"Mir... Mir…?"
Seseorang yang berasal dari Übermensch, sembari memegang sebuah benda, terisak-isak saat memanggil seseorang.
Tapi aku tidak peduli sama sekali. Ada sesuatu yang lebih penting bagiku.
"… Kamu masih hidup."
Tubuh Siwoo berdarah-darah namun jelas masih hidup.
Aku menggunakan semua benang yang tersisa untuk membungkus Siwoo agar dapat membawanya ke rumah sakit secepat mungkin.
"Mi, Mir…! Mir!"
Aku harus meninggalkan akademi itu dengan tubuhku yang hanya tertutup oleh jaket.
Tidak ada waktu untuk merasa malu. Saat ini adalah keadaan darurat.
Kami harus pergi ke rumah sakit sesegera mungkin.
[Re, Reader-nim?! Kau tidak akan menghabisi eksekutif terakhir?!]
"Tidak ada waktu."
[Apa?! T-Tapi…!]
Aku abaikan saja kata-kata Author itu.
Aku tidak mempunyai benang lagi untuk digunakan saat ini dan aku harus melakukan sesuatu yang jauh lebih penting daripada itu.
Jika boneka itu menimbulkan masalah di kemudian hari, aku bisa mengurusnya nanti saja.
Tapi Siwoo berbeda.
Dia seseorang yang harus aku lindungi.
Apa pun yang terjadi.
"Dia protagonisnya. Akan jadi masalah besar kalau dia mati."
[Yah, kau benar juga…]
"Benar. Ini semua demi keselamatannya. Kamu bilang kamu bahkan tidak dapat mengubah pengaturan cerita untuknya? Apa yang akan kamu lakukan jika protagonisnya mati di sini."
Author nampaknya belum ingin berhenti membuat serial novelnya.
Jadi, aku putuskan untuk melempar paku ke dalam peti mati.
"Jangan bilang padaku… Author-nim, apakah kamu sudah mempersiapkan pemberitahuan penghentian serialmu?"
[…Mari kita lakukan sesuai yang kau katakan.]
Setelah mendapat persetujuannya, aku meninggalkan tempat itu.
Baiklah, dia tidak punya pilihan selain setuju. Dia berkata dengan mulutnya sendiri bahwa tokoh utama tidak dapat diubah.
Kalau begitu, dia tidak bisa mengubah jalan ceritanya agar terlihat seolah Siwoo baik-baik saja. Siwoo benar-benar terluka parah sekarang.
Bagaimana kalau dia tidak bisa diobati lagi karena aku terlalu lambat membawanya ke rumah sakit?
Itu tidak boleh terjadi.
Para siswa melawan penjahat yang lemah, dan para guru bergegas datang ke gedung utama akademi.
Dan mayat pemimpin Übermensch si wanita naga dan wanita anjing di sebelahnya menghilang tanpa kusadari.
Tapi kenapa aku harus peduli dengan para bajingan itu?
Hanya Siwoo yang penting.
Tokoh utama dunia, seorang manusia dalam dunia penuh boneka ini.
Hanya Siwoo.
***
Siwoo tiba-tiba mengerutkan kening.
Cahaya terang bersinar seolah menyiksa matanya yang tertutup.
"Ugh…"
Mengabaikan sensasi yang terasa seperti menusuk pupilnya, dia mencoba kembali tidur tetapi tidak dapat tertidur lagi, jadi dia memutuskan untuk bangun.
Kepalanya terasa pusing, tetapi dia tidak dapat memejamkan matanya lebih lama lagi.
Menelan kekesalannya yang tiba-tiba, Siwoo membuka matanya dan terkejut lagi.
"…Apakah kamu sudah bangun?"
"Waaah?!"
Karena dia melihat Arte menatapnya dengan mata merahnya yang terbuka lebar, tidak seperti mata biasanya yang menyipit.
"Ack?!"
"Ow… O-ouch…"
Terkejut, dia terduduk dan bertabrakan dengan Arte.
Siwoo dan Arte mengusap dahi mereka yang memerah akibat kecelakaan tak terduga itu.
"Aku senang kamu tampak sehat… Dan kamu masih…"
"Apa yang kamu…"
"Kudengar ototmu rusak, dan otakmu juga hampir hancur. Kau tidak bangun selama berhari-hari. Aku benar-benar mengira kau sudah tewas."
"Apa?!"
Siwoo tergesa-gesa melihat sekeliling ruangan.
Ruangan putih dan infus di sebelahnya. Bau yang sedikit apek itu memang khas rumah sakit, bau seperti obat-obatan.
Menyadari tempat di mana dia berbaring adalah kamar rumah sakit, Siwoo akhirnya mulai sadar.
"Ah, akademi! Apa yang terjadi dengan akademi…!"
"Itu sudah berakhir."
"… Sudah berakhir?"
"Ya tentu saja. Übermensch telah dimusnahkan. Ta-dah."
Meskipun Arte berbicara dengan nada ringan, seolah-olah seperti anak yang sedang berbicara tentang sebuah acara televisi ringan.
Kehancuran Übermensch.
Dengan kata lain, saat dia tidur, segalanya berakhir.
"Kejadian itu sudah muncul di berita. Apa yang dilakukan akademi? Para bajingan Asosiasi yang tidak kompeten itu."
"K-Korban?! Bagaimana dengan korban? Tidak, apakah Amelia dan Dorothy baik-baik saja?!"
"… Kenapa kau khawatir tentang orang lain begitu bangun? Jangan khawatir, semua orang aman."
"Mereka baik-baik saja…?"
Arte tersenyum dan menunjuk ke meja.
Di atas meja ada kalender.
"Baiklah, semuanya sudah ditangani pada seminggu kamu–"
"Seminggu?!"
"Ya. Seminggu. Setelah dicek, tidak ada korban meninggal dan sekitar 10 orang luka berat, sebagian besar luka ringan."
Selain mengatakan fakta bahwa sebagian besar guru yang mengalami luka serius, Arte mengatakan kepadanya bahwa jika bukan karena para guru, kerusakan yang terjadi akan lebih besar lagi.
"Satu eksekutif hilang, tiga tewas. Sebagian besar penjahat ditangkap. Akhir ceritanya seperti itu, sudah berakhir."
"…Jadi begitu."
Tidak ada siswa yang meninggal dalam kekacauan itu.
Dia merasa kesal, bertanya-tanya mengapa guru-guru tidak datang sementara dia bertahan di gedung utama.
Ada alasan untuk segalanya.
"Tapi Arte."
"Ya?"
"Bisakah kamu menjauh sedikit? Kau terlalu dekat."
"…Mengapa aku harus?"
Hah?
Siwoo tidak pernah menduga akan mendapat reaksi seperti ini.
Dia mengira gadis itu akan berkata secara alami, "Oh, maafkan aku," dan memberi jarak, tetapi reaksi yang tak terduga muncul kembali.
A-apa?
Ada yang aneh. Itu Arte seperti biasa... tapi.
"I-Itu…"
Apa yang bisa Siwoo katakan?
'Bau tubuhmu terlalu harum karena dekat, jadi aku ingin kamu menjauh sedikit?'
Dia tak bisa mengatakan itu.
Kalau dia mengatakan hal semacam itu begitu bangun, dia pasti akan diperlakukan sebagai orang mesum yang tidak punya alasan.
Setelah melalui begitu banyak kesulitan selama ini, dia tidak boleh berakhir menjadi pelaku kejahatan seks.
Pada saat itu, ketika ia sedang bimbang mengenai apa yang harus dilakukan, datanglah seseorang yang tak diduga menolongnya.
"Kamu sudah bangun?"
"Ah. Hai."
"Amelia…!"
"… Ada apa dengan reaksi itu? Menyeramkan."
Bantuan tepat waktu yang datang secara kebetulan.
Karena gangguan Amelia, perhatian Arte tentu saja beralih kepadanya, dan Siwoo diam-diam menjauh.
Sempurna, Amelia. Terima kasih.
"Apakah kakimu baik-baik saja?"
"Hah? …Ah, tidak apa-apa. Mereka bilang aku bisa berjalan pelan-pelan sekarang."
Amelia tersenyum cerah dan mengangkat kruknya (tongkat bantu berjalan).
Dan saat itulah dia menyadari Amelia terluka parah.
Salah satu kakinya dibalut perban tebal.
Siwoo bisa tahu, bahkan tanpa dikatakan, bahwa Amelia adalah salah satu yang terluka parah.
"Kamu terluka?"
"…Ya, baguslah. Orang itu cepat sekali. Aku terkena tendangan rendah, kakiku terkilir."
"Apa?!"
"Jangan khawatir. Dokter bilang tidak akan ada efek jangka panjang."
Dia mengayunkan kakinya yang dibalut perban tebal seolah-olah kakinya baik-baik saja dan tersenyum cerah.
"Ayah juga membalaskan dendamnya untukku!"
"…Ayah? Sang pahlawan…"
"Ya. Aku hampir mati, tapi untungnya, Ayah datang. Tanpa sempat menghindar, wham."
Dia berbicara dengan nada main-main, tetapi isinya tidak ringan sama sekali.
Dia mengatakannya dengan mudah, meskipun dia hampir mati.
Seperti yang diduga, Amelia tangguh.
Dia biasanya tidak menunjukkannya, tetapi ketangguhan yang kadang-kadang dia tunjukkan sungguh mengesankan.
"…Ah, Arte. Maaf, tapi bolehkah aku bicara dengan Siwoo berdua saja? Hanya sebentar, kok."
"Mengapa kau bertanya padaku…?"
"Tidak apa-apa. Aku ingin bicara dari hati ke hati antar teman. Begitulah."
Siwoo bisa merasakan Amelia memperhatikan reaksi Arte.
…Apa? Kenapa dia bersikap hati-hati?
Amelia meminta Arte sambil menekankan kata teman.
"Baiklah. Haruskah aku kembali sekitar satu jam lagi?"
"Terima kasih. Itu sudah cukup."
"Tidak apa-apa."
Melihat Arte pergi, Amelia mendesah dalam beberapa saat setelah Arte menghilang dari ruangan ini.
"Kau, sialan…! Siwoo! Apa yang kau lakukan?!"
"A-Apa maksudmu?"
"Apa yang sebenarnya kau lakukan pada Arte?!"
"Aku hanya tidur. Apa yang bisa aku lakukan?!"
Siwoo siap dimarahi seperti biasanya, tapi apa yang tiba-tiba dia bicarakan?
Alih-alih omelan tanpa jeda, gadis itu sepertinya bersemangat.
Tidak, bukan hanya sekadar sepertinya. Itu sangat jelas. Amelia sangat gembira sekarang.
…Rasa tidak nyaman menyergapnya.
Siwoo tidak pernah menerima kabar baik saat Amelia bertingkah seperti ini.
"Dasar bajingan…! Kerja bagus! Aku tidak tahu apa alasannya, tapi kau benar-benar melakukannya dengan baik!"
"Apa sih maksudmu?!"
"Arte bertingkah seperti itu, apa kau yakin kau tidak melakukan sesuatu? Sepertinya dia sudah mulai jatuh cinta padamu!"
"Apa yang kamu bicarakan lagi, sih…"
"Berhasil menaklukan hati seorang gadis bahkan di tengah pertempuran kemarin. Aku tidak melihatmu memang, tapi kau punya beberapa gerakan rahasia, ya~?"
Dan kekhawatirannya tidaklah tidak berdasar.
Amelia bicara omong kosong lagi.
"Omong kosong apa yang kau katakan? Aku sungguh tidak melakukan apa pun!"
"Itu tidak mungkin benar. Kamu mungkin tidak melihatnya, tapi dia merawatmu dengan sungguh-sungguh."
"Maksudmu apa…?"
"Dia menemani di sampingmu selama lebih dari 3 jam setiap hari tanpa henti sebelum dia pergi. Apa yang kau lakukan, sialan? Katakan padaku dengan jujur!"
…Apa?
'Dia menemaniku lebih dari 3 jam sehari?'
"A-apa yang kamu…"
"Apa yang sebenarnya kau lakukan? Katakan saja padaku. Kita perlu merencanakan langkah selanjutnya."
Dia mengawasiku lebih dari 3 jam sehari?
…Sungguh?
Tiba-tiba, mata Arte yang bersinar mengancam, yang dilihatnya segera setelah ia membuka mata, muncul di benaknya.
Bersamaan dengan wajah yang cukup dekat hingga dahinya berbenturan ketika dia tiba-tiba duduk.
"J-Jangan bilang padaku, yang tadi juga…"
Apakah Arte terus menerus mengawasiku?
Apa yang terjadi padanya? Apa yang merasukinya?
'Aku sungguh tidak melakukan apa pun?'
Dia pikir dia siap untuk melakukan apa pun ketika dia sudah terbiasa dibuntuti Arte.
Rasa dingin menjalar ke tulang punggungnya karena tindakan gadis itu yang tidak dapat dimengerti.