandai awal hari yang penuh tantangan namun juga penuh harapan.
Hari itu Kenichi habiskan di kedai ramen, dia mengingat saat masih sekolah dasar dirinya tidak bisa membantu Paman dan Bibinya, lalu dengan telaten keduanya mengajari Ken bagaimana cara membuat ramen serta melayani pelanggan. Sejak 5 tahun lalu Yoshiki memutuskan hanya menjual ramen halal, kedainya jadi bertambah ramai.
Setelah selesai dengan urusan kedai, Ken kembali ke kamarnya, bersih-bersih lalu merebahkan tubuhnya di futon. Kenichi memberanikan diri untuk mengirim chat ke Mama nya bahwa dia sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Setelah itu dia membuka aplikasi Line, menulis pesan ke group yang berisi Yuki dan Kaito, sahabatnya. Mereka ingin menghabiskan waktu bersama Kenichi sebelum lelaki itu benar-benar meninggalkan Jepang.
Malam bertambah dingin, dia sudah menyalakan penghangat juga sudah memakai pakaian hangat, ditambah selimut tebal, dia benar-benar membenci musim dingin. Ken menaruh ponselnya di nakas, dia mencoba masuk ke alam mimpi secepatnya.
.
.
Pagi ini seperti yang dijanjikan, Kenichi, Yuki, dan Kaito memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil di dekat Gion. Kafe itu terkenal dengan suasana tradisional Jepang yang tenang, tepat di tengah hiruk pikuk kota Kyoto. Ketiganya duduk di dekat jendela, memandang keluar pada jalanan yang sebentar lagi mungkin akan dipenuhi oleh salju.
"Jadi, Ken-Chan.." Kaito mulai sambil menyeruput kopinya, "Bagaimana apakah sudah 100% siap ?"
Kenichi menyesap kopinya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kurasa bukan tentang siap atau tidak, tapi inilah yang terbaik saat ini. Sudah terlalu banyak yang terjadi di sini."
Yuki menatap Ken dengan tatapan serius. "Haruna, kah?" tanyanya hati-hati.
Kenichi terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya salah satunya, akan butuh waktu lebih banyak untuk memperbaiki semuanya."
Kaito menepuk bahu Ken dengan lembut. "Aku mengerti Ken-chan, kami pasti akan merindukanmu kawan."
Yuki mengangguk setuju. "Yosh, bersiaplah Ken-Chan, selama satu minggu kita akan menjelajah Kyoto seperti para turis !"
Hari Pertama: Kuil Fushimi Inari dan Jalanan Gion
Pagi hari di Fushimi Inari terasa dingin, musim dingin masih menyelimuti Kyoto. Kenichi, Yuki, dan Kaito menaiki tangga yang dikelilingi ribuan torii merah yang membentang sepanjang jalan menuju kuil. Mereka bertiga berlari seperti anak kecil, saling tertawa dan sesekali bercanda.
"Kau masih ingat waktu kita kabur dari latihan klub sepak bola ke sini dulu?" Kaito tertawa, sambil melirik Yuki.
Yuki ikut menimpali sambil tertawa. "Dan akhirnya kita kena hukuman lari keliling lapangan, sampai Ken-Chan waktu itu hampir menangis haha."
Kenichi tersenyum tipis, mengingat masa itu. "Aku hanya tidak suka lari tanpa alasan," jawabnya sambil menendang salju tipis di jalan.
Saat mereka sampai di puncak, Kenichi berhenti sejenak, memandang ke arah kota Kyoto dari kejauhan. Ada perasaan campur aduk di hatinya. Kota ini adalah tempat semua kenangan manis dan pahit bercampur. Setiap sudutnya mengingatkannya pada Haruna, terutama di kuil ini, tempat mereka pernah berjalan bersama, bergandengan tangan, penuh senyuman. Kini, hanya bayangan yang tersisa.
"Kau memikirkan Haruna, ya?" tanya Yuki dengan hati-hati, melihat perubahan raut wajah Kenichi.
Kenichi hanya mengangguk pelan. "Ya, aku tak bisa menghilangkan semua kenangan itu begitu saja."
Yuki dan Kaito saling bertukar pandang, tahu bahwa luka Kenichi masih belum sembuh sepenuhnya. Tapi mereka juga tahu, ini adalah langkah awal baginya untuk benar-benar melanjutkan hidup.
Malam harinya, mereka berjalan-jalan di distrik Gion yang dipenuhi lampion-lampion tradisional. Suasana hangat kedai-kedai teh dan restoran menambah keindahan malam. Mereka mampir ke sebuah kedai teh kecil milik Saito, di mana aroma teh hijau yang harum mengalir ke tenggorokan mereka.
"Ken, ingat waktu kita dulu datang ke sini dengan Haruna?" tanya Kaito, membangkitkan kenangan.
Kenichi menatap ke luar jendela, "Ya. Kami sering berjalan-jalan di jalanan kuno ini, menikmati kebersamaan."
Saat mereka selesai minum, Kenichi tidak bisa menahan senyumnya saat mengenang tawa Haruna. "Dia selalu membuatku tertawa, bahkan saat aku sedang stres dengan ujian," katanya pelan.
Mereka berjalan di sepanjang jalan, kenangan akan Haruna menyertai setiap langkahnya. Dia merenung, mengingat senyuman Haruna yang pernah menjadi cahaya hidupnya, tetapi kini berubah menjadi bayangan masa lalu yang sangat menyakitkan.
Hari Kedua: Arashiyama
Di Arashiyama, mereka menikmati keindahan hutan bambu yang tenang. Udara dingin tidak mengurangi pesona tempat itu. Saat berjalan di antara bambu yang menjulang tinggi, Yuki memulai percakapan ringan tentang rencana masa depan mereka.
"Aku masih belum yakin dengan pilihanku," kata Yuki sambil memandangi deretan bambu. "Tapi, setidaknya aku yakin akan mencapainya."
"Yuki, kau selalu meragukan dirimu sendiri," kata Kaito. "Kau hanya perlu percaya bahwa apapun yang kau pilih, kau akan baik-baik saja."
Kenichi mendengarkan percakapan itu dalam diam, namun pikirannya terus kembali ke masa-masa ketika dia dan Haruna sering berjalan di sini. Di bawah naungan bambu-bambu raksasa ini, dulu mereka saling berbagi rahasia dan mimpi. Sekarang, semuanya hanya tersisa sebagai kenangan pahit yang sulit untuk dilupakan.
"Ken-Chan?" Kaito menyadari keheningan Kenichi.
Kenichi tersenyum samar. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit mengenang masa lalu."
Sore harinya, mereka duduk di pinggir sungai di Jembatan Togetsukyo, tempat Kenichi dan teman-temannya dulu sering nongkrong setelah pulang sekolah. Salju tipis mulai turun, dan ketiganya duduk diam, menikmati keheningan alam.
"Dulu kita sering bermain di sini," kata Kenichi, mengenang. "Setiap sore, kami berbagi mimpi dan bercanda, terutama Haruna."
"Momen-momen itu pasti sangat berharga," kata Yuki. "Bukan hanya karena itu menyenangkan, tapi juga karena itu bagian dari diri kita."
Hari Ketiga: Kuil Kiyomizu dan Pasar Nishiki
Saat mereka mencapai Kuil Kiyomizu-dera, suasana nostalgia menyelimuti hati Kenichi. Teras kuil itu memberikan pemandangan luas kota Kyoto yang tertutup salju. Kenichi ingat pernah berdiri di tempat ini bersama Haruna, saat mereka berbicara tentang masa depan dan impian mereka untuk kuliah di universitas yang sama.
"Ini tempat di mana kau pertama kali menyatakan cinta pada Haruna, kan?" tanya Kaito sambil tersenyum kecil.
Kenichi mengangguk, memandangi teras kuil itu. "Ya. Aku ingat dia tertawa dan bilang aku terlalu serius."
Yuki menepuk pundak Kenichi. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita semua membuat keputusan yang salah di masa lalu."
Kenichi tersenyum lemah. "Kurasa aku lebih takut mengingat bagaimana aku kehilangan dia. Bukan hanya sebagai kekasih, tapi sebagai teman."
Setelah mengunjungi kuil, mereka berjalan-jalan di Pasar Nishiki. Aroma masakan Jepang memenuhi udara. Kaito, yang terkenal rakus, langsung memesan berbagai makanan. Mereka mencicipi takoyaki, dango, dan membeli beberapa oleh-oleh. Suasana pasar yang ramai setidaknya membuat Kenichi sedikit melupakan kesedihannya.
"Kau ingat saat Haruna mencoba memasak untukmu?" tanya Kaito.
Kenichi tertawa, "Dia membakar nasi dan kita berdua hanya bisa tertawa sambil memesan makanan dari luar."
Hari Keempat: Kembali ke Sekolah Dasar
Hari keempat membawa mereka ke sekolah dasar, tempat Kenichi, Yuki, dan Kaito pertama kali bertemu. Aula besar yang dulu penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi. Ketiganya berdiri di sana, memandang lapangan tempat mereka dulu bermain sepak bola.
"Kau ingat waktu kita hampir menghancurkan jendela ruang guru?" Kaito tertawa terbahak-bahak.
Kenichi tertawa kecil. "Ya, dan kau lari lebih cepat dari siapapun karena takut dimarahi."
Mereka berkeliling sekolah, melihat kelas-kelas lama dan mengingat guru-guru yang pernah mendidik mereka. Kenangan itu membuatnya tersenyum, betapa sulitnya dia beradaptasi lalu hidup berkelanjutan. Mungkin inilah satu-satunya tempat yang tidak berhubungan dengan Haruna.
Hari Kelima: SMP dan SMA
Hari kelima membawa Kenichi, Yuki, dan Kaito kembali ke tempat di mana segalanya terasa seperti mimpi yang indah dan pahit. Mereka mengunjungi SMP dan SMA, dua tempat yang menyimpan kenangan terindah sekaligus luka paling mendalam bagi Kenichi.
Saat mereka melangkah ke halaman SMP, tawa riang anak-anak terdengar di kejauhan. Kenichi tersenyum mengingat bagaimana masa-masa di SMP adalah saat-saat yang penuh kebahagiaan. Mereka bertiga sering bermain sepak bola di lapangan sekolah, tanpa beban, tanpa masalah.
"Kau ingat waktu kita menantang tim senior bermain sepak bola?" tanya Yuki sambil menepuk bahu Ken.
Kenichi tersenyum lebar. "Ya, dan kita kalah telak. Tapi kalian tidak menyerah sampai akhir."
Kaito tertawa. "Dan akhirnya kita makan ramen gratis di kedai dekat sekolah setelah kekalahan itu."
Wajah Kenichi berseri-seri mengingat momen itu. Saat itu, hidup terasa begitu sederhana. Haruna, gadis yang ia sukai, belum memasuki hidupnya dengan komplikasi yang rumit. Kenichi adalah anak laki-laki yang penuh harapan dan kebahagiaan, menjalani hari-harinya dengan tawa bersama teman-teman.
Namun, saat mereka melangkah ke gerbang SMA, perasaan itu perlahan berubah. Di sinilah Kenichi pertama kali merasakan cinta yang rumit dengan Haruna. Awalnya, SMA adalah masa di mana ia merasa hidupnya sempurna. Haruna menjadi bagian penting dari hidupnya, dan hubungan mereka begitu manis pada awalnya. Mereka berdua sering pulang bersama, saling bercerita tentang mimpi dan masa depan.
Namun, segalanya mulai berubah ketika Haruna mulai bersikap aneh. Ken tidak tahu kapan tepatnya, tetapi perlahan Haruna mulai menjauh. Kenichi masih ingat saat mereka bertengkar di depan gerbang sekolah ini—pertengkaran yang berakhir dengan keheningan, tetapi menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang salah.
Yuki menatap Ken dengan penuh empati, menyadari perubahan ekspresinya. "Ini tempat di mana semuanya mulai terasa berat, ya?"
Ken mengangguk, menyusuri ingatannya. "Ya, ini tempat di mana aku merasa kehilangan kendali. Haruna mulai berubah, dan aku tidak bisa memahami apa yang salah."
Namun, di antara luka itu, Kenichi juga mengingat kenangan-kenangan manis. Bersama Haruna, ia pernah melewati saat-saat yang tak terlupakan. Mereka sering makan di kedai kecil dekat sekolah setelah jam pelajaran, tertawa bersama, dan berbagi mimpi tentang masa depan. Haruna adalah gadis yang membuat Kenichi percaya pada cinta, meskipun pada akhirnya ia harus menelan kekecewaan.
Kaito, yang selalu ceria, mencoba mencairkan suasana. "Tapi, di sini juga kita memenangkan turnamen sepak bola sekolah, kan? Kau mencetak gol penentu, Ken!"
Kenichi tersenyum samar. "Iya, itu salah satu momen terbaik di hidupku. Aku lupa bagaimana rasanya begitu bahagia di sini."
Kenichi menarik napas dalam-dalam, memandangi lapangan yang kini kosong, seolah-olah kenangan-kenangan itu masih tersimpan di setiap sudut sekolah ini. "Meski banyak yang berubah, aku bersyukur pernah mengalami semua ini. Masa-masa di sekolah ini membuatku tumbuh menjadi diriku yang sekarang, meskipun dengan semua luka yang ada."
Yuki tersenyum tipis, menepuk pundaknya dengan lembut. "Kau tidak sendirian, Ken-Chan. Kami juga bagian dari kenanganmu. Apapun yang terjadi, kami akan selalu ada di sini untukmu."
Kaito, yang biasanya lebih ceria, menatap Ken dengan serius. "Kadang, melupakan bukan solusinya. Tapi berdamai dengan kenangan itu, mungkin itulah yang kau butuhkan sekarang."
Kenichi mengangguk pelan, mulai menerima bahwa masa lalunya, baik yang indah maupun yang pahit, adalah bagian dari hidupnya. Dan meskipun Haruna bukan lagi bagian dari masa depan, kenangannya dengan teman-teman tetap utuh, memberikan kekuatan baginya untuk melangkah ke babak baru.
Hari Keenam: Waktu di Kediaman Paman Yoshiki
Hari keenam terasa lebih hangat, meskipun udara musim dingin masih menggigit. Setelah perjalanan panjang menyusuri tempat-tempat penuh kenangan, Kenichi, Yuki, dan Kaito memutuskan untuk menghabiskan hari di kediaman Paman Yoshiki. Rumah bergaya tradisional Jepang itu selalu menjadi tempat yang nyaman bagi Ken. Selama tinggal di Jepang, rumah ini adalah pelarian dari semua kerumitan di sekolah dan kehidupan sosial yang penuh tekanan.
Paman Yoshiki dan Bibi Ayame menyambut mereka dengan keramahan yang tak pernah pudar. Setelah berbasa-basi singkat, Paman Yoshiki memanggil ketiganya untuk membantunya di kedai ramen yang terletak tidak jauh dari rumah mereka.
"Hei, Ken! Bantu Paman dengan mie di dapur. Yuki, Kaito, kalian berdua bisa bantu layani pelanggan," seru Paman Yoshiki dengan semangat khasnya.
"Siap, Paman!" jawab Yuki dan Kaito serempak, sementara Ken hanya tertawa kecil, mengenakan celemek yang sudah sering ia pakai selama tinggal di sini.
Di kedai ramen milik Paman Yoshiki, suasana selalu hidup. Pelanggan tetap sudah mengenal Ken dan teman-temannya, dan mereka menyapa dengan hangat. Yuki dan Kaito melayani pelanggan dengan cekatan, sambil sesekali bercanda satu sama lain. Ken di dapur sibuk memotong sayuran dan menyiapkan mie, merasa terhibur dengan hiruk-pikuk kedai.
"Ken-Chan, bagaimana kabarmu sekarang?" tanya salah satu pelanggan tetap, seorang pria tua yang biasa duduk di dekat pintu.
Ken tersenyum, mengangguk sambil membawakan semangkuk ramen panas. "Saya baik-baik saja, terima kasih. Ini hari-hari terakhir saya di Jepang sebelum pulang ke Indonesia."
Pria tua itu mengangguk bijak. "Ah, perjalanan hidup memang tak selalu mudah. Tapi ingat, rumah selalu di sini, Nak."
Kedai itu dipenuhi dengan canda tawa pelanggan dan obrolan ringan. Paman Yoshiki, dengan gayanya yang energik, sesekali menyela percakapan, membuat suasana menjadi lebih akrab.
Malam tiba dengan cepat. Setelah kedai tutup, mereka semua kembali ke rumah Paman Yoshiki. Di kamar Ken, ketiganya duduk di lantai tatami, dengan tatapan lelah namun puas. Kamar itu dipenuhi poster tim sepak bola, foto-foto masa kecil, dan beberapa buku pelajaran. Pemandangan dari jendela memperlihatkan pohon-pohon yang tertutup salju tipis.
"Ini hari yang panjang," kata Kaito sambil meregangkan tubuhnya. "Tapi aku selalu suka bekerja di kedai pamanmu. Pelanggannya selalu ramah."
Ken menunduk sambil tersenyum. "Ya, kedai ini seperti tempat pelarian. Rasanya semua masalah bisa hilang saat aku di sini."
Yuki menatap langit-langit, tampak berpikir. "Apa kamu yakin tentang keputusanmu pulang ke Indonesia, Ken-Chan? Aku tahu ini bukan pilihan yang mudah."
Ken menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit. "Aku rasa ini saat yang tepat. Banyak hal yang harus aku urus di sana. Lagipula, aku harus melanjutkan hidupku. Aku tidak bisa terus-terusan bergantung pada tempat ini."
Kaito mengangguk setuju. "Tapi kamu akan merindukan kami, kan?" Dia menatap Ken dengan senyum jahil.
Ken tertawa kecil. "Tentu saja. Siapa lagi yang akan membuatku tertawa kalau bukan kalian?"
Malam itu dihabiskan dengan obrolan ringan—tentang masa depan, mimpi mereka, bahkan hal-hal sepele seperti makanan favorit dan film yang baru saja dirilis. Mereka tertawa, mengenang masa-masa indah di sekolah, dan merencanakan bagaimana mereka akan tetap saling berhubungan setelah Ken kembali ke Indonesia.
"Saat kamu sukses nanti, jangan lupa ajak kami jalan-jalan ke Indonesia," ujar Yuki dengan nada bercanda.
"Tentu, kalian pasti akan ku temani kemanapun kalian mau," jawab Ken sambil tertawa. Tapi di balik canda itu, ada perasaan sedih yang mulai merayap di hati mereka. Ini mungkin kali terakhir mereka bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini.
Malam itu, setelah perjalanan penuh kenangan bersama Yuki dan Kaito, Kenichi menyadari bahwa perjalanan hidupnya tidak hanya ditentukan oleh kesedihan atau kesalahan masa lalu, tetapi juga oleh keberanian untuk terus maju, meskipun perlahan. Di saat salju terus turun di Kyoto, Ken merasakan hangatnya persahabatan yang mengiringi setiap langkahnya.
Hari Ketujuh: Perpisahan di Bandara
Hari terakhir pun tiba. Pagi-pagi sekali, Ken bersama Yuki, Kaito, Paman Yoshiki, dan Bibi Ayame, berangkat ke bandara. Perjalanan menuju bandara terasa hening. Mobil melaju melalui jalanan yang tertutup salju, sementara matahari pagi mulai bersinar di kejauhan.
Di dalam mobil, Ken menatap keluar jendela, merenung tentang betapa cepat waktu berlalu. Yuki dan Kaito juga tampak lebih diam daripada biasanya, mungkin karena mereka tahu bahwa perpisahan semakin dekat.
Setibanya di bandara, mereka berjalan bersama menuju area check-in. Ken merasa berat meninggalkan Jepang, tapi di saat yang sama, dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil.
Paman Yoshiki menepuk bahu Ken dengan kuat. "Kau sudah dewasa sekarang, Kenichi. Jangan pernah lupakan keluarga di sini. Kami selalu menunggumu kembali."
Ken mengangguk, merasa hangat dengan dukungan dari pamannya. "Terima kasih, Paman. Aku tidak akan pernah lupa."
Yuki, yang biasanya ceria, tampak lebih emosional kali ini. "Ken-chan, aku tidak tahu harus bilang apa. Tapi kau tahu, kami akan selalu ada untukmu. Jangan ragu untuk menghubungi kapan saja."
Kaito, yang tak biasanya serius, juga menepuk bahu Ken dengan keras. "Dan jangan lupa, kalau kau sukses nanti, pastikan kau kirimkan tiket pesawat untuk kami!"
Ken tertawa kecil, meskipun hatinya terasa berat. "Pasti. Aku tidak akan lupa."
Ayame tak mampu berkata sepatah katapun, dia hanya menangis melepas Kenichi. Keponakan yang sudah dia anggap anaknya sendiri. Yoshiki mengusap lembut bahu sang istri untuk menguatkannya.
Setelah proses check-in selesai, tiba saatnya untuk benar-benar berpisah. Mereka bertiga berpelukan, merasakan kehangatan persahabatan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.
Ken melangkah menuju pintu keberangkatan, sesekali menoleh ke belakang, melihat Yuki, Kaito, Paman Yoshiki, dan ibunya berdiri di sana, melambai-lambaikan tangan.
Di pesawat, Ken memandang keluar jendela, melihat Jepang dari ketinggian. Meski ia akan pulang ke Indonesia, ia tahu bahwa hatinya akan selalu tertinggal di sini, bersama kenangan, persahabatan, dan cinta yang pernah ia rasakan.