Livia, seorang siswi SMA yang menyukai tantangan dan hal-hal misterius, selalu memiliki ketertarikan terhadap tempat-tempat yang dianggap angker. Selama libur panjang, Livia menemukan sebuah artikel yang menceritakan tentang Desa Kagemori, sebuah desa terpencil yang dikatakan telah lama hilang dari peta dan terkenal karena tidak ada yang pernah kembali setelah mengunjungi tempat itu.
Penasaran, Livia memutuskan untuk melakukan perjalanan sendirian ke sana. Dengan peralatan bertahan hidup yang sederhana, kamera, dan ponsel untuk merekam perjalanannya, ia berangkat menuju desa tersebut, yang letaknya jauh di dalam hutan. Setelah beberapa jam berjalan, ia sampai di depan gerbang desa—gerbang kayu tua yang tertutup lumut dan tampak terbengkalai. Namun, saat Livia melangkah masuk, desa yang ada di hadapannya tampak hidup. Rumah-rumah kayu berjajar rapi, dan penduduknya beraktivitas seperti biasa.
Livia terkejut. Berdasarkan informasi yang ia baca, desa ini seharusnya sudah lama ditinggalkan dan dikelilingi oleh pohon-pohon mati. Namun, sekarang ia melihat kehidupan normal di sini—penduduk yang saling bertegur sapa, suara ayam berkokok, dan tawa anak-anak yang bermain di jalanan.
Kebingungan mulai menguasai pikirannya. Apakah ini desa yang salah? Ketika ia hendak kembali, seseorang memanggil dari belakang.
"Apakah Anda tamu dari luar desa?" Suara itu terdengar ramah namun sedikit serak. Livia menoleh dan melihat seorang pria tua dengan pakaian tradisional desa berjalan ke arahnya. Wajahnya berkeriput, namun tatapannya tajam dan penuh wibawa. "Sudah lama sekali tidak ada tamu yang datang ke desa ini."
Livia mencoba tersenyum meski hatinya mulai ragu. "Iya, saya... hanya berkunjung sebentar."
"Oh, tidak perlu terburu-buru. Kami selalu menyambut tamu dengan pesta besar," kata kepala desa itu, tersenyum lebar. "Anda harus ikut, sangat jarang kami punya kesempatan mengadakan pesta."
Rasa penasaran Livia semakin tumbuh. Dengan sedikit enggan, ia mengangguk. "Baiklah, saya akan ikut."
Kepala desa kemudian mengajak Livia berkeliling. Desa itu terasa sangat kuno, dengan rumah-rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu, namun terlihat terawat dengan baik. Penduduk desa menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat menurut Livia, seolah-olah kedatangannya adalah sesuatu yang sudah mereka nantikan. Sambil berjalan-jalan, Livia mencoba menggunakan ponselnya untuk mengambil foto dan video, tetapi anehnya, tidak ada sinyal. Ia mencoba membuka peta digital, namun semuanya tidak berfungsi. Ini membuatnya semakin tidak nyaman, tetapi ia tidak ingin menampakkan kegelisahannya di hadapan kepala desa.
Kepala desa melirik ke arah Livia dan berkata, "Ponselmu tidak akan berguna di sini. Desa ini terpisah dari dunia luar."
"Terpisah? Maksudnya bagaimana?" tanya Livia, sedikit curiga.
"Anggap saja desa ini terlindung. Kami hidup dengan cara kami sendiri, dan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun," kata kepala desa dengan senyuman samar. Ia melanjutkan, "Tapi jangan khawatir. Kami selalu memastikan tamu kami merasa betah."
Ketika malam tiba, pesta besar diadakan di alun-alun desa. Penduduk desa berkumpul, membawa makanan, menyalakan api unggun, dan menyajikan hidangan-hidangan tradisional. Livia duduk bersama mereka, mencoba menikmati suasana. Ia dihidangkan Kepuraka, hidangan daging rusa dengan rempah-rempah hutan, yang rasanya pedas dan hangat di tenggorokan. Meskipun suasananya tampak meriah, Livia merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman penduduk desa. Namun ia mencoba mengabaikan perasaannya itu, berpikir bahwa mungkin ini hanyalah rasa canggung karena ia adalah orang luar.
Di tengah pesta, kepala desa mendekati Livia lagi. Ia menatap Livia dengan serius, kemudian berkata, "Ada satu tempat yang belum kutunjukkan padamu—sebuah terowongan di belakang desa. Terowongan itu memiliki sejarah yang panjang dan misterius, dan banyak yang takut untuk mendekatinya."
Livia menelan ludah. "Kenapa begitu? Apa yang ada di sana?"
Kepala desa tersenyum tipis, "Ada yang bilang, terowongan itu adalah jalan keluar dari desa ini. Tapi aku harus memperingatkanmu—jangan pergi ke sana pada malam hari. Tempat itu berbahaya."
Kata-kata kepala desa membuat bulu kuduk Livia berdiri. Setelah malam semakin larut, ia merasa semakin tidak nyaman. Penduduk desa tidak berhenti berpesta, seolah malam tak pernah berakhir. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 00:00 terus-menerus, tak ada tanda-tanda waktu bergerak.
Penasaran dan merasa ada yang aneh, Livia memutuskan untuk menyelinap keluar dan mencari terowongan yang dimaksud. Dengan diam-diam, ia meninggalkan pesta dan berjalan menuju bagian belakang desa, seperti yang disebutkan oleh kepala desa. Namun, saat tiba di lokasi terowongan, Livia merasa ada sesuatu yang salah. Suasana semakin berat, seolah-olah ada kekuatan yang menahannya. Tiba-tiba ia berhenti, menyadari bahwa tempat ini bukan jalan keluar.
"Ini semua jebakan," gumam Livia, menyadari bahwa dia telah menjadi bagian dari permainan licik desa ini.
Ia kembali ke alun-alun desa, di mana penduduk desa masih berpesta, tapi kali ini dengan atmosfer yang jauh lebih mengerikan. Mata mereka yang tadinya ramah kini penuh kebencian, wajah mereka berubah menyeramkan, dan tawa mereka terdengar seperti jeritan di telinga Livia.
Kepala desa berdiri di tengah alun-alun, tatapannya tajam ke arah Livia. "Kau tidak bisa lari, Livia. Kau adalah kunci dari desa ini."
Dengan mata merah menyala, penduduk desa mulai mendekatinya. Livia tak punya pilihan lain, ia harus bertarung. Mengambil sebuah obor dari dekatnya, ia melawan dengan segala yang ia punya. Pertempuran terjadi di alun-alun, di tengah lingkaran api unggun yang berkobar. Livia bertarung mati-matian, berusaha menghindari tangan-tangan penduduk desa yang berusaha menangkapnya.
Di tengah kekacauan, ia menyadari sesuatu—desa ini tidak hanya mengandalkan dirinya sebagai kunci. Mereka bertahan hidup dengan memanen jiwa-jiwa para tamu yang terjebak di sini. Jiwa-jiwa ini memberi mereka kekuatan dan membuat desa terus hidup di luar waktu dan realitas. Semua sumber daya mereka, makanan, dan kehidupan sehari-hari berasal dari energi jiwa-jiwa yang tidak pernah berhasil keluar.
Sambil menghindar dari serangan, Livia terus berlari, melompat ke atas meja-meja kayu, menyulut api ke kain-kain tenda di sekitar, dan menyerang penduduk desa dengan segala cara. Namun penduduk desa tidak menyerah begitu saja, mereka terus mengejarnya, tubuh mereka seperti tak terpengaruh oleh luka.
Kepala desa mendekatinya dengan senyum licik. "Kau bisa melawan sekuat apapun, tapi kau tidak bisa menang melawan kami. Kau hanya perlu menerima takdirmu."
Livia berhenti, menghela napas berat. Dalam benaknya, terlintas satu gagasan. "Aku adalah kuncinya... Aku adalah kunci," bisiknya berulang-ulang. Di tengah kepanikan, ia menyadari satu hal: satu-satunya cara untuk menghentikan desa ini adalah dengan menghancurkan dirinya sebagai sumber kekuatan mereka.
Dengan kekuatan terakhirnya, Livia berlari menuju pilar utama di tengah alun-alun, tempat api unggun besar menyala. Ia tahu bahwa jika ia menghancurkan dirinya, desa ini akan runtuh bersama dengan kegelapannya. Tapi sebelum ia melompat ke dalam api, sebuah ledakan energi membekukan semua penduduk desa.
Kepala desa menjerit, "Tidak! Kau tidak bisa melakukannya!"
Namun sudah terlambat. Livia melemparkan dirinya ke dalam api, dan dalam sekejap, seluruh desa mulai bergetar, seolah-olah dunia di sekitarnya runtuh. Suara jeritan memenuhi udara saat satu per satu penduduk desa lenyap menjadi abu.
Keesokan harinya, Desa Kagemori benar-benar menghilang dari pandangan, seolah tak pernah ada. Livia terduduk lemas di tepi hutan, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ponselnya, yang tadinya tak bisa berfungsi, kini menunjukkan waktu yang sudah berlalu satu hari penuh. Tapi anehnya, ingatan tentang malam di desa itu masih segar di benaknya—seperti mimpi buruk yang nyata.
Dengan tangan gemetar, Livia mengambil ponselnya dan menelusuri rekaman video dari malam itu. Namun, apa yang seharusnya menjadi video pesta hanya menunjukkan gambar kabur dari api yang berkobar. Tidak ada jejak dari penduduk desa atau kepala desa. Semua telah lenyap.
Dia berusaha bangkit, berjalan keluar dari hutan, bertekad untuk menceritakan pengalaman mengerikannya kepada dunia. Namun, saat melangkah, ia merasakan hawa dingin yang menggelayut di belakangnya. Seolah ada sesuatu yang mengikuti, berusaha menariknya kembali ke dalam kegelapan yang telah dia tinggalkan.
Livia menoleh sejenak, tapi hanya menemukan kesunyian hutan. Semua rasa takut dan gelisah mulai merayap kembali. Apakah desa itu benar-benar hancur, atau justru menjadi bagian dari dirinya? Dengan cepat, ia mempercepat langkahnya, berusaha melupakan semua yang terjadi, berjanji tidak akan kembali lagi ke tempat angker itu.
Namun, saat Livia sampai di tepi jalan utama, sebuah bayangan melintas di depan matanya. Dia melihat sekilas sosok seorang penduduk desa yang pernah ditemuinya—wajahnya tidak berubah, senyumnya tetap menyeramkan. Livia terkejut dan berlari tanpa henti, menembus batas hutan dengan harapan menemukan tempat aman.
Sesampainya di jalan raya, Livia berbalik dan menatap ke arah hutan, menyadari bahwa desa itu mungkin telah hancur, tetapi pengalamannya akan selamanya terpatri dalam ingatannya. Mungkin, desa itu tidak pernah benar-benar pergi; ia hanya bersembunyi, menunggu kesempatan untuk menjebak jiwa-jiwa baru yang penasaran seperti dirinya.
Dengan perasaan campur aduk antara lega dan ketakutan, Livia melanjutkan perjalanan pulang. Dia tahu bahwa meskipun fisik desa telah lenyap, kegelapan yang menyertainya akan selalu ada, siap menunggu kedatangan orang-orang yang tidak tahu apa yang menanti mereka.