Chereads / my dearest revolutionary. / Chapter 1 - Satu

my dearest revolutionary.

nsfworld
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 475
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Satu

Tiga bulan kemudian ...

Pada suatu masa, Marseille hanyalah kedai hiburan kecil yang menjadi tempat peristirahatan bagi tuan tuan pengusaha kecil Belanda. Kemudian, gadis gadis manis pribumi ditambahkan.

Saat periode enam puluhan, Marseille menjadi tempat hiburan terbesar dan paling bergengsi. Di tahun tahun delapan puluhan yang aneh dan menggelikan, tempat ini sempat ditutup dan dibuka lagi pada awal sembilan puluhan.

Sekarang, Marseille masih berdiri--tujuh lantai dan menjadi satu tujuan untuk kesenangan pria dan wanita ... sebagian besar pria.

Nyonya tempat itu, Juliana, dihormati karena kesopanan dan perilakunya yang lain. Dia tersohor menjadi ibu bagi para gadis gadis. Pria yang bersyukur memujinya sebagai nyonya yang baik sementara istri istri yang sakit hati menyebutnya mucikari.

Meskipun begitu, tak ada satu pun bukti yang bisa menghinakan Juliana dari takhtanya meski ia berdagang kecantikan dan kemolekan tubuh.

Gadis nya yang paling baru, Amelia, atau itulah namanya menurut sepengetahuannya, telah naik ke peringkat tiga hanya dalam waktu beberapa bulan. Ia hanya dikalahkan oleh dua seniornya yang lebih licik dan tak mau kalah. Jika Hazal memiliki sedikit saja niat dalam hatinya, ia akan menumbangkan mereka semuanya.

Tapi, tak diragukan, semua pria sudah mabuk kepayang olehnya. Menyadari ini, Juliana membuat batas ekslusif. Hazal hanya akan menemani satu pria yang bersedia membayar paling mahal. Dengan ini, adrenalin mereka terpacu dan otak menggila.

Sementara itu, Hazal sendiri tak percaya bahwa ia tengah diperdagangkan seperti sebuah barang. Namun, ini harus dijalaninya. Ia tak bisa gegabah kembali ke kehidupannya. Harus ia akui, ia terjebak dan tengah mencari cara meski melewati malam malam gelap yang tak pernah ia sangka.

Dalam gaun beludru berlengan panjang bergaya bishop dengan dada rendah yang memamerkan bahu kecilnya, ia adalah peri kecil dengan kecantikan tak ada banding. Ia seperti lanskap indah matahari terbit cakrawala. Rambutnya diikat setengah oleh sebuah pita dan setengahnya lagi tergerai indah. Kedua sepatunya juga dari beludru dan berwarna senada--merah gelap.

Ia selalu disembunyikan oleh Juliana sampai tiba waktunya baginya untuk muncul dan menggegerkan semuanya, hanya untuk dibawa pergi oleh pria yang telah membayar untuknya.

Tapi di salah satu sudut Marseille, Juliana melihat seorang pria yang sama sekali asing. Ia tak pernah melihatnya. Pria itu tenang dan terjaga, duduk di salah satu kursi bar dan sedang menikmati minumannya. Jelas, ia menarik minat banyak gadis gadis di sekelilingnya. Ia hanya bermain main mata dengan mereka tanpa ada niat serius untuk membawa mereka ke pelukannya.

Dari apa yang Juliana lihat, pria itu pantas dan ... mahal. Ia tertarik kepada hal hal dari luar jangkauannya sejak lahir; sebuah kemewahan dan kemegahan lahiriah dari aura seorang manusia. Juliana turun dari balkon untuk menghampirinya.

Pria itu seperti api unggun dan ia ngengat yang siap terbakar, hanya untuk mengetahui jenis apa yang bisa cukup ahli untuk merayunya agar diizinkan duduk di pangkuannya.

"Apa yang kamu cari?" Juliana duduk di samping pria itu.

Si pria melirik dengan senyum kecil, menyimpan gelasnya. "Apa yang kamu punya?"

"Kamu ingin gadis cantik? Pria cantik?" Juliana menoleh.

"Kamu punya yang paling cantik dari semuanya?" tanya si pria. "Aku ingin mabuk."

"Aku punya yang baru."

"Bawa dia padaku. Aku sendiri yang akan menilainya." pria itu berdiri.

Juliana tersenyum, "kamu harus membayar untuk sepuluh gadis, bagaimana menurutmu?"

"Kamu tak harus ragu, tapi biarkan aku yang menilai apakah kepercayaan dirimu pantas dihargai sebesar itu."

Juliana juga berdiri. "Aku punya ruangan. Ikuti aku."

Pintu ruangan dimana Hazal dikurung kemudian terbuka dan Juliana masuk dengan senyum lebar.

"Ayo sayang, aku sedang sangat senang sekarang." kata Juliana.

Karena Hazal selalu sulit untuk dibawa secara baik baik, maka Juliana mencengkeram tangannya dan agak menyeretnya. Ia membawa Hazal ke ruangan dimana ia diserahkan kepada Tuan Sega Baskara, tamu favorit terbaru Juliana.

Hazal mengepalkan kedua tangannya secara tidak sadar ketika Juliana meninggalkannya. Di hadapannya, duduk Sang Iblis, mengamatinya.

Sang Iblis itu tinggi besar dan kedua lengan kemejanya sudah tergulung hingga siku. Rompi jas nya masih terpasang. Jas nya sendiri sudah tersampir di sofa.

"Kamu akan diam saja?" Sega Baskara tersenyum kecil, kemudian melirik kepada kepalan tangan Hazal, "dan kamu nampak marah?"

"Tak apa." Hazal menenangkan dirinya dan melepas kepalan tangannya. Ia mengatur napasnya kemudian berjalan kepada Sega dan menuangkan minuman untuk mereka ke masing masing gelas. "Maafkan aku. Ini untukmu."

Sega menerima minumannya dan mereka meneguk bersama.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Hazal, menyimpan gelasnya di meja. Ia duduk merapatkan kedua kaki dan menghadap Sega dengan kedua tangan di pangkuannya.

"Baik." jawab Sega. Ia juga menyimpan gelasnya di meja. "Apa yang menarik bagimu akhir akhir ini?"

"Berita dari luar."

"Oh ya? Apa yang kamu dengar?" tanya Sega.

Aku sedang mencari tahu, batin Hazal.

"Aku tak mengikuti. Apakah kamu bisa memberitahuku?" Hazal tersenyum kecil, kecil saja.

"Apa yang mau kamu dengar? Pasar saham yang tak sehat? Pendidikan yang anjlok atau kisah kriminal lain?"

"Kudengar kemarin," kata Hazal. "Ada penembakan di dekat Istana Negara--"

"Ah ya," jawab Sega, santai. "Pemberontak. Orang orang bodoh. Tak ada yang ditangkap. Tak ada yang terluka."

Aku terluka.

"Mengapa kamu tertarik?" tanya Sega, kemudian.

Hazal terdiam sebentar. "Hanya saja tertarik."

"Baiklah, kalau begitu sampai situ saja kilas beritanya." Sega tersenyum dan menarik Hazal ke dekapannya, "aku punya sesuatu untuk dilakukan sesegera mungkin."

"Aku yakin Juliana memberitahumu--"

"Bahwa ia tak menjual pelacur?" Sega berdecak. "Ia juga bilang bahwa aku bisa melakukan apapun."

"Apapun tak termasuk ini."

"Ya."

"Tidak--"

"Ya." jawab Sega.

Hazal tercekat ketika tangan Sega menyentuh pahanya, "Tuan--"

"Apa kau bilang?"

"Tuan Sega."

"Tak kusangka," kata Sega. "Namaku akan indah keluar dari bibirmu."

Bibir Sega kemudian menjelajahi leher Hazal.

Hazal membeku dan melebarkan kedua matanya.