Elizah Ramirez kerap muncul di berbagai berita dan layar hologram, berkat status ayahnya sebagai pejabat tinggi negara Volmera. Namun, tak seperti kebanyakan anak pejabat yang hanya bergaul di lingkaran elite, Elizah justru sering bersama rakyat biasa. Dia bahkan rutin berkunjung ke perumahan kumuh di pinggir kota, entah untuk bermain atau membantu mereka yang membutuhkan. Kalau bukan dia yang melakukannya, siapa lagi? Mengandalkan pemerintah? Itu tak akan terjadi bahkan sampai dunia berakhir sekalipun.
Hari ini, hujan deras mengguyur negeri yang katanya menjunjung keadilan ini. Seperti biasa, Eli menyelinap keluar rumah untuk pergi ke kawasan kumuh di pinggiran kota, ingin bertemu dua temannya.
Elizah mengenakan jaket anti-air dan mengambil papan seluncur terbang miliknya. Setelah selesai mengenakan jaket, ia membuka jendela kamar dan menyalakan tombol di papan seluncurnya, membuat papan itu langsung melayang di udara.
Pemuda berkulit pucat itu sempat melirik ke arah pintu kamarnya yang sudah terkunci, memastikan ayah atau ajudannya tak akan tiba-tiba masuk. Setelah yakin, Elizah menarik napas dalam, lalu menaiki papan seluncurnya.
Elizah meluncur di atas papan seluncurnya, membelah hujan yang turun dengan derasnya. Butiran-butiran air yang menghantam wajahnya terasa seperti jarum-jarum kecil, tapi dia sudah terbiasa. Sembari menatap jalanan yang mulai lengang, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang keadaan orang-orang yang akan ditemuinya.
Sesampainya di kawasan kumuh, ia melambatkan papan seluncurnya dan berhenti di sebuah gang sempit yang diapit oleh bangunan-bangunan reyot. Dari sini, ia bisa melihat titik-titik lampu redup di dalam rumah-rumah, satu-satunya penerangan bagi mereka yang tak mampu menikmati kemewahan kota besar.
Elizah meluncur turun dari papan seluncurnya begitu melihat dua temannya, Sebastian dan Lyndon, berdiri kaku di depan layar hologram besar yang menampilkan wajah ayahnya. Gambar itu menyoroti ayahnya yang tengah memberi pidato, senyum lebar terpampang di wajahnya seolah negeri ini berjalan tanpa masalah. Kata-katanya penuh janji tentang "perubahan" dan "keadilan," sesuatu yang bagi Elizah dan teman-temannya hanya omong kosong belaka.
Elizah baru saja melangkah mendekati Sebastian dan Lyndon ketika tanpa peringatan, Sebastian maju dan menarik kerah jaketnya dengan kasar. Tubuh Elizah sedikit terangkat, dan papan seluncurnya jatuh berdebam ke tanah, terlempar akibat tarikan mendadak itu.
"Gue udah muak denger janji lo, El!" bentak Sebastian, matanya menyala penuh kemarahan. "Lo pikir ini lucu? Lo janji kalau ayah lo gak bakal nyalon lagi. Lo janji, tapi dia masih di sana, masih ngerusak hidup orang-orang di sini!"
Lyndon hanya berdiri di samping mereka, mulutnya terkatup rapat tapi ekspresi wajahnya menunjukkan rasa kecewa yang sama. Dia menggeleng, tidak menyangka kalau temannya, seseorang yang selama ini dia percayai, ternyata sama saja.
Elizah terdiam, meski napasnya memburu, mencoba mengatur kata-kata di tengah kemarahan Sebastian yang belum mereda. "Dengerin gue dulu, Bas. Gue gak punya kuasa atas apa yang dia lakuin! Gue cuma bisa janjiin apa yang gue bisa kontrol dan gue sendiri udah usaha."
Sebastian melepaskan genggamannya, mendorong Elizah hingga sedikit tersentak ke belakang. "Gue udah capek sama omong kosong lo. Lo cuma ngomong doang, tapi gak ada yang berubah. Kita semua tahu ayah lo bagian dari masalah di negara ini!"
Emosi Elizah meledak. "Lo pikir gue gak ngerasa yang sama? Gue juga udah muak lihat negara kita yang kayak gini, lo pikir gue bisa nikmatin semua ini?" Elizah mengatur napasnya, lalu menatap Sebastian dan Lyndon dengan intens. "Kalau kalian benar-benar mau perubahan, gimana kalau kita sendiri yang ngelakuin sesuatu buat ngubah semua ini?"
Sebastian dan Lyndon terdiam, raut wajah mereka berubah dari kemarahan menjadi sedikit terkejut, tetapi ada secercah harapan dan tekad yang mulai terbentuk di mata mereka.
"Lo serius, El?" tanya Lyndon akhirnya, meski masih ragu.
Elizah mengangguk tegas. "Gue serius. Kita gak bisa terus-terusan diem. Kalau kita mau lihat perubahan, kita harus mulai sendiri, gak peduli risikonya. Gimana, kalian berani?"
Sebastian melepaskan genggaman kerah Elizah, lalu melangkah mundur sambil memandanginya dengan raut penuh ketidakpercayaan dan keterkejutan. Dia terdiam sejenak, mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut temannya. Lyndon ikut terpaku, napasnya tertahan, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Maksud lo…" Sebastian akhirnya bersuara, suaranya sedikit bergetar. "Kita kudeta pemerintah?"
Elizah menatapnya tanpa keraguan dan mengangguk. "Negeri ini harus berubah, bahkan jika kita harus berubah menjadi monster."